Nusantaratv.com - Tentara Rusia terus menggempur Ukraina dari berbagai sudut termasuk kota pelabuhan Mariupol. Dikabarkan, pasukan Rusia berhasil menguasai rumah sakit terbesar di kota Mariupol. Mirisnya, tentara Beruang Merah menyandera ratusan pasien dan dokter di rumah sakit tersebut.
Wakil Wali Kota Mariupol, Sergei Orlov mengatakan, ada sekitar 400 orang di Rumah Sakit Perawatan Intensif Regional telah disandera.
Terhitung hingga hari ini, sudah hampir dua pekan tentara Rusia membombardir kota Mariupol. Serangan mengakibatkan aliran listrik terputus dan warga setempat harus hidup tanpa penerangan di malam hari. Untungnya gas dan air bersih masih bisa mengalir.
Menurut otoritas setempat, setidaknya 2.500 kematian telah dikonfirmasi di kota itu.
"Kami menerima informasi bahwa tentara Rusia merebut rumah sakit terbesar kami," kata Orlov.
Sementara itu, dalam sebuah unggahan di Facebook, gubernur wilayah Donetsk, Pavlo Kirilenko, mengatakan, seorang pekerja rumah sakit telah memperingatkan pihak berwenang tentang situasi tersebut.
Baca juga: Tentara Rusia Tembaki Masjid di Mariupol
Rumah sakit itu, katanya, sama dengan yang dirusak oleh serangan Rusia pekan lalu. Lima orang tewas. Mariupol adalah pusat dari krisis kemanusiaan yang berkembang karena makanan dan persediaan medis habis dan bantuan tidak diizinkan masuk. Kota ini terus-menerus diserang oleh Rusia, dengan sekitar 350.000 penduduk terperangkap.
Pada Selasa (15/3/202), baru sekitar 2.000 orang berhasil meninggalkan Mariupol, kata dewan setempat, dan 2.000 lainnya menunggu untuk pergi. Namun, tidak ada bantuan yang diizinkan masuk.
Kondisi terkini khusus di Mariupol, ratusan orang harus berdesakan di ruang bawah tanah sebuah gedung publik besar untuk menyelamatkan diri dari serangan Rusia. Wilayah yang terkepung ini kehabisan makanan, dengan banyak juga yang membutuhkan bantuan medis mendesak.
"Beberapa telah mengembangkan sepsis dari pecahan peluru di dalam tubuh," kata Anastasiya Ponomareva, seorang guru berusia 39 tahun yang melarikan diri dari kota pada awal perang, tetapi masih berhubungan dengan teman-teman di sana.
Beberapa orang mengalami demam dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengobati mereka.
"Tidak ada bantuan medis, tidak ada antibiotik," ungkap Anastasiya.
Beberapa jalan sangat berbahaya sehingga hanya sedikit yang keluar untuk menjemput orang mati. Banyak yang dimakamkan di kuburan massal. Serangan Rusia yang hampir tanpa henti telah mengubah lingkungan lama mereka menjadi gurun.
"Orang membutuhkan koridor kemanusiaan. Kalau tidak, itu adalah kematian perlahan-lahan karena kelaparan dan kehausan," katanya. (dari berbagai sumber)