Nusantaratv.com - Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) menggelar Seminar Nasional 'Kajian Hukum - Legal Justice, Bisakah Ferdy Sambo Bebas?', di Pendopo Universitas Krisnadwipayana, Jatiwaringin, Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat (Jabar), Selasa (30/8/2022).
Seminar ini menghadirkan narasumber Pakar Hukum yang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M., dan Pakar Hukum sekaligus Guru Besar UNKRIS Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., yang dimoderatori Dr. Parbuntian Sinaga, S.H., M.H., serta Dr. Susetya Herawati, M.Si.
Dalam sambutannya, Rektor UNKRIS Dr. Ir. Ayub Muktiono, M.SiP., CIQar mengatakan, seminar nasional ini sebagai bentuk kepedulian UNKRIS, khususnya dari Fakultas Hukum untuk memberikan pencerahan sekaligus pandangan yang berbeda mengenai isu yang berkembang di masyarakat.
"Jadi UNKRIS ingin melengkapi isu-isu atau pendapat-pendapat yang berkembang di masyarakat. Kita ingin melihat dari lingkup yang lebih luas. Karena bagaimanapun kampus atau akademisi harus kritis," ujar Ayub Muktiono.
Tentu saja, kata dia, dengan paradigma kritis ini, sehingga dapat melihat fenomena-fenomena dibalik peristiwa ini, dan bisa mengambil kemanfaatan. "Ini juga untuk kemaslahatan bangsa, di samping juga untuk perbaikan. Kita melengkapi pandangan-pandangan yang berkembang. Inikan berbeda seperti yang disampaikan Prof Otto (Hasibuan) dan Prof Gayus (Lumbun) dengan perkembangan yang ada di masyarakat. Tugas kami untuk mencerahkan dan melengkapi dengan paradigma kritis," lanjutnya.
Dia menyebutkan, kehadiran Otto Hasibuan dan Gayus Lumbuun sebagai narasumber seminar nasional ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, keduanya merupakan pakar yang mumpuni dibidang hukum. "Beliau ini seringkali mencuatkan isu-isu atau gagasan-gagasan yang inovatif, dan kerap keluar dari pemikiran pada umumnya atau out of the box. Ide-ide maupun gagasan-gagasan yang disampaikan berbeda dengan yang ada di masyarakat. Kami di kampus hanya melengkapi saja," tambahnya.
Ayub Muktiono berharap dengan adanya seminar nasional ini akan membuat masyarakat menjadi lebih terbuka pemikirannya. "Ternyata ada sudut pandang hukum seperti ini. Biarlah nanti pada akhirnya Hakim akan dapat memberikan putusan yang berkualitas, berkeadilan, baik bagi korban dan khususnya kemanfaatan bagi institusi Kepolisian, dan masyarakat," jelas Ayub Muktiono.
Sementara itu, Otto Hasibuan mengapresiasi acara seminar nasional ini. Menurutnya, dalam melihat kasus ini semuanya sudah terperangkap dengan situasi karena begitu hebatnya pemberitaan di media. "Kita semua disuguhkan seakan-akan kita mempercayai dan menghukum (Ferdy) Sambo sekarang ini. Padahal, pertandingan belum selesai, masih ada di pengadilan nanti," terang Otto Hasibuan.
Dia juga menyoroti adanya sejumlah skenario dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. "Pertama, kita disuguhkan dan percaya bahwa ada tembak-menembak dalam kasus ini. Di tengah jalan tiba-tiba ada perubahan, karena ada pengakuan dari Bharada E. Kemudian kita percaya lagi skenario yang kedua ini. Jadi saya berpikir, jangan-jangan ada skenario ketiga. Apakah skenario yang ketiga muncul dalam proses yang masih berjalan ini, Karena Putri (Chandrawathi), istrinya Sambo sedang diperiksa. Apakah nanti terjadi perubahan dipersidangan. Dan, tiba-tiba dipersidangan para saksi-saksi serta Bharada E semua mencabut berita acaranya. Wajar saja bila nanti ada skenario lainnya lagi," imbuhnya.
"Jadi artinya kita tidak boleh terlau cepat memberikan judgements kepada kasus ini. Meski Sambo telah mengakui perbuatannya. Selama belum dijatuhkan hukuman oleh Hakim, maka kita tidak boleh memberikan hukuman sekarang ini. Hati kita boleh panas dan menganggap ini jahat, dan itu sah-sah saja, tapi judgement-nya nanti tergantung apa yang terjadi di persidangan," urai otto Hasibuan.
Sedangkan Gayus Lumbuun menilai seminari nasional ini membuka wacana baru, yakni fokus pada keadilan substantif. "Dalam seminar nasional ini kami fokus pada keadilan substantif. Di sampaing hukum-hukum yang disebutkan sebagai hukum yang sifatnya formalistis, yakni Pasal 340 dengan pidana mati. Itu formalitas hukum yang menuntun kepada proses hukum keadilan," ujar Gayus Lumbun.
Namun, lanjut dia, ada teori-teori yang perlu diperhatikan yakni mengenai kemanfatan pada tataran hukum yang substantif yakni pada isi hukum. Di mana hukum yang di dalamnya ada berbagai pertimbangan.
"Kalau saya bicara substantif, dan saya memilih bicara dari tiga gagasan. Kepastian hukum. Maka dia dikenakan hukum yang mengatur tentang itu, yakni Pasal 340 dengan pidana hukuman mati. Tetapi ada kemanfaatan apa jika ini dilakukan penuh seperti itu. Bagaimana keadilannya? Saya menggunakan kemanfaatan ini. Saya meminta agar orang yang didakwa dengan hukuman berat (Pasal 340) membuka semua apa yang dia tahu, apa yang dia lakukan untuk kejahatan secara terorganisir yang menggerakan lembaga," tambah mantan Hakim Agung (2011-2018).
"Dan diramaikan oleh sosial justice, bahwa ada manfaat bagi masyarakat kalau dibuka di mana orang yang dituntut dengan hukum formalitas itu akan ada perubahan. Apakah ada kerajaan Sambo seperti yang selama ini diberitakan. Jadi harus dibuka semua, maka dengan begitu negara berpotensi kuat, dan akan memiliki kepolisian baru, di mana yang baik dipertahankan, sedangkan yang jelek dibuang," tukas gayus Lumbuun.