Nusantaratv.com - Isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tersebar di masyarakat mendapat sorotan karena dinilai bisa memberangus kebebasan pers dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Pers.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebutkan kalimat pelarangan penayangan jurnalistik investigatif "membingungkan". Dikatakan jika pasal ini dapat dimaknai sebagai pemberangusan pers.
"Kami sudah mempelajari draft undang-undang ini. Ada beberapa pasal yang terkait dengan jurnalistik seperti di pasal 56 ayat 2, disebutkan adanya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Ini kita bingung maksudnya apa? Apakah jurnalistik investigasi tidak bisa ditayangkan di penyiaran? Itu juga sesuatu yang aneh?" ujar Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana saat menjadi narasumber pada program NTV Prime di Nusantara TV, Jumat (10/5/2024).
"Kalimat pelarangan eksklusif jurnalistik investigasi bisa ditafsirkan tidak boleh ada produk jurnalistik investigasi di penyiaran. Justru ini malah menghambat kebebasan pers. Inikan tidak terbuka, artinya draf ini disusun tanpa ada partisipasi publik. Seandainya ini terbuka, tentu kami bisa kasih masukan dengan benar?" sambungnya.
Selain itu, kata dia, adanya pasal yang menyebutkan kasus-kasus jurnalistik atau sengketa pers hanya ditangani KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dan bukan Dewan Pers.
"Padahal dalam undang-undang yang berjalan sekarang, KPI ketika terjadi sengketa pers selalu dikembalikan ke Dewan Pers. Sebenarnya menurut kami ini adalah memotong wewenang dari Dewan Pers," sambungnya.
RUU ini, tambah Bayu, juga yang nantinya bakal mengatur penyiaran sampai di ranah internet, over-the-top (OTT) dan sebagainya.
"Ini juga menjadi persoalan nantinya buat teman-teman yang membuat konten-konten, maupun siaran di internet. Mereka akan terkena pasal-pasal ini," jelas Bayu.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, semua yang diatur di dalam undang-undang penyiaran terkait dengan kode etik jurnalistik dan industri pers.
"Nantinya akan disinkronisasi, sehingga tidak akan ada perbedaan norma yang sudah diatur di dalam industri pers, atau di dalam kode etik jurnalistik, karena ini adalah formatnya penyiaran. Sama seperti waktu membahas undang-undang ITE, banyak yang mempermasalahkan pasal-pasal yang dianggap pasal karet, sampai diajukan ke Mahkamah Konstitusi," terang Bobby.
Padahal, lanjut dia, yang diatur di dalam undang-undang tersebut adalah substansi yang sudah diatur di dalam KUHP. "Jadi, tidak akan ada dianggap memberangus kebebasan pers, maupun menekan kebebasan berpendapat."
"Semua yang diatur di dalam industri pers dan kode etik jurnalistik, karena namanya media massa itu memang mengalami perkembangan. Kebetulan saat ini formatnya adalah OTT. Jadi tidak akan ada yang sudah diatur dan dilarang di dalam kode etik jurnalistik itu dikecualikan dalam undang-undang penyiaran. Itu yang kita tidak inginkan," imbuhnya.
Terkait jurnalistik investigasi, menurutnya, juga telah diatur di dalam kode etik jurnalistik. "Kalau sifatnya sembunyi-sembunyi, tanpa meminta izin, juga tidak diperbolehkan dalam industri pers. Kalau nanti misalkan ada diksi-diksi yang berbeda nanti perlu sinkronisasi. Tapi tidak ada perbedaan norma dengan apa yang sudah diatur dalam kode etik jurnalistik," tegas Bobby.
"Jurnalistik investigasi boleh. Ada riset awal dan acuannya, tetapi tidak boleh sembunyi-sembunyi. Kalau itu dilakukan bukan lewat format penyiaran TV, dan itu dilakukan dalam pers misalkan media cetak, sama saja akan diadili juga dalam konteks di mediasi oleh Dewan Pers," urainya.
Sedangkan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto menyoroti jurnalisme investigasi yang tidk boleh dilakukan secara sembunyi.
"Justru jurnalisme investigasi dilakukan sembunyi karena selama ini ada banyak hal-hal yang tidak beres. Jadi kalau dilakukan terbuka malah tidak akan bisa membuat karya jurnalisme investigasi yang optimal," ucapnya.
"Jadi soal karya jurnalisme investigasi memang punya cara tersendiri untuk bisa mendapatkannya, dan kadang-kadang memang harus menyamar dan lain-lain.
Tidak mungkin misalnya kita melakukan investigasi seperti predaran narkoba di LP (lembaga pemasyarakatan), nggak mungkin si reporter akan tanya langsung 'woi! siapa di sini yang jadi bandar narkoba? Itu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan," tambah Ignatius.
Untuk itu, terang dia, penyamaran dilakukan guna bisa mendapatkan informasi sehingga kebenaran bisa terungkap. "Jadi harus ada kejelasan untuk kalimat-kalimat ambigu semacam ini," ujarnya.
Direktorat Jenderal (Dirjen) Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Usman Kansong, menyebutkan revisi undang-undang penyiaran adalah untuk mensinkronkan perkembangan teknologi. Sehingga definisi penyiaran diperluas termasuk di dalamnya adalah internet.
"Tetapi kita juga harus ingat berdasarkan undang-undang ITE, pengawasan dunia digital, dunia internet ada di pemerintah, dalam hal ini kominfo, tidak di lembaga lain. Jadi PSE (penyelenggara sistem elektronik) itu harus tunduk kepada aturan dan pengawasannya dilakukan oleh pemerintah," sebut Usman.
Apakah nantinya televisi akan diperlakukan sebagai PSE jika bersiaran melalui internet, dia menegaskan, hal itu harus di-clear-kan terlebih dahulu, supaya tidak ada tumpang tindih pengawasan nantinya.
Menurutnya, di dunia internet, terhadap tayangan yang tidak sesuai dilakukan take-down dan klasifikasi.
"Jadi kalau satu konten itu tayang dulu baru bisa kita take-down, sementara rezim klasifikasi itu tayangan konten di media sistem elektronik atau penyelenggara sistem elektronik, itu berdasarkan klasifikasi, misalnya usia seperti dalam konteks game online, atau film di bioskop. Jadi rezimnya adalah klasifikasi bukan rezim sensor. Kalau di dunia internet umumnya seperti itu. Sehingga ini juga memerlukan sinkronisasi," cetusnya.
Sedangkan terkait kebebasan pers, jelas Usman, pemerintah sudah tidak lagi ikut cawe-cawe sejak reformasi dengan lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
"Pengawasan dunia pers, jurnalistik diserahkan kepada Dewan Pers. Kemudian ketika lahir UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, maka untuk jurnalistik televisi diserahkan kepada KPI. Jadi pemerintah tidak ikut campur tangan dalam pengawasan pers, salah satunya dalam hal kebebasan pers, justru pemerintah mendukung kebebasan pers," tukas Usman.