Jakarta, Nusantaratv.com-Menteri Keuangan Sri Mulyani terus berupaya mencari cara terbaik transformasi dari energi fosil menuju energi hijau. Upaya itu bertujuan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak jebol atau terkuras habis.
Pasalnya, dibutuhkan dana luar biasa besar untuk melakukan transisi energi. Misalnya, untuk
memensiunkan 5,5 GW PLTU Batubara saja, pemerintah membutuhkan dana hingga miliaran dollar AS, yakni 20-30 miliar dollar AS. Angkanya setara dengan Rp 284 triliun hingga Rp 426 triliun (kurs Rp 14.200).
"Oleh karena itu pembahasan internasional sekarang perhatian dunia ke Indonesia, bagaimana caranya negara dunia akan melakukan energy transition yang smooth affordable dan justice, yang aman, yang juga bisa terjangkau oleh rakyat, oleh industri, oleh APBN tidak jadi jebol, tapi di sisi lain juga adil," kata Sri Mulyani, Rabu (22/12/2021).
Sri pun menantang negara-negara maju untuk menyediakan pendanaannya. Karena negara maju juga berkontribusi besar menyebabkan karbondioksida (CO2) di dunia.
Indonesia sendiri sudah berkomitmen menurunkan gas rumah kaca dengan mendesain energy transition mechanism (ETM).
Baca juga: Simak! Premium Tak Lama Lagi akan Ditiadakan?
"Jadi leadership Indonesia itu benar-benar dilihat, sebagai negara produsen coal. Kita masih didominasi coal, tapi kita mengatakan, 'oke, fine, we are going to design this policy as long as' kita bisa mendapatkan financing juga. Jadi kita sekarang menantang daripada defensif," ucap Ani, mengutip kompascom.
Guna mempercepat, sambung Sri Mulyani, Indonesia juga mengajak dunia menurunkan emisi karbon secara lebih cepat dengan memanfaatkan sektor kehutanan, seperti penanaman mangrove.
Sejalan dengan langkah ini, Presiden Jokowi lantas, mengajak para duta besar dan lembaga-lembaga internasional untuk turut serta menanam mangrove. Cara ini dinilai lebih murah dibanding biaya untuk memensiunkan dini PLTU.
"Yang memang sangat mahal adalah energi transition (energi transisi). Untuk mengubah energi ini enggak seperti membalikkan tangan. Kita harus punya perencanaan yang baik, yaitu berapa jumlah demand akan meningkat, berapa jumlah coal plant yang akan bisa dipensiunkan secara dini, dampaknya berapa banyak dari sisi keuangan," pungkas Sri Mulyani.