Taliban Niat Ubah Bekas Pangkalan Militer Asing Jadi 'Zona Ekonomi Khusus'

Nusantaratv.com - 20 Februari 2023

Pasukan Taliban berpatroli di dekat gerbang masuk Bandara Internasional Hamid Karzai, sehari setelah penarikan pasukan AS, di Kabul, Afghanistan, pada 31 Agustus 2021. (Reuters)
Pasukan Taliban berpatroli di dekat gerbang masuk Bandara Internasional Hamid Karzai, sehari setelah penarikan pasukan AS, di Kabul, Afghanistan, pada 31 Agustus 2021. (Reuters)

Penulis: Adiantoro

Nusantaratv.com - Taliban pada Minggu (19/2/2023) mengatakan mereka sedang berupaya mengubah bekas pangkalan militer asing di Afghanistan menjadi pusat bisnis dan perdagangan khusus guna mendorong 'pertumbuhan dan pembangunan ekonomi' di negara yang dilanda perang itu.

Wakil Perdana Menteri Taliban untuk urusan Ekonomi, Mullah Abdul Ghani Baradar, memimpin pertemuan di ibu kota, Kabul, dan mengarahkan pejabat terkait untuk melanjutkan rencana tersebut.

"Setelah diskusi secara menyeluruh, diputuskan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan harus secara bertahap menguasai pangkalan militer yang tersisa dari pasukan asing dengan maksud mengubahnya menjadi zona ekonomi khusus," kata pernyataan itu, dikutip dari VOA News, Senin (20/2/2023).

Selanjutnya diungkapkan juga tanpa rincian lebih lanjut, dimana 'operasi percontohan' akan mulai mengubah pangkalan di Kabul dan Provinsi Balkh di Afghanistan utara.

"Ya, Bagram adalah salah satu pangkalan militer yang diubah menjadi zona ekonomi khusus di dalam rencana yang diumumkan hari ini," kata kepala juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid kepada VOA, ketika ditanya mengenai status bekas fasilitas militer luas yang dikelola Amerika Serikat (AS) itu.

Bagram, yang terletak sekitar 70 kilometer di utara Kabul, selama hampir 20 tahun berfungsi sebagai pusat kegiatan misi kontraterorisme AS melawan operasi al-Qaeda di Afghanistan dan operasi militer melawan pemberontak Taliban.

Uni Soviet membangun Pangkalan Udara Bagram pada 1950 dan menggunakannya selama pendudukan Soviet di Afghanistan antara 1979 dan 1989.

Taliban kesulitan meningkatkan perekonomiannya sejak kembali berkuasa pada Agustus 2021 ketika pasukan AS dan NATO ditarik setelah hampir selama dua dekade berperang melawan Taliban dan sekutu al-Qaeda mereka di Afghanistan.

Pengambilalihan Afganistan oleh kelompok pemberontak itu telah mendorong AS dan negara-negara Barat lainnya untuk menghentikan aliran dana pembangunan ke perekonomian Afganistan yang sangat bergantung pada bantuan. 

Negara-negara itu juga memblokir akses bank sentral Afghanistan ke aset-asetnya yang berada di luar negeri, mengisolasi sektor perbankan, dan dengan tegas memberlakukan sanksi terhadap para pemimpin Taliban atas dugaan hubungan mereka dengan terorisme.

Tindakan hukum itu mendorong ekonomi Afghanistan ke jurang dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah sejak awal dalam kondisi buruk akibat perang selama puluhan tahun dan kemarau panjang di negara yang dilanda kemiskinan itu.

Kendati demikian, para pejabat Taliban mengungkapkan langkah-langkah antikorupsi yang efektif dan fokus meningkatkan investasi dan perdagangan dengan negara-negara tetangga dan kawasan telah membuat mereka mampu menahan kemerosotan ekonomi.

Bulan lalu, Bank Dunia juga menyampaikan penilaian positif ekonomi Afghanistan yang mengejutkan dalam sembilan bulan pertama tahun fiskal 2022. Bank Dunia menyebutkan tingkat ekspor yang tinggi, nilai tukar rupiah yang stabil dan pengumpulan pendapatan yang kuat di bawah pemerintah Taliban. 

Komunitas internasional menolak memberikan legitimasi kepada penguasa de facto di Kabul, dengan alasan alasan kontraterorisme dan hak asasi manusia (HAM).

Taliban memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap perempuan Afghanistan sejak kembali berkuasa. Mereka melarang anak-anak perempuan bersekolah di atas kelas enam sekolah dasar (SD). Mereka juga melarang perempuan bekerja, termasuk untuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Larangan kerja terhadap staf perempuan LSM telah mendorong beberapa organisasi amal asing besar untuk menghentikan sebagian operasi mereka di Afghanistan, di mana lebih dari setengah dari sekitar 40 juta penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close