Nusantaratv.com-Kebijakan hilirisasi dalam industri pertambangan di Indonesia, yang dimulai dengan nikel pada tahun 2020, telah terbukti membawa dampak positif signifikan terhadap perekonomian. Upaya ini tidak hanya berhasil meningkatkan nilai tambah produk olahan industri, tetapi juga mendorong penciptaan lapangan kerja baru serta memberikan berbagai dampak ekonomi tambahan. Selain itu, hilirisasi dianggap sebagai solusi untuk mengurangi defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan Indonesia, dua masalah utama yang selama ini membebani perekonomian negara.
Larangan ekspor bijih nikel menjadi salah satu langkah penting dalam mengubah wajah industri nikel di Indonesia. Banyak perusahaan, baik lokal maupun internasional, berlomba-lomba untuk berinvestasi dan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih nikel atau smelter di berbagai wilayah. Salah satu contoh yang menonjol adalah smelter milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada akhir Desember 2021. Proyek ini memiliki nilai investasi yang sangat besar, mencapai Rp42,9 triliun, dengan total area seluas 1.907 hektare. Smelter tersebut mengolah bijih nikel menjadi feronikel dengan kadar 10-12%, dan memiliki kapasitas produksi 1,8 juta ton feronikel per tahun. Proyek besar ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 60.000 orang setelah smelter beroperasi secara penuh.
Selain GNI, di Sulawesi Tenggara juga terdapat smelter nikel milik PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang berlokasi di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe. Dengan jumlah tenaga kerja sekitar 17.000 orang, perusahaan ini memiliki kapasitas produksi yang luar biasa, yaitu 2,2 juta ton ferronickel dan 3 juta ton billet stainless steel per tahun. Di lokasi yang sama, terdapat juga PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) yang memiliki kapasitas produksi 1 juta ton per tahun dengan jumlah tenaga kerja mencapai 26.000 orang.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ditjen Ilmate) Kementerian Perindustrian, hingga Maret 2024 terdapat 44 smelter nikel yang telah beroperasi di seluruh Indonesia. Selain itu, terdapat 2 smelter tembaga, 3 smelter alumina, 2 smelter aluminium, dan 3 smelter timah yang beroperasi. Di sektor nikel sendiri, masih ada 19 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 7 lainnya berada dalam tahap studi kelayakan. Meningkatnya investasi dalam pembangunan smelter nikel sebagian besar didorong oleh kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, termasuk penghapusan aturan yang tidak ramah terhadap investasi dan kemudahan dalam perizinan terkait hilirisasi.
Dampak positif dari kebijakan hilirisasi nikel sudah mulai terasa dalam tiga tahun terakhir. Presiden Joko Widodo mencatat bahwa pada tahun 2015, ekspor nikel Indonesia hanya bernilai sekitar Rp45 triliun. Namun, setelah kebijakan hilirisasi diberlakukan, nilai ekspor tersebut meningkat drastis hingga mencapai Rp520 triliun pada tahun 2023, atau naik 11 kali lipat. Presiden Jokowi menekankan bahwa keuntungan dari hilirisasi ini tidak hanya dirasakan oleh perusahaan-perusahaan, tetapi juga memberikan manfaat besar bagi rakyat melalui pajak dan berbagai pungutan negara lainnya, seperti pajak perusahaan, pajak karyawan, bea ekspor, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Program hilirisasi tidak berhenti di sini. Proyek-proyek smelter baru terus bermunculan, di antaranya adalah smelter tembaga milik PT Amman Mineral Internasional Tbk di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan fasilitas pengolahan milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, yang mulai beroperasi pada September 2024. Selain itu, pemerintah juga meresmikan smelter bauksit milik PT Mining Industri Indonesia (Persero) di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Smelter ini memiliki kapasitas produksi 1 juta ton alumina per tahun dari sekitar 3,3 juta ton bahan baku bauksit.
Hasil dari kebijakan hilirisasi ini sangat beragam. Selain menciptakan lebih dari 200.000 lapangan kerja baru di sektor pengolahan mineral, pendapatan negara juga meningkat pesat. Dalam delapan tahun terakhir, hilirisasi telah menyumbang lebih dari Rp158 triliun kepada kas negara. Pendapatan ini menjadi modal penting bagi pemerintah untuk mendorong pemerataan kesejahteraan di seluruh Indonesia.
Meningkatkan Nilai Tambah Melalui Hilirisasi
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah melalui hilirisasi produk-produk tambang, yaitu dengan mengolah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah lebih tinggi sebelum dijual ke pasar internasional. Namun, selama bertahun-tahun, Indonesia belum memaksimalkan potensi hilirisasi ini. Akibatnya, banyak produk tambang mentah diekspor begitu saja tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga pendapatan negara yang diperoleh dari sektor ini menjadi sangat minimal.
Presiden Joko Widodo mengambil langkah tegas untuk menghentikan praktik tersebut. Dia mendorong semua pihak terkait di sektor pertambangan untuk memulai proses hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah produk tambang. Langkah awal dari realisasi kebijakan hilirisasi ini telah dilakukan pada sektor nikel, mengingat permintaan global yang terus meningkat terhadap produk nikel. Dengan cadangan nikel yang mencapai sekitar 52% dari total cadangan dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama di pasar nikel global.
Larangan ekspor bijih nikel mulai diberlakukan efektif sejak 1 Januari 2020, sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019. Kebijakan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang melarang ekspor bahan tambang mentah.
Hilirisasi: Membangun Jalan Baru untuk Industri Nasional
Presiden Joko Widodo sering kali menekankan pentingnya hilirisasi dalam berbagai kesempatan. Dia percaya bahwa dengan memproses produk tambang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, Indonesia akan memiliki nilai tambah yang lebih besar, yang akan berdampak positif pada penciptaan lapangan kerja serta pengurangan defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan. Menurut perhitungan Presiden, jika kebijakan hilirisasi diterapkan di semua sektor tambang, dua defisit tersebut dapat diselesaikan dalam waktu tiga tahun.
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menegaskan bahwa hilirisasi komoditas mineral merupakan kunci untuk mencapai visi Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045. Pengolahan bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, serta penerapan transformasi ekonomi, dianggap sebagai langkah strategis untuk mengoptimalkan potensi Indonesia di pasar global, terutama dengan meningkatnya permintaan terhadap produk-produk teknologi ramah lingkungan.