Nusantaratv.com - Pada Selasa (6/12/2022) Pemerintah bersama DPR RI mengesahkan Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang. Keputusan itu digaungkan dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Dengan disahkannya RUU KUHP menjadi undang-undang, berarti Indonesia kini memiliki sistem hukum pidana yang dihasilkan dari pikiran anak bangsa dan tidak lagi mengacu pada sistem hukum peninggalan Hindia Belanda.
Lahirnya KUHP yang baru diharapkan dapat menjadi pondasi yang kuat bagi kemajuan sistem hukum pidana di Tanah Air. KUHP akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa yang berusaha lepas dari bayang-bayang produk hukum kolonial.
Dengan kata lain, keinginan untuk mewujudkan dekolonisasi KUHP peninggalan Belanda tidak ingin segera dilakukan. Demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, adaptasi dan harmonisasi perkembangan hukum yang terjadi, baik sebagai pengembangan ilmu hukum pidana maupun pengembangan nilai-nilai dalam masyarakat.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan RUU KUHP merupakan salah satu RUU yang disusun dalam sistem kodifikasi hukum pidana nasional dengan tujuan menggantikan sistem hukum pidana lama atau yang dikenal sebagaiWetbooek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie.
Sejak kemerdekaan, Wetbooek van Strafrecht voor Nederlandsch Indietelah berevolusi secara masif dari dasar-dasar hukum pidana yang diatur dalam kodifikasi. Pembangunan itu tidak bebas dari hukum pidana murni maupun hukum pidana administrasi, termasuk peraturan daerah.
Perkembangan yang terjadi berkaitan erat dengan tiga aspek. Pertama, rumusan perbuatan terlarang, rumusan pertanggungjawaban pidana dan rumusan sanksi, baik berupa pidana pemidanaan maupun pemberian tindakan.
Atas dasar itu, perkembangan hukum pidana perlu diintegrasikan ke dalam sistem hukum pidana Indonesia dengan melakukan pencatatan yang mencakup konsolidasi dan sinkronisasi ke dalam buku hukum yang sistematis.
Perluasan jenis pidana
KUHP yang baru saja dikonfirmasi oleh eksekutif dan legislatif tidak hanya berisi bab-bab yang dinilai kontroversial oleh sebagian masyarakat. Tetapi ada juga sejumlah reformasi, salah satunya memperluas jenis kejahatan yang dapat diturunkan kepada penjahat.
Dalam KUHP terdapat tiga tindak pidana terorganisir, yaitu penjahat pohon, penjahat tambahan, dan penjahat khusus. Untuk penjahat utama, RUU KUHP tidak hanya mengatur kejahatan dan denda penjara, tetapi juga menambahkan tindak pidana yang ditutup-tutupi, pengawasan, dan penjahat pekerjaan sosial.
Perbedaan besar yang perlu digarisbawahi adalah RUU KUHP tidak lagi menempatkan penjahat mati sebagai penjahat utama, melainkan penjahat yang spesifik dan selalu diancam dan dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun kepada pelaku.
Kontroversinya adalah, ketika seorang penjahat yang dijatuhi hukuman mati mampu menunjukkan perubahan ke arah yang baik, seperti menyesali tindakannya, berperilaku baik selama 10 tahun di balik jeruji besi atau perannya dalam tindakan kejahatan yang tak terkatakan.Anda signifikan, sehingga ancaman penjahat yang mati dapat dicabut.
Meski dinilai mengalami kemajuan, khususnya soal kriminalitas, namun tetap menjadi sorotan oleh sebagian orang, salah satunya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Komnas HAM berpandangan bahwa caddy pidana mati bukan lagi pidana pokok (pidana alternatif) yang terdapat dalam Pasal 67 dan Pasal 98, tetapi masih dianggap melanggar prinsip-prinsip HAM.
Masih tercantum penjahat mati dalam KUHP baru jelas bertentangan dengan Pasal (28A) UUD 1945, Pasal 9 UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tidak hanya itu, juga bertentangan dengan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik, di mana hak untuk hidup merupakan hak fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun (non derogable right).
Selain penjahat yang sekarat, RUU KUHP juga secara signifikan mereformasi penjahat penjara. Itu dibuat dengan mengatur pedoman yang diteliti keadaan tertentu untuk sebisa mungkin penjahat penjara tidak diturunkan kepada pelaku.
Keadaan yang dimaksud ketika pelaku adalah anak-anak, di atas usia 75 tahun ke atas, baru saja mengambil tanggapan pidana, serta beberapa keadaan lain yang diatur dengan jelas dalam KUHP baru.
Selain pidana pokok, KUHP baru juga menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana dapat dikenakan tindak pidana tambahan, berupa pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan barang, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, hingga pemenuhan kewajiban adat setempat.
Keseimbangan kepentingan
dalam penyusunan RUU KUHP hingga akhirnya disahkan menjadi undang-undang, bukan perkara mudah. Pro dan kontra Kuhp baru juga mewarnai perjalanan.
Bagi kelompok yang berbeda pendapat, pada hakikatnya pandangan bahwa ada sejumlah pasal yang dinilai kontroversial. Baik itu soal mengekang kebebasan berpendapat, menekan nilai-nilai demokrasi, hingga pasal-pasal yang dinilai berpotensi mengancam HAM.
Di satu sisi, pemerintah bersama DPR menyadari bahwa dengan kondisi Indonesia yang beragam, tidak akan mudah untuk mengakomodir semua keinginan tersebut. Kebijakan bertindak berpandangan bahwa materi hukum pidana nasional yang diabadikan dalam RUU KUHP juga harus mencapai keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara perlindungan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
Keseimbangan itu, antara antara unsur-unsur tindakan batin dan sikap, kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai universal, serta hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia.
Padahal, sebelum RUU KUHP disahkan, Pemerintah telah menasionalisasinya melalui jadwal diskusi publik yang diadakan di 11 kota pada 2021, serta dialog publik di 11 kota pada 2022. Dalam hal itu, semua masukan dan aspirasi masyarakat ditampung dan didengarkan menggunakan penyelesaian KUHP.
Yasonna Laoly menyadari KUHP baru tidak akan mampu "memenuhi" keinginan semua pihak. Oleh karena itu, sebagai negara hukum dan demokrasi, maka pihak-pihak yang tidak setuju dapat melakukan upaya yang lebih bijak tanpaa harus turun ke jalan, yaitujudicial reviewke Mahkamah Konstitusi.
Sebelum disahkan, tepatnya Senin (5/12/2022), Komnas HAM menyampaikan pendapat ketika RUU MAHAF dikukuhkan sebagai undang-undang, namun tetap mengutip pasal-pasal yang dinilai bertabrakan dengan nilai-nilai HAM, sehingga dewan membuka opsiuntuk melakukan pendekatan lain yangtidak bermeterai ke Mahkamah Konstitusi.
Komnas HAM berpandangan bahwa DPR harus memahami bahwa masih banyak pihak yang tidak puas atau tidak setuju dengan RUU KUHP. Kini, upaya atau mekanisme hukum yang tersedia adalah judicialtesting atau judicial reviewke MK.
Harapannya, KUHP yang dihasilkan anak bangsa benar-benar dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi kemajuan sistem hukum pidana di Tanah Air. Adapun pihak yang tidak setuju dengan segala bentuk argumen dapat diuji di meja hijau.(Ant)