Nusantaratv.com - Eksekutif Pusat Kajian Maritim mengharapkan penggunaan cantrang di perairan Maluku Utara agar tidak merusak ekosistem laut dan mengutamakan kebijakan dampak lingkungan hidup dan sosial
"Diberlakukannya kebijakan penggunaan cantrang berimplikasi terhadap maraknya praktek eksploitasi sumber daya ikan, rusaknya ekosistem laut (terumbu karang dan padang lamun) dan merebaknya konflik horisontal antar-nelayan di laut," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim di Ternate, Minggu Malam.
Dia mengatakan, dengan dilegalkan kembali pemakaian alat penangkapan ikan cantrang berukuran di atas 30 gros ton untuk beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara, melalui Pasal 23 Ayat 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas.
Selain itu, dengan dibuka kran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang yang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor.
Sebab, kebijakan ekspor pasir laut ini memicu hilangnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground) nelayan kecil dan nelayan tradisional, rusaknya ekosistem laut, dan abrasi di wilayah pesisir
Dibukanya kembali akses penangkapan ikan bagi kapal asing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Lebih parah lagi, Pasal 19 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur juga membolehkan kapal pengangkut ikan asing untuk melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan.
Saat ini, kebijakan penangkapan ikan terukur ditunda pelaksanaannya. Apabila kebijakan ini dilaksanakan, maka bisa dipastikan bahwa praktek eksploitasi sumber daya ikan Indonesia secara besar-besaran oleh investor asing dan ancaman pelanggaran hak asasi awak kapal perikanan besar kemungkinan bisa terulang kembali sebagaimana pernah terjadi antara tahun 2000-2014.
Di samping itu, dengan adanya pembolehan kapal pengangkut ikan asing untuk melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan, maka dapat dipastikan bahwa hilirisasi sektor perikanan sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tidak akan pernah terjadi.
Bahkan, maraknya praktek perampasan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan pembangunan kota yang diskriminatif dan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup melalui proyek reklamasi pantai yang diperuntukkan bagi pembangunan kawasan permukiman elit dan wisata bahari, perkebunan kelapa sawit, dan perluasan industri ekstraktif pertambangan. Imbas dari sejumlah kebijakan yang tidak berkeadilan ini menyebabkan tergusurnya masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan, perempuan nelayan, budidaya ikan, petambak garam dan pelestarian ekosistem pesisir) dari permukiman asalnya.
Selain itu, kata Halim, dengan berkurangnya luasan hutan mangrove akibat perluasan kebun kelapa sawit di wilayah pesisir dan Kian besarnya potensi bencana akibat hilangnya hutan mangrove sebagai sabuk hijau di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pencemaran laut akibat pembuangan limbah tambang (tailing) dan alih profesi nelayan secara besar-besaran dengan menjadi buruh kasar karena kehilangan wilayah tangkapan ikan (fishing ground) akibat pembangunan yang diskriminatif dan pencemaran laut.(Ant)