Nusantaratv.com - Peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) RS vertikal per Maret 2024 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI sebagaimana hasil survei skrining kesehatan jiwa memperlihatkan bahwa banyak calon dokter spesialis mengalami masalah kesehatan mental. Dari hasil skrining tersebut, terungkap terdapat 3,3 persen dokter PPDS ingin bunuh diri atau melukai diri sendiri.
Angka tersebut didapatkan dari analisis kesehatan jiwa calon dokter spesialis di 28 RS vertikal pendidikan bagi 12.121 PPDS. Survei dilakukan Kementerian Kesehatan RI di 21, 22, dan 24 Maret 2024.
Jika dirinci lebih lanjut, ada 2.716 PPDS yang mengalami gejala depresi, 1.977 di antaranya mengalami depresi ringan, 486 depresi sedang, 178 orang mengeluh depresi sedang sampai berat, dan 75 orang mengalami depresi berat.
Terkait temuan itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyampaikan beberapa faktor penyebabnya. Hal tersebut pertama dikarenakan jumlah institusi pendidikan yang melahirkan dokter spesialis memang masih kurang.
"Hanya 22 universitias yang memiliki prodi dokter spesialis dari 92 fakultas kedokteran yang ada. Kita harus belajar dari Malaysia dan Singapura, pendidikan dokter spesialis itu tidak berbasis pada universitas tapi juga berbasis dengan rumah sakit," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, narasumber NTV Today, Nusantara TV, Kamis (2/5/2024).
Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, selain masih kurangnya institusi pendidikan dokter spesialis, penyebab ribuan calon dokter spesialis depresi juga dikarenakan beberapa hal.
"Faktor beban pendidikan seperti mengerjakan karya tulis, disertasi dan tugas-tugas ilmiah terkait proses pendidikan. Kedua, beban pelayanan seperti jaga malam dan menghadapi karakter pasien. ketiga beban finasial dan terakhir faktor perundungan," bebernya.
Maraknya perundungan yang menjadi penyebab calon dokter spesialis mengalami depresi sebagaimana hasil skrining Kemenkes menemukan sebanyak 300 orang ingin melakukan bunuh diri atau melukai diri sendiri.
"Dari hail skrining kita mendapatkan 24 persen peserta pendidikan dokter spesialis mengalami gejala depresi mulai dari ringan sampai berat bahkan ada dalam 2 minggu terakhir sebanyak 300 peserta pendidikan dokter spesialis atau 3 persen itu merasa ingin mati dan ingin melukai diri sendiri karena stres dan depresi tadi," ungkap Siti.
Guna mengurangi risiko depresi bagi para calon dokter spesialis, Kemenkes akan mempercepat ketersediaan dokter spesialis lewat pendidikan kedokteran berbasis rumah sakit.
"Pemerintah berencana meluncurkan pendidikan berbasis rumah sakit pada 6 Mei 2024. Tujuannya untuk mempercepat dokter spesialis di Indonesia,"
Skrining kesehatan mental para calon dokter spesilis juga gencar dilakukan agar cepat mendeteksi terhadap kondisi kesehatan mental pendidikan dokter spesialis.
"Akan dilakukan di 9 rumah sakit vertikal. Rumah sakit vertikal di Kemenkes rata-rata pendidkan spesialis yang berbasis universitas,"
Kemenkes juga sudah meluncurkan kanal pengaduan untuk kasus-kasus perundungan yang menjadi pemicu depresi ribuan calon dokter spesialis di Indonesia.
"Pertengahan Juli tahun lalu kita meluncurkan kanal pengaduan untuk perundungan yang banyak dilaporkan. Kemenkes juga membuat surat edaran agar perundungan tidak terjadi di RS vertikal yang ada di Kemenkes. Sejak Juli kita dapat 209 laporan terkait perundugan di RS vertikal maupun RSUD dan fakultas kedokteran," kata Siti.
Kemenkes mencatat bahwa sebenarnya animo orang untuk menempuh pendidikaan dokter spesialis cukup besar. Rata-rata 50-60 pelajar SMA yang lulus ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tersebut.
"Animo masyarakat masuk ke dokter spesialis cukup banyak. Seperti anak SMA yang mau masuk ke fakultas kedokteran cukup banyak. Salah satu tujuan pendidikan yang favorit. Setiap pendaftaran rata-rata 50-60 orang. sementara yang diterima hanya kurang dari 20," lanjut iti Nadia Tarmizi.
Selain itu, pemerintah juga melakukan pemerataan dokter ke wilayah Timur bersama sarana dan prasarana kesehatan.
"Seiring pendistribusian pelayanan kesehatan yang lebih baik, pemerintah juga mendukung sarana dan prasana kesehatan maupun kita membangun rumah sakit kelas 3. Kita juga membuat rujukan untuk kanker, stroke dan ginjal. Memang perlu didukung tenaga medis yang kompeten. karena itu adanya pendidikan dokter berbasis RS ini akan menbantu para dokter tadi, jadi mereka tidak harus pergi meninggalkan tempat kerja mereka tetapi kemudian mereka bisa meningkatkan kompetensi dokter spesilis," imbuh Siti.
Pengalaman sebagai calon dokter spesialis yang harus melewati berbagai macam proses juga dialami seorang dokter muda dari Universitas Soedirman bernama Dokter Jeremy.
Jeremy tak menampik jika banyak dari rekannya yang depresi sebagai calon dokter spesialis karena masih terdapat cukup banyak kendala.
"Animo terkait kesehatan mental yang ada pada lingkungan kedokteran di Indonesia sebetulnya cukup meresahkan karena sekarang banyak orang lebih sadar kesehatan mental dan mereka menyadari itu," ujar Jeremy.
Salah satu hal yang juga menyebabkan calon dokter spesialis mengalami depresi kata Jeremy terkait panjangnya masa dalam menempuh pendidikan dokter spesialis.
"Kami harus menjalani masa pendidikan dokter itu 4 tahun, koas 2 tahun, dokter spesialis 5 tahun jadi total bisa 11 tahun." pungkas Jeremy.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Indonesia kekurangan dokter spesialis. Jokowi juga mengatakan bahwa rasio dokter di RI masih berada di angka 0,47 atau peringkat ke-147 di dunia. Jokowi meminta semua pemangku kebijakan (stakeholder) terkait mengejar perbaikan jumlah rasio dokter.