Nusantaratv.com - Dalam lima tahun terakhir, musik lokal makin disukai di layanan streaming (daring) di Indonesia, dengan genre pop berbahasa Indonesia dan pop daerah mulai menggerus dominasi lagu-lagu asing.
"Sekitar lima tahun yang lalu, konsumsi pasar musik adalah 70 persen internasional dan 30 persen lokal. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, pasar telah menjadi jauh lebih lokal. Banyak orang mengonsumsi lagu-lagu Indonesia dan Jawa. Menurut analisis kami, pembagian konsumsi telah bergeser menjadi 60 persen internasional, 40 persen lokal," kata Country Manager Believe Indonesia Dahlia Wijaya dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu.
Dahlia menjelaskan bahwa musik lokal saat ini didominasi genre pop dalam bahasa Indonesia, kemudian meluas ke lagu pop berbahasa Jawa, pop Minang, musik Batak, Sunda, Manado, Papua, dan Ambon.
Sementara genre yang terus populer secara lokal di YouTube adalah dangdut, pop Jawa, pop Melayu dan K-Pop.
"K-Pop sangat populer di sini, dan telah melampaui pop Jepang yang masih populer beberapa tahun yang lalu," terangnya.
Menurut Dahlia, hal menarik dari genre dangdut yang umumnya dinyanyikan dalam bahasa Jawa adalah karena dikombinasikan dengan tarian seperti yang lazim ditemukan dalam musik India.
"Penggemar dangdut suka menonton video untuk koreografi, sama seperti mereka suka mendengarkan lagu. Itu sebabnya, YouTube adalah platform pilihan mereka," imbuhnya.
Yang patut diapresiasi bahwa sebagian besar layanan streaming digital mendukung musik lokal dan hyperlocal, dan kebanyakan dari mereka memiliki daftar putar hyperlocal.
Misalnya Spotify yang meluncurkan kampanye lokal #SpotifyIDentitasku pada Oktober 2022 untuk merayakan keragaman budaya dan identitas musik Indonesia.
"Enam seniman telah dipilih untuk menjadi wajah kampanye ini dan lima di antaranya adalah seniman Believe, jadi kami sangat bangga," jelasnya.
Menurutnya, sebagian besar layanan streaming digital menawarkan paket "freemium" dan premium karena meski orang Indonesia menyukai musik, namun mereka tidak selalu mau membayar untuk mengaksesnya.
"Jadi, sebagian besar masih merupakan bisnis freemium di sini dan sangat berorientasi pada penggunaan video yang mewakili sekitar lebih dari setengah pendapatan streaming. Kami memperkirakan bahwa kurang dari 1 persen dari seluruh populasi membayar untuk paket premium," paparnya.
Sebagai perbandingan untuk pelanggan berbayar, lanjut Dahlia, Thailand memiliki sekitar 3 persen pengguna, China 9 persen pengguna, dan AS lebih dari 35 persen pengguna. Mengubah pengguna gratis menjadi pengguna berbayar, katanya, adalah proses yang panjang dan sulit bagi layanan streaming digital karena terkait dengan pendidikan pengguna terhadap manfaat model premium.
"Konversi di Indonesia berada pada tahap awal, seperti halnya untuk pasar lain pada tahap pengembangan premium yang sama," terang Dahlia.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa penetrasi kartu kredit yang rendah di Indonesia juga menimbulkan hambatan teknologi, selain kesenjangan dalam jangkauan internet. Untuk mengatasi hal ini, layanan streaming digital dapat menawarkan musik yang dibundel dengan langganan seluler dan menangani pembayaran dompet digital melalui platform lokal.
"Strategi ini paling efektif dengan pendengar dewasa yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan menghargai pengalaman bebas iklan," kata Dahlia.
Penagihan seluler, lanjutnya, adalah opsi menarik lain yang sedang diterapkan oleh layanan streaming digital. Beberapa dari mereka menyimpulkan perjanjian dengan operator telekomunikasi lokal sehingga pengguna dapat berlangganan layanan melalui paket seluler, memperoleh manfaat seperti diskon berlangganan atau data yang dialokasikan hanya untuk mendengarkan.(Ant)