Nusantaratv.com - Sejak kudeta militer pada Februari lalu, militer Myanmar telah menindak para pengunjuk ketika pertempuran berkecamuk antara warga sipil dan militer, yang bersiaga menargetkan pasukan pemberontak yang menentang aturan junta.
Ketika pertempuran sedang berlangsung, rakyat Myanmar juga berjuang untuk mengakses internet. Sebab, puluhan kota dilaporkan tidak memiliki akses jaringan internet, seperti dikutip dari VOA News, Kamis (30/9/2021).
Salah satu negara di kawasan Asia Tenggara itu secara berkala mengalami pemutusan internet sepanjang tahun, yang menurut junta hal itu dilakukan guna menjaga 'stabilitas' serta mencegah disinformasi dan berita palsu atau hoaks.
Seorang aktivis kebebasan internet di Myanmar, Htaike Htaike Aung pada Selasa (28/9/2021) memposting di media sosialnya jika akses ke internet di 25 kota telah terputus.
Namun, pemerintah militer membantah melakukan pemutusan dan justru menuding pasukan pertahanan lokal melakukan penutupan internet, menurut organisasi berita Mizzima.
Baca Juga: YouTube Tegas, Blokir Semua Konten Anti-vaksin Covid-19
Masalah internet tahun ini di Myanmar terungkap dalam laporan Freedom House, sebuah lembaga penelitian nirlaba. Organisasi tersebut mengukur kebebasan internet negara berdasarkan berbagai faktor, seperti pembatasan konten dan pelanggaran hak pengguna pada skala 100 poin.
Myanmar menempati peringkat 30 pada 2020, tetapi tahun ini naik menjadi peringkat 17, yang masuk dalam kategori 'tidak bebas'. Laporan tersebut mengatakan junta mulai menutup internet tak lama setelah kudeta militer dan kemudian mengambil alih telekomunikasi Myanmar.
Situasi politik di negara itu mengakibatkan salah satu operator besar di Myanmar, Telenor yang merupakan perusahaan Norwegia, menghentikan operasinya di negara itu. Selain itu, militer Myanmar juga memblokir platform media sosial dan setidaknya tujuh media online. Pada Maret lalu, lima media juga telah dicabut izinnya.
Aktivis pro-demokrasi Thinzar Shunlei Yi mengatakan jika militer sedang mencoba melakukan 'kudeta digital' bersama dengan kudeta politiknya.
Sementara itu, seorang analis politik dari Myanmar, Aung Thu Nyein mengungkapkan jika penutupan internet memungkinkan junta untuk melawan perlawanan di daerah-daerah yang lebih menantang di negara itu.
"Alasan utama penutupan Internet adalah untuk mengontrol informasi dari area bermasalah, terutama rekaman video pertempuran dan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, pihak berwenang dapat memantau orang-orang yang masih bekerja di bawah bandwidth terbatas," terangnya.
"Hampir semua wilayah ini adalah sarang perlawanan sipil terhadap militer, seperti Kayah, negara bagian Kachin, dan wilayah Sagaing dan Magwe," tambahnya.
Mereka yang tinggal di Myanmar sangat bergantung pada akses internet, terutama platform media sosial seperti Facebook, untuk membaca berita. Di banyak wilayah, pemutusan internet berarti tidak ada cara lain untuk mempelajari peristiwa secara mandiri di seluruh negeri.