Nusantaratv.com - Seremoni kemenangan Timnas Bulutangkis Indonesia diajang Thomas Cup 2021 kurang sempurna setelah bendera Merah Putih tak bisa berkibar. Alhasil, digantikan dengan bendera logo Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Gagalnya pengibaran bendera Merah Putih ini seakan melukai penantian 19 tahun Indonesia untuk membawa Thomas Cup ke Tanah Air. Untuk diketahui Indonesia terakhir menjuarai Thomas Cup pada tahun 2002 silam.
Tak berkibarnya bendera Merah Putih merupakan buntut dari hukuman Badan Antidoping Dunia (WADA) kepada Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) yang datang pekan lalu.
Pada 15 September 2021 silam WADA sudah mengirimkan surat kepada LADI perkara ketidakpatuhan program uji doping. Selanjutnya pada 8 Oktober 2021 WADA memberikan sanksi kepada Indonesia karena tak mematuhi prosedur antidoping.
Tak berkibarnya bendera merah putih di Thomas Cup 2021 pastinya menjadi sorotan seluruh warga Indonesia. Salahsatunya datang dari Praktisi olahraga Hifni Hasan.
Meski kecewa, Hifni Hasan tetap merasa bangga dengan atlet bulutangkis Indonesia yang sudah berjuang merebut gelar Thomas Cup setelah 19 tahun silam.
"Kita bangga atlet-atlet kita berhasil merebut kembali Piala Thomas setelah 19 tahun. Luar biasa. Selamat. Mengalahkan Tim Tiongkok pula di final. Walau, rasa bangga itu bercampur kekecewaan karena Sang Merah Putih tak tampak menjulang tinggi. Yang tampak hanya bendera PBSI," kata Hifni dalam pesan whatsapp kepada Nusantaratv.com, Senin (18/10/2021).
Menurut Hifni, tak berkibarnya bendera merah putih diajang seremoni kemenangan Thomas Cup 2021 bukan kesalahan atlet, tetapi karena Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) tidak mematuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh Badan Anti-doping Dunia (WADA).
"Itu bukan salah atlet-atlet kita. Mereka pun kecewa. Saya tahu, bagi para atlet, bisa mengibarkan atau menjulangkan Sang Merah Putih adalah kebanggaan tersendiri. Karena hanya atlet dan Presiden yang bisa mengibarkan bendera kita di luar negeri," jelasnya.
"Yang salah karena kita tidak mematuhi dan dianggap tidak kooperatif terhadap aturan yang ditetapkan oleh Badan Anti-doping Dunia (WADA). Permintaan WADA terhadap sample urine beberapa atlet kita tidak dipatuhi oleh LADI (Lembaga Anti Doping Indonesia) dengan berbagai alasan," sambungnya.
Sejatinya, WADA memang tegas untuk menjamin kompetisi olahraga yang sehat dan jujur. Atlet top dunia sekalipun kalau terbukti doping akan diberi sanksi tegas. WADA juga berharap, setiap negara membentuk lembaga anti-doping nasional yang juga bersifat tegas.
Hifni juga mengungkapkan, masalah seperti saat ini persoalannya seringkali ada conflict of interests pada lembaga anti-doping nasional, yang dimana di satu pihak bertugas menjalankan protokol anti-doping yang profesional, di lain pihak ada semangat untuk mendukung atlet-atlet nasionalnya agar bisa menang dalam kompetisi internasional.
"Di beberapa negara yang disanksi keras oleh WADA, justru lembaga anti-doping nasional secara sengaja berusaha membantu atletnya untuk lolos dari pemeriksaan doping. Bahkan, otoritas olahraga nasionalnya dianggap membiarkan hal itu terjadi secara sistemik," ungkapnya.
"Itulah yang terjadi dengan Rusia, salah satu raksasa olahraga dunia, yang kemudian disanksi oleh WADA tidak bisa ikut Olimpiade. WADA memang tanpa pandang bulu," lanjutnya.
"Mendapat sanksi WADA membuat kita menjadi negara paraih olahraga yang akhirnya menyulitkan kita sendiri dan atlet-atlet kita. Tidak boleh menjadi tuan rumah kejuaraan Internasional, tidak boleh ikut kompetisi dengan bendera negara kita, dan sebagainya. Kemudian, lembaga anti-doping negara lain, dalam hal kita Jepang, ditunjuk sebagai penyedia bagi pelaksanaan anti-doping di Indonesia," bebernya.
Secara tegas Hifni mengatakan kalau saja lembaga anti-doping Indonesia bersikap profesional dan tegas terhadap atlet-atlet sesuai dengan protokol WADA, masalah seperti ini tidak akan terjadi.
"Bukan kita mau menyulitkan atlet kita, atau berprasangka buruk terhadap atlet-atlet kita, tapi kita perlu menyosialisasikan protokol anti-doping yang tegas untuk kepentingan kita sendiri. Karena kita tidak mau atlet kita, apalagi negara kita, dituduh mau menang dengan cara curang," tegasnya.
"Bagi kita, menang dengan cara ksatria adalah satu-satunya opsi. Menang dengan keringat, semangat pantang menyerah, dengan Merah Putih di dada, itulah kemenangan sejati. Semoga urusan ini segera bisa diselesaikan dengan baik oleh LADI, dan otoritas olahraga tertinggi kita Kemenpora. Jangan sampai terlalu lama menjadi 'batu kerikil di sepatu' olahraga kita," harapanya.
"Masalah LADI klasik sejak mulai jaman pak Adiyaksa sampai dengan pak ZA. Karena tidak pernah mau pejabat dibawahnya membaca regulation charter IOC dan turunannya termasuk statute WADA. Dari awal saya usulkan menjadi bagian dep kesehatan agar independence terjaga," pungkasnya.