Nusantaratv.com - Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan siapa saja yang terbukti bersalah atas peristiwa pembakaran Al-Qur'an harus menjalani hukumannya di wilayah Federasi yang mayoritas penduduknya Muslim.
"Mereka akan menjalani hukuman mereka, seperti yang dinyatakan oleh Menteri Kehakiman, di tempat-tempat perampasan kebebasan yang terletak di salah satu wilayah Rusia dengan populasi mayoritas Muslim," ujar Putin dikutip dari kantor berita Rusia, TASS, yang dilansir dari Middle East Monitor, Kamis (15/6/2023).
Pernyataan Putin itu muncul setelah Nikita Zhuravel, seorang warga Kota Volgograd ditahan bulan lalu setelah diduga membakar mushaf Al-Qur'an di depan sebuah masjid.
Tindakannya itu memicu kemarahan khususnya di republik mayoritas Muslim Chechnya. Zhuravel sejak itu telah dibawa ke pusat penahanan pra-persidangan di Grozny, ibu kota Chechnya.
Menurut Moscow Times, pengacara dan aktivis telah memperingatkan, keputusan untuk mentransfer kasus Zhuravel ke penyelidik Chechnya menempatkannya pada risiko penyiksaan atau bahkan kematian.
Komite Investigasi Rusia mengklaim jika terdakwa mengaku telah bertindak dengan imbalan pembayaran US$125 (sekitar Rp1,8 juta) dari badan intelijen Ukraina.
Pascainsiden tersebut, Menteri Kehakiman Rusia Konstantin Chuichenko mengusulkan "setelah putusan dijatuhkan, orang yang melakukan kejahatan harus dikirim untuk menjalani hukumannya di salah satu lembaga pemasyarakatan yang berlokasi di wilayah dengan populasi mayoritas Muslim."
Putusan atas kasus Zhuravel belum dijatuhkan, meskipun situs web Caucasian Knot mengutip seorang pengacara, Galina Tarasova, yang menjelaskan, menurut hukum, kasus pidana harus diselidiki di tempat dimana kejahatan tersebut dilakukan.
"Pria itu dikirim ke wilayah di mana kejahatan tersebut dilakukan sesuai dengan kharakteristik wilayah tersebut, ada risiko penyiksaan yang wajar dan bahkan risiko nyawa Zhuravel," timpal pengacara lainnya, Ekaterina Vanslova.
Awal tahun ini, Rusia mengecam pembakaran salinan Al-Qur'an di ibu kota Swedia, Stockholm, oleh Rasmum Paludan, seorang pemimpin partai sayap kanan, dalam langkah provokatif yang juga menuai kecaman, seruan untuk melakukan pemboikotan, dan protes di seluruh dunia Muslim.