Wamen Kominfo Nezar Patria: Perpres Publisher Right Bukan Obat untuk Segala Penyakit

Nusantaratv.com - 23 Februari 2024

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria (kanan) saat dialog bersama presenter Donny De Keizer dalam program NTV Prime di Studio NusantaraTV, Jumat (23/2/2024).
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria (kanan) saat dialog bersama presenter Donny De Keizer dalam program NTV Prime di Studio NusantaraTV, Jumat (23/2/2024).

Penulis: Ramses Manurung

Nusantaratv.com-Setelah melalui proses panjang penuh dengan perdebatan yang alot, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas yang lebih dikenal dengan sebutan Perpres Publisher Right akhirnya resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Kabar baik itu disampaikan langsung oleh Jokowi dalam sambutannya saat menghadiri Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2024 di di Ecovention Ancol, Jakarta Utara, Selasa (20/2/2024).

Jokowi mengatakan pemerintah menyadari berbagai tantangan yang dihadapi oleh Insan pers di era digital. Oleh karena itu pemerintah terus berupaya untuk mendukung ekosistem pers yang adaptif dengan tetap menghormati kebebasan pers.

Lahirnya Perpres Publisher Right ini dilandasi dua misi penting yakni jurnalisme berkualitas dan keberlanjutan industri media konvensional. 

NusantaraTV mengundang secara khusus Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria dalam program NTV Prime, Jumat (23/2/2024) untuk membahas secara komprehensif tentang Perpres Publisher Right dikaitkan dengan kemajuan teknologi informasi dan dampaknya terhadap industri media.

Dalam acara dialog bersama presenter Donny De Keizer, Nezar Patria mengakui proses lahirnya Perpres Publisher Right tersebut memang cukup panjang dan alot. 

Mantan aktifis yang juga sempat menekuni dunia jurnalistik ini mengatakan Perpres Publisher Right memang mengatur persoalan yang kompleks. 

Ia menyebut ada dua bidang yang diatur dalam Perpres Publisher Right.  Pertama tentang jurnalisme yang berkualitas. Kedua tentang keberlanjutan industri pers.

"Jadi ada dua hal yang sekarang yang kita tahu. Bahwa pers lanskap bisnis nya itu sangat dinamis. Karena itu Perpres ini sebetulnya aspirasi dari komunitas pers. yang sudah lama merasa membutuhkan adanya satu peraturan yang bisa mengayomi dan bisa menjadi rujukan dalam melakukan deal bisnis dengan platform digital," urainya. 

"Makanya nama Perpresnya pun Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Mendukung Jurnalisme yang Berkualitas," imbuhnya. 

Nezar menyadari Perpres ini tidak mungkin menjawab seluruh persoalan yang terjadi di industri pers sekarang ini. 

"Tentu saja ini bukan obat untuk segala penyakit," tandasnya. 

"Ini lebih kepada satu upaya untuk membuat publisher kita itu punya semacam bingkai peraturan. Yang memungkinkan mereka berdialog, bernegoisasi, berunding secara fair dengan platform digital," tambahnya.

Lebih lanjut Nezar menyampaikan semangat dari lahirnya Perpres Publisher Right ini untuk  menyelamatkan industri pers yang memproduksi konten-konten jurnalisme yang bermutu atau jurnalisme yang berkualitas.

"Kita tahu lanskap di dunia digital kita ini. Terutama yang ada di media sosial. Semua orang bisa memproduksi informasi sekaligus dia konsumen informasi. Dan karena itu kan noise nya luar biasa. Siapa saja bisa memproduksi informasi dan lagi-lagi ada banyak masyarakat yang salah kaprah kadang-kadang dengan informasi yang ada di media sosial," paparnya.

"Sehingga kita kenal dengan misinformasi, disinformasi. Kadang-kadang dengan informasi yang engga begitu jelas, dianggap sebagai sebuah patokan. Istilahnya post thruth lah," ungkapnya. 

Guna mengantisipasi dampak negatif dari hal tersebut, kata Nezar, dibutuhkan jurnalisme yang berkualitas tetap hadir di ruang digital. 

Terkait adanya kekhawatiran dari para konten kreator seperti Youtuber dan lainnya terhadap lahirnya Perpres Publisher Right. Nezar menegaskan Perpres ini tidak ada kaitan sama sekali dengan konten kreator. 

"Perpres ini dibatasi hanya pada perusahaan pers," tegasnya. 

Lalu bagaimana dengan adanya keinginan dari para konten kreator untuk bisa mendapatkan perlindungan atas profesi mereka?

Nezar mengatakan di luar media jurnalistik misalnya konten kreator, YouTuber dan lain sebagainnya, sudah ada mekanisme secara organik. 

"Misalnya podcast yang mirip-mirip produk jurnalistik. Tapi kan dia tidak di diproses seperti halnya standar jurnalistik. Jadi itu membedakan. Dan dia itu bukan pers. Di Perpres ini sudah jelas kategorinya adalah perusahaan pers dengan badan hukum, terdaftar dan terverifikasi Dewan Pers," terangnya. 

Ditanyakan apakah lahirnya Perpres Publisher Right ini dapat memberi angin segar bagi industri pers yang baru saja bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. 

Menurut Nezar itu sangat tergantung kepada kreatifitas perusahaan pers. Pasalnya, yang dihadapi adalah  disrupsi teknologi.

"Sebetulnya yang terjadi perusahaan pers dengan adanya platform digital dan ini sebuah perubahan yang menjadi keniscayaan teknologi juga," ujarnya. 

"Kita kehilangan kontrol dengan audiens kita dan platform digital yang mengatur bukan publisher," imbuhnya. 

"Karena itu dalam memproduksi konten dan mendistribusikannya mau nggak mau berhadapan dengan platform digital. Agar kerjasamanya ini bisa win-win bukan win-lose perlu ada satu peraturan yang saya kira menjadi penguat ataupun pagar-pagar buat kedua belah pihak dan juga semua stakeholder di dalam ekosistem bisnis media digital ini  bisa mendapatkan benefit yang sama," lanjutnya. 

Nezar menambahkan konsep win-win antara perusahaan pers dengan platform digital tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Karena faktanya tetap timbul banyak protes. 

"Karena ini kan sebetulnya bukan khas Indonesia. Ini kan kegusaran global.  Jadi hampir semua perusahaan media di tataran global punya concern yang sama, semua punya masalah yang sama juga bisnis model yang paling tepat belum ditemukan tetapi mereka harus tetap berlanjut harus tetap sustain namun berhadapan dengan yang namanya dominasi platform digital," bebernya. 

Demi mengatasi kondisi tersebut, sambung Nezar, harus dibangun satu kerjasama yang sama-sama menguntungkan. Agar bisa sama-sama tumbuh.

"Tetapi yang lebih penting lagi adalah menjaga bagaimana setelah media ini sustain bisa terus memproduksi jurnalisme berkualitas dan hadir di platform-platform," kata Nezar. 

"Agar bisa menjadi penjernih informasi dari kekacauan informasi yang ada," ucapnya. 

Kenapa baru sekarang diterbitkan Publisher Right? Apakah tidak terlambat? Mengingat negara tetangga seperti Thailand bahkan sudah memberlakukan aturan sejenis 4 tahun lalu. 

"Kalau dibilang telat mestinya sudah sejak awal ya. Tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," kata Nezar. 

Ia berpandangan keterlambatan juga bukan satu isu yang signifikan dalam konteks ini. Namun yang terpenting Indonesia justru menjadi negara pertama yang membuat pengaturan hubungan antara publisher dengan platform digital untuk konteks Asia Tenggara dan mungkin juga di Asia.

"Karena saya dengar Taiwan juga tengah merumuskan hal yang sama," ungkapnya. 

Nezar mengungkapkan saat ini secara  global memang terjadi semacam renegoisasi antara industri media dengan platform digital. Seperti di Australia, Kanada, Brazil, Afrika Selatan hingga Taiwan. 

"Jadi apa yang dilakukan oleh Indonesia mungkin salah satu model, salah satu benchmark yang bisa dilihat yang berbeda dengan pengaturan yang ada di Kanada maupun yang ada di Australia. Kita mungkin pengaturannya lebih simple. Simpel sekali, kita cuma mengatur kewajiban platform digital. Apa saja dalam pengarusutamaan jurnalisme yang berkualitas," ujarnya.

"Lalu lebih detailnya misalnya platform digital itu tidak memfasilitasi konten-konten yang bertentangan dengan undang-undang yang mengatur pers undang-undang pers. Dalam hal ini konten harus memberikan upaya terbaik dalam mendesain algoritma yang bisa memberikan tempat buat jurnalisme yang berkualitas. Artinya algoritma itu kan ada visibility, konten dan semacam itu yang menjadi kewajiban dari perusahaan platform digital," lanjutnya.

"Kemudian ada di Pasal 7  untuk mengatur empat hal yaitu satu soal lisensi berbayar, kedua soal bagi hasil, ketiga soal berbagi data agregat dan keempat soal bentuk-bentuk kerjasama yang lain," tukasnya. 

Soal bagi hasil, terang Nezar, Perpres tidak akan mengatur secara detail soal itu. 

Karena dalam pasal yang lain ada namanya pembentukan komite yang dibentuk oleh Dewan Pers. 

"Komite ini akan mengatur kalau ada yang disebut dispute, kalau ada sengketa dalam perundingan yang dibuat. Kalau nggak, ya udah gitu dia aja. Antara publisher dengan perusahaan platform digital," pungkas Nezar.

 

 

 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close