Nusantaratv.com - Petani sawit semakin meradang akibat tak jelasnya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Hal itu disebabkan harga TBS sawit yang tak kunjung membaik setelah sepuluh hari berlalu kran ekspor CPO dan turunannya resmi dibuka.
Padahal harga CPO dunia tembus Rp. 23 ribu per kg, sementara di dalam negeri masih belum jelas dan hanya sibuk dengan gonta ganti regulasi dan ekspor pun praktis tidak berjalan.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung dengan tegas mengatakan, Kementerian Perdagangan harus bertanggungjawab.
Menurutnya, ini semua karena kebijakan Kementerian Perdagangan, sejak kisruh minyak goreng sawit (MGS), Menteri Perdagangan selalu membuat peraturan yang blunder tidak berdasarkan kondisi dan tidak bersolusi.
Gulat membeberkan pada bulan Februari 2022 diberlakukan regulasi DMO dan DPO. Lalu berselang beberapa hari diganti dengan regulasi MGS curah disubsidi dari dana sawit BPDPKS (badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit) dengan konsukuensi saat itu dinaikkannya Pungutan Eksport (PE) dari US$ 175 per ton menjadi US$ 375.
“PE saat ini sudah 1/3 dari harga CPO itu sendiri, tentu ini sangat memberatkan yang ujung-ujungnya beban tersebut di timpakan ke harga TBS Petani sawit. Belum lagi pajak Bea Keluar (BK) USD 200/ton CPO, tentu secara total (PE dan BK) sudah mencapai setengah dari harga CPO itu sendiri (asumsi harga CPO jika Rp.16.000/kg). Ini menjadi sejarah dan hanya terjadi di industry sawit yang bebannya mencapai setengah dari harga barangnya,” kata Gulat dikutip Infosawit, Sabtu (4/6/2022).
Setelah itu pada tanggal 23 Mei, lanjut Gulat, DMO dan DPO resmi diberlakukan Kembali. Tentunya ini menjadi tanda tanya besar kepada pelaku terkhusus petani sawit. Karena baik PE maupun DMO/DPO akan menjadi beban ganda dari TBS Petani.
“Saya tidak mengerti dasar teori apa yang digunakan oleh Mendag. Kami Petani sawit sudah generasi kedua, sudah bisa menghitung dengan cermat,” katanya.
Tak hanya itu saja, Gulat juga merasa heran. Sebab, sejak tanggal 23 Mei lalu (larangan ekspor dicabut) sampai tanggal (2/6/2022), belum juga terbit berapa persen DMO nya dan berapa Rupiah DPO nya dan praktis ekspor terhambat.
Menurutnya hal ini jelas menghancurkan harga TBS sawit petani. Dan, hingga saat ini terpantau di 146 Kabupaten Kota Perwakilan DPD Apkasindo dari 22 Provinsi DPW Apkasindo, harga TBS Petani sudah semakin anjlok.
“Rerata harga saat ini Rp. 1.900/kg untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp.2.240 untuk petani bermitra, kami sudah tekor apalagi dengan harga pupuk yang naik hampir 300%. Kami Tim Harga di Posko Pengaduan Harga TBS 24 jam memonitor pergerakan harga TBS sawit di PKS, jadi kami tahu apa yang terjadi dari Aceh sampai Papua,” jelas Gulat.
Gulat juga membandingkan, anjloknya harga TBS saat ini, jika dibandingkan sebelum larangan eksport (Rp.4.250/kg TBS) sudah mencapai 55-60% dan jika kondisi ini masih berlarut, bisa dipastikan harga TBS petani bisa dibawah Rp.1.000/kg atau bahkan tidak laku, karena baik PKS dan Refinary sudah kewalahan menyimpan CPO hasil olahan TBS kami petani, karena ekspor belum juga berjalan.
Walaupun larangan ekspor sudah dicabut per tanggal 23 Mei lalu, per hari ini masih belum ada sama sekali ekspor CPO dan turunannya.
Akibat dari ini maka praktis baik Refinari dan PKS tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi selalu gagal tender nya di KPBN, sudah lebih dari 1 bulan tender CPO di KPBN tidak membuahkan hasil (WD) akibat ketidakpastian ini.
“Ini masa-masa sulit tahap II yang kami alami, setelah sebelumnya saat larangan ekspor masih berlaku. Perlu dicatat bahwa kami tidak membela siapapun, tapi kami hanya memikirkan dampaknya kepada kami petani sawit dan kami punya keluarga yang harus dibiayai, jadi jangan membuat opini bahwa pergerakan kami untuk orang atau kelompok lain. Ini masalah ‘dapur’ kami, apapun akan kami lalukan untuk itu, tidak ada bedanya Ketika dapur anda terganggu,” ungkap Gulat.




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh