Setelah itu pada tanggal 23 Mei, lanjut Gulat, DMO dan DPO resmi diberlakukan Kembali. Tentunya ini menjadi tanda tanya besar kepada pelaku terkhusus petani sawit. Karena baik PE maupun DMO/DPO akan menjadi beban ganda dari TBS Petani.
“Saya tidak mengerti dasar teori apa yang digunakan oleh Mendag. Kami Petani sawit sudah generasi kedua, sudah bisa menghitung dengan cermat,” katanya.
Tak hanya itu saja, Gulat juga merasa heran. Sebab, sejak tanggal 23 Mei lalu (larangan ekspor dicabut) sampai tanggal (2/6/2022), belum juga terbit berapa persen DMO nya dan berapa Rupiah DPO nya dan praktis ekspor terhambat.
Menurutnya hal ini jelas menghancurkan harga TBS sawit petani. Dan, hingga saat ini terpantau di 146 Kabupaten Kota Perwakilan DPD Apkasindo dari 22 Provinsi DPW Apkasindo, harga TBS Petani sudah semakin anjlok.
“Rerata harga saat ini Rp. 1.900/kg untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp.2.240 untuk petani bermitra, kami sudah tekor apalagi dengan harga pupuk yang naik hampir 300%. Kami Tim Harga di Posko Pengaduan Harga TBS 24 jam memonitor pergerakan harga TBS sawit di PKS, jadi kami tahu apa yang terjadi dari Aceh sampai Papua,” jelas Gulat.
Gulat juga membandingkan, anjloknya harga TBS saat ini, jika dibandingkan sebelum larangan eksport (Rp.4.250/kg TBS) sudah mencapai 55-60% dan jika kondisi ini masih berlarut, bisa dipastikan harga TBS petani bisa dibawah Rp.1.000/kg atau bahkan tidak laku, karena baik PKS dan Refinary sudah kewalahan menyimpan CPO hasil olahan TBS kami petani, karena ekspor belum juga berjalan.




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh