Otto Hasibuan Beberkan Masalah pada UU Kepailitan-PKPU

Nusantaratv.com - 18 Februari 2022

Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan.
Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan.

Penulis: Mochammad Rizki

Nusantaratv.com - Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) menggelar webinar bertajuk "Masa Depan Kepailitan dan PKPU di Indonesia", Kamis  (17/2/2022). Diskusi daring ini dihelat oleh Bidang Pendidikan Berkelanjutan DPN Peradi. 

Menurut Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan, ada sejumlah persoalan yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), atau kala mempraktikkan regulasi tersebut. Salah satunya ketentuan yang mengatur bahwa hanya debitur yang boleh mengajukan pailit atau PKPU. 

"Apakah kewenangan ini hanya diberikan kepada debitur saja atau memang tetap dipertahankan, kreditur juga bisa menggunakannya?," ujar Otto yang merupakan pembicara kunci dalam webinar. 

UU Nomor 37 Tahun 2004 itu juga menjelaskan definisi tentang utang, yang dinilai terlalu sederhana. Kondisi ini membuat pemahaman yang keliru terhadap kepailitan.

"Bagi Undang-Undang Kepailitan dengan adanya definisi utang adalah dua utang yang sudah jatuh tempo dan bisa ditagih, itu sudah bisa mengajukan pailit dan sebagainya. Maka akhirnya orang berpikir, meskipun perusahaan itu memiliki aset Rp1 triliun, tapi utangnya Rp10 miliar tidak dibayar, tetap saja dinyatakan pailit," papar Otto. 

"Jadi paradigma berpikir orang sekarang, pailit itu bukan karena dia sungguh-sungguh secara ekonomi dia tidak mampu membayar berdasarkan harta-hartanya setelah dijual, tetapi cukup ada dua utang selesai. Dia pailit," imbuhnya. 

Hal ini membuat tidak adanya ambang batas terhadap jumlah minimal utang yang dipakai untuk menjadi pailit atau pengajuan PKPU. 

"Apakah masih layak definisi utang itu dipertahankan seperti itu? Apakah memang harus ada threshold yang harus kita pakai ukurannya?," tutur Otto. 

Ia juga mempertanyakan siapakah pihak yang berwenang mengajukan PKPU terhadap perusahaan-perusahaan negara atau BUMN. Sebab kendati dalam UU definisinya sudah jelas, tapi secara praktik dianggap melenceng dari definisi tersebut. 

"Di sini terlihat sekali perlindungan negara terhadap aset-aset negara itu terlalu dominan. Jadi mengandung ketidakadilan. Seakan-akan membuat negara itu yang kebal hukum, rakyat tidak kebal hukum," kata Otto. 

Ia mencontohkan adanya sebuah BUMN yang kalah di pengadilan dan diwajibkan membayar utang. Namun perusahaan pelat merah itu enggan memenuhi putusan tersebut. 

"Bahkan dengan menggunakan UU keuangan negara, harta dan sebagainya maka seringkali kita untuk menyita mengalami kesulitan. Sehingga kita melihat ada negara ini menjadi kebal hukum," jelas Otto. 

Padahal, menurutnya transaksi yang digunakan antara pemerintah dan swasta menggunakan KUH-Perdata. Sehingga transaksi yang dilakukan ialah business to business. 

"Kalau bicara business to business itu kesetaraan, tidak boleh ada yang lebih tinggi. Tetapi di dalam praktik, kita mengetahui seringkali aset-aset negara ini nggak bisa kita eksekusi. Bahkan kita tidak bisa mengajukan permohonan pailit kepada mereka, itu hanya boleh diajukan OJK," papar Otto. 

Di samping itu, Otto juga menyoroti adanya beberapa kurator yang menghadapi masalah hukum, hingga dipenjara. Ini terjadi lantaran mereka dianggap melakukan tindak pidana penggelapan atau penyalahgunaan UU kepailitan dan sebagainya.

Ia pun mempertanyakan definisi utang bersifat sederhana, yang dinilai kerap menjadi celah yang sering digunakan bagi para hakim dalam membuat suatu putusan. 

Padahal, kata dia sesungguhnya tidak terlalu sulit membuktikan sederhana atau tidak suatu utang.

"Karena ukurannya bukan berapa banyak, yang penting dibuktikan dia ada utang. Tetapi praktik yang terjadi, sederhana atau tidak ini dijadikan oleh para pihak yang berperkara atau para hakim, memberikan keleluasaan kepada hakim sederhana-tidaknya suatu utang tersebut," beber Otto. 

"Ini terlalu karet menurut saya. Apakah kata-kata sederhana di sini perlu dipertahankan atau tidak? Cukup kah bagi kita untuk mengatakan yang penting sudah ada utang. Soal pembuktiannya sederhana atau tidak itu kan sama pembuktian kita dengan pembuktian perkara perdata biasa, tidak ada bedanya," sambungnya. 

Selain seluruh permasalahan di atas, menurut Otto ada persoalan lainnya yang hadir ketika UU Kepailitan dan PKPU dijalankan. 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close