Nusantaratv.com - Sabtu kelabu di Stadion Hillsborough, Sheffield, 15 April 1989. Sebanyak 97 nyawa melayang pada laga Liverpool dan Nottingham Forest.
Keduanya memperebutkan tiket ke final Piala FA. Di Inggris, itulah tragedi domestik sepakbola terburuk sepanjang sejarah. Kerusuhan terjadi sebelum pertandingan dimulai. Kerusuhan membuat pertandingan antara Liverpool dan Nottingham Forest urung dilangsungkan.
Penyidik dan otoritas Inggris bergerak cepat. Beragam konklusi didapat. Tak satu pun yang 100% memuaskan publik soal penyebab melayangnya 97 nyawa penonton itu, sampai saat ini. Tapi, malapetaka itu tak menghentikan sepakbola. Laga semifinal itu dipindahkan ke Stadion Old Trafford, Manchester, tiga minggu kemudian. Pertandingan aman, Liverpool menang dan maju ke final.
Hanya tiga minggu Inggris menghentikan sepakbola karena duka Hillsborough? Tidak juga. Seminggu setelah Tragedi Hillsborough, Kompetisi Divisi I (kini namanya Premier League), tetap bergulir. Dengan tanda-tanda duka yang disematkan para pemain di lapangan.
Begitulah Inggris. Tragedi Hillsborough adalah duka. Tapi, dia ditempatkan pada posisi yang tepat. Persoalan pelanggaran hukum ditangani penyidik dan tim investigasi. Sepakbola jalan terus. Pun ketika Tragedi Heysel terjadi di Brussels, Belgia. Duel final Piala Champions 1985 (kini Liga Champions) mempertemukan antara Juventus dan Liverpool, juga rusuh. Sejumlah 39 orang, kebanyakan pendukung Liverpool, tewas. Peristiwa itu tak menghentikan sepak bola. Musim berikutnya, Piala Champions bergulir sesuai jadwal yang ditetapkan.
Persoalan Kanjuruhan, faktanya, telah menghentikan Kompetisi Liga 1 lebih dari sebulan. Tak ada tanda-tanda pasti, kapan kompetisi akan bergulir kembali. Tentu saja, apa yang terjadi di Kanjuruhan, adalah sebuah tragedi. Peristiwa itu menyulut duka yang amat dalam. Sejumlah 135 nyawa melayang dalam pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya.
Segala macam hal sudah keluar. Air mata sudah tercurah dan nyaris habis. Sumpah serapah terhadap pihak-pihak yang dituding menyebabkan tragedi itu bertebaran, di tempat umum hingga media sosial. Penanganan persoalan hukum sedang berjalan, investigasi tim pencari fakta pun sudah menghasilkan rekomendasi-rekomendasi.
Tapi, belum ada tanda-tanda pasti, kapan kompetisi bergulir. Pemerintah, yang memiliki otoritas terhadap izin pertandingan dan keramaian, belum memberikan sinyal terang. Lalu kalau kompetisi tidak segera bergulir siapa korbannya? Tak sedikit. Ada sekitar 112 ribu orang. Mereka adalah pihak-pihak yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan kompetisi. Itu di luar pecinta bola.
Hasil kajian Universitas Indonesia, selama satu musim Kompetisi Liga 1, agenda tersebut menggerakkan tenaga kerja sekitar 112 ribu orang itu. Mereka mulai dari pemain, pelatih, pekerja klub, pedagang merchandise, jersey, jasa transportasi, perhotelan, katering, hingga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Karena tak adanya kejelasan soal kompetisi, pihak-pihak yang terkait langsung mulai kelimpungan. Sriwijaya FC, misalnya, membubarkan timnya. Beban finansial makin bengkak karena tak ada kejelasan soal kapan Kompetisi Liga 2 mulai digelar kembali.
Madura United juga memulangkan pelatih dan pemain asingnya.
Alasannya serupa, kompetisi penuh ketidakpastian. Pun PSIS Semarang, ditinggal pelatih kipernya, Rory Grand, yang pulang ke Inggris meski ditawarkan kontrak baru. Atau, Persib Bandung, sempat galau. Takut ditinggal pelatih Luis Milla. Pasalnya, di tengah kompetisi yang terhenti, terbetik kabar mantan pelatih tim U-21 Spanyol itu dilirik klub Meksiko.
Memantau nasib pemain yang terpantau di klub sudah pasti gampang. Yang sulit adalah memantau bagaimana nasib Mak Inah, pedagang cilok di sekitar Stadion Gelora Bandung Lautan Api, nasib Pak Toyo pedagang gorengan di Stadion Manahan Solo, nasib Mang Ujang yang berdagang jersey di Stadion Pakansari Bogor, dan mereka lain yang ikut menggantungkan hidupnya di sekitar stadion kala pertandingan sepakbola berlangsung.
Mereka sangat berharap perputaran uang senilai Rp3 triliun yang ada di sekitar stadion selama satu musim kompetisi berlangsung, bisa ikut mereka rasakan. Seberapapun besarnya. Tapi, harapan itu kini hampa, tepatnya tak terprediksi, karena kompetisi Liga 1 juga tak tentu kapan akan digulirkan.
Tentu saja, siapapun, tak peduli warna kostumnya apa, sangat berduka dengan Tragedi Kanjuruhan. Tapi, semua sudah terjadi. Petugas penegak hukum pun sudah bergerak, menelisik, menyelidik, dan menyidik siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. Biarkan hukum berjalan. Kalau ada penyelewengan-penyelewengan hukum, tinggal publik mengawasi. Menjadi watch dog.
Tapi, kompetisi patut dan layak bergulir kembali karena berbagai alasan. Alasan teknikal sport –pemain perlu berlatih dan mengasah kemampuan, alasan ekonomi –hilangnya rezeki para pihak yang berada di sekitar stadion, hingga alasan kultural.
“Ayo bermain sepak bola,” tulis Ilija Spasojevic di akun instagram personalnya.
Bagi pemain, bertanding di lapangan hijau, adalah kepuasan batin yang tak bisa dicari tandingannya. Bukan sekadar materi, tapi soal nurani dan hasrat diri. (PSSI)