Nusantaratv.com - Pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong tak pernah henti mengeluhkan soal minimnya sosok striker tajam dalam komposisi skuad Garuda.
Sebelumnya, Shin Tae-yong juga sudah mencoba hampir semua striker yang ada di kompetisi Liga 1, sayangnya tak ada satupun yang nyantol di hatinya.
Bahkan, Shin Tae-yong juga sudah memaksimalkan potensi Rafael Struick di lini depan skuad Garuda pada laga Piala Asia 2023 lalu. Namun, dia masih belum puas dengan opsi yang ada.
Baca Juga: Keganasan Tim Waterink Cocok untuk Lini Depan Timnas Indonesia
Apalagi, pemain keturunan yang saat ini sudah dinaturalisasi lebih banyak berposisi bek, gelandang, hingga sayap.
Untuk itu, dengan adanya proses naturalisasi yang kini sedang dijalankan penyerang Fortuna Sittard dan Ragnar Oratmangoen bisa menjadi berkah bagi sepak bola Indonesia.
Berbicara soal striker, Indonesia sebetulnya sempat memiliki nama-nama besar yang bisa diandalkan seperti Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono, dan Boaz Solossa.
Bahkan, Indonesia juga pernah memiliki sosok striker yang sangat disegani dikancah sepak bola Asia. Sayangnya, pemain tersebut gagal saat berseragam merah putih.
Sosok tersebut adalah Sergio van Dijk yang lahir di Australia pada 6 Agustus 1981 dan memiliki darah Indonesia dari sang ibu.
Sergio resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pada 2011 dan sempat digadang-gadang akan menjadi bomber andalan Timnas Indonesia.
Sebab, Sergio merupakan sosok striker yang dikenal memiliki penyelesaian akhir sangat luar biasa serta lihai mencari ruang saat berada di dalam kotak penalti.
Sergio van Dijk mengawali karier sepak bolanya di Belanda sejak tahun 1998 hingga 2008. Setelah itu, Ia memutuskan untuk bergabung dengan Brisbane Roar yang tampil di kompetisi sepak bola Australia.
Selama dua musim berseragam Brisbane Roar pada tahun 2008-2010, Sergio mampu mencetak 17 gol dan tiga assist dalam 37 pertandingan.
Setelah itu, Sergio pindah ke klub raksasa Liga Australia, Adelaide United dan mendapat durasi kontrak selama dua tahun, tepatnya pada 2010 hingga 2012.
Bersama Adelaide United, penampilan Sergio sebagai tukang bikin gol semakin tajam dan ganas. Terbukti, Ia juga sukses meraih gelar top skor Liga Australia pada musim pertamanya di tahun 2010-2011.
Tercatat, Sergio mampu mengoleksi 16 gol dalam 28 pertandingan untuk Adelaide United pada musim tersebut.
Pada tahun 2013, nama Sergio van Dijk mulai dikenal oleh publik Indonesia dan sempat bergabung selama satu musim bersama Persib Bandung.
Kala itu, Sergio sukses mencetak 21 gol dalam 29 pertandingan bersama Mang Bandung di Liga Super Indonesia 2013.
Bahkan, Sergio juga menjadi pencetak gol terbanyak nomor dua di bawah sang legenda Boaz Solossa yang saat itu memperkuat Persipura Jayapura dengan torehan 25 gol.
Tak hanya di Liga Australia dan Indonesia, nama Sergio van Dijk juga bersinar di Liga Thailand bersama Suphanburi meski saat itu Ia hanya mendapat kontrak dengan durasi selama satu musim saja.
Sergio kembali mampu membuktikan kualitasnya di kompetisi Thai League 2015 dengan menjaringkan 14 gol dari 25 pertandingan bersama Suphanburi.
Keganasan Sergio di lini depan juga membuat klub papan atas Liga Iran, Sepahan FC tertarik untuk menggunakan jasanya.
Sayangnya, karier Sergio harus berhenti sejenak pada tahun 2016 setelah dirinya mengalami cedera yang cukup serius sehingga hanya mampu mencatatkan dua gol dalam 11 pertandingan bersama Sepahan FC.
Namun, karirnya yang gemilang bersama sejumlah klub di kompetisi berbeda negara sejak tahun 2010 hingga 2016 tak menular saat Sergio membela Timnas Indonesia.
Selama kurang lebih satu tahun berseragam Timnas Indonesia tepatnya pada tahun 2014, Sergio hanya mencatatkan satu gol saja dari enam pertandingan yang dijalaninya.
Gol semata wayang itu dicetak Sergio pada laga uji coba Timnas Indonesia kontra Timor Leste sebelum Piala AFF 2014.
Bahkan, Sergio juga gagal menunjukkan ketajaman dan keganasannya saat tampil dalam tiga laga tanpa gol bersama Timnas Indonesia di Piala AFF 2014.
Akan tetapi menurut banyak pihak, kegagalan Sergio van Dijk disebabkan oleh faktor cedera yang terus menghantui dan iklim sepak bola tanah air yang saat itu sedang tidak baik-baik saja karena adanya dualisme kompetisi (ISL dan IPL) serta dualisme kepengurusan PSSI.