Optimalisasi TPST Bisa Mendorong Pemberdayaan Rakyat

Nusantaratv.com - 16 Maret 2023

Dua pengawas dari Waste4Change, Ibrahim dan Yessi, tengah mengawasi pemilahan sampah di TPST Perumahan Telaga Kahuripan, Kamis (16/3). Perumahan itu sudah menerapkan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. ANTARA/Budhi Santoso
Dua pengawas dari Waste4Change, Ibrahim dan Yessi, tengah mengawasi pemilahan sampah di TPST Perumahan Telaga Kahuripan, Kamis (16/3). Perumahan itu sudah menerapkan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. ANTARA/Budhi Santoso

Penulis: Habieb Febriansyah

Nusantaratv.com - Pengelolaan sampah saat ini menjadi faktor penentu dari penilaian Adipura dan menjadi langkah strategis untuk mendorong setiap daerah serius menangani sampah, sehingga bisa terolah sebelum masuk tempat pembuangan akhir (TPA).
 
Begitu juga keinginan Presiden Joko Widodo agar setiap daerah membangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) agar sampah dipilah dan diolah sebelum masuk ke TPA.
 
Saat mengunjungi TPST di Denpasar Bali, Senin (13/3), Presiden kagum dengan pengelolaan sampah di sana dan menginstruksikan daerah-daerah ikut membangun TPST, sehingga sampah tidak lagi menumpuk di tempat pembuangan akhir.
 
Presiden menilai TPST yang dibangun di Denpasar, Bali, merupakan contoh yang baik untuk ditiru oleh daerah-daerah lain, karena desain fasilitasnya jelas, begitu juga dengan anggaran dan biaya pembangunannya.
 
TPST ini merupakan pengolahan sampah pertama yang Presiden lihat dengan sebuah sistem yang tidak begitu ruwet, tetapi hasilnya konkret. Jokowi saat itu meresmikan empat TPST Kota Denpasar di TPST Kesiman Kertalangu, Denpasar, Bali.
 
TPST Kesiman Kertalangu mempunyai kapasitas pengolahan sampah 450 ton per hari, TPST Padangsambian Kaja (kapasitas 120 ton), dan TPST Taman Hutan Raya 1 dan TPST Taman Hutan Raya 2 (kapasitas keduanya 450 ton). Totalnya, empat TPST di Denpasar itu dapat mengolah 1.020 ton sampah per hari.
 
Pembangunan empat TPST itu berjalan selama 128 hari sejak 15 Juni 2022 sampai dengan 26 Maret 2023, dengan menghabiskan biaya Rp128,63 miliar.
Fasilitas pengolahan sampah terpadu di Denpasar itu bakal menggantikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung yang rencananya berhenti beroperasi pada tahun ini. TPA Suwung saat ini merupakan salah satu tempat penampungan sampah terbesar di Bali yang menampung kurang lebih 1.200 ton sampah per hari dari Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
 
Menteri PUPR Basuki Hadimuldjono mengatakan pembangunan prasarana dan sarana persampahan pada ketiga TPST, utamanya untuk mendukung pelestarian lingkungan kawasan pariwisata Pulau Bali, sekaligus upaya meningkatkan kualitas layanan sanitasi di kawasan pariwisata.
 
Semua itu, bagi Kemen-PUPR, bertujuan untuk perlindungan lingkungan, bukan untuk menambah pendapatan asli daerah. Karena itu pemerintah daerah juga harus mendorong agar TPST beroperasi dengan maksimal.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Kesehatan Masyarakat Tahun 2019 tercatat terdapat 27 TPST yang ada di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Hasil monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan TPS 3R tahun anggaran 2012 oleh Direktorat PLP Cipta Karya menunjukkan keberfungsian TPS 3R masih rendah.
 
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan metode cross-sectional. Objek penelitian ini adalah 24 TPST di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 TPST yang diteliti, 21 TPST beroperasi dengan aktif dan 3 TPST tidak beroperasi. Lembaga pengelola TPST juga bervariasi, dimana mayoritas dikelola oleh kelompok swadyaya masyarakat.
 
Permasalahan yang dialami oleh TPST adalah kondisi sampah yang masih tercampur dan tingginya residu yang dihasilkan, sehingga penting bagi TPST untuk bekerja sama dengan pihak terkait untuk meningkatkan performa TPST.
 
Sudah terpilah
 
Untuk meringankan beban TPST, maka sampah yang masuk minimal sudah terpilah antara organik dan anorganik. Sehingga yang organik bisa langsung diolah menjadi bubur organik atau kompos.
 
Yang anorganik juga dipilah sesuai dengan jenisnya, seperti logam, kaca, plastik, dan residu.
 
Jadi setiap sumber sampah, seperti rumah tangga, pasar, restoran, perkantoran, sudah harus melakukan proses pemilahan sampah. Selanjutnya sampah yang terpilah juga diangkut secara terpisah.
 
Kalaupun masih satu armada, maka tetap ada pemisahan dalam bak sampahnya.
 
Ini juga yang dilakukan Waste4change yang menangani sampah di perumahan Telaga Kahuripan, Bogor. Didahului dengan sosialisasi dan kampanye pengelolaan sampah, akhirnya warga taat untuk memilah sampah.
 
Sampah organik yang umumnya sampah dapur dan daun-daunan masuk dalam kantong warna biru dan diletakkan di bagian depan bak truk sampah. Yang anorganik di bagian belakang.
 
Ini memudahkan proses pengolahan selanjutnya karena sampah anorganik langsung dipisah berdasarkan jenisnya.
 
Demikian juga yang organik dipisahkan mana yang bisa dibuat bubur organik yang biasanya bertekstur lunak, seperti buah-buahan, sayuran, dan sisa makanan. Sampah bertekstur lunak itu bisa digiling menjadi bubur organik.
 
Sementara yang tekstur keras seperti daun tanaman, rumput dan ranting kecil bisa dicacah dan diproses menjadi kompos. Jika ada limbah kotoran ternak seperti kambing, domba, sapi dan ayam maka bisa dicampurkan pada bahan tadi untuk mempercepat pengomposan.
 
Rantai ekonomi
 
Apa yang dihasilkan TPST sebenarnya merupakan modal bagi pemberdayaan masyarakat karena dari bubur organik bisa langsung digunakan untuk pakan cacing tanah dan maggot, ulat dari lalat black soldier (BSF)

Keduanya bisa menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak unggas, ikan, belut, bahkan lobster.
Banyak uji coba yang telah dilakukan peternak ayam, itik dan entog yang sukses mengurangi biaya pakan dengan tambahan cacing dan maggot yang bisa diberikan dari 30 sampai 80 persen.
 
Demikian juga sudah banyak peternak lele, ikan mas, mujair yang diberi tambahan maggot untuk mengurangi beban biaya pakan yang bisa mencapai 70 persen dari proses produksi.
 
Sementara cacing bisa digunakan untuk 100 persen pakan lobster, belut, gabus, dan lele. Karena harga cacing di pasaran tergolong masih tinggi yaitu Rp25 ribu sampai Rp30 ribu per kilogram hidup seperti cacing ANC (Afrika) maka untuk pemberian di atas 70 persen disarankan hanya bagi ternak yang harganya mahal, seperti lobster, gabus dan belut.
 
Harga jual ketiga komoditi itu masih seimbang dengan pakan cacing, apalagi pemberian cacing pada kolam budi daya lobster, gabus, dan belut tidak meninggalkan residu, seperti jika menggunakan pelet.
Perguruan tinggi perlu dirangsang untuk meneliti pemberian pakan alternatif, seperti maggot, cacing serta bubur organik bagi ternak, sehingga peternak semakin yakin menggunakan produk-produk yang dihasilkan TPST.
 
Di sisi regulasi juga diperlukan subsidi dari Pemerintah untuk menekan harga produk-produk TPST sehingga semua produk bisa diserap pasar.
Saat ini harga pasaran maggot hidup berkisar antara Rp3.000 sampai Rp4.000 per kilogram, sementara yang kering oven berkisar antara Rp40.000 sampai Rp50.000 per kilogram.
 
Jika saja ada regulasi untuk menyerap semua maggot dan cacing lalu disalurkan kepada peternak unggas dan peternak ikan dengan harga setengahnya, maka ada tiga dampak yang menguntungkan.
 
Pertama, akan ada rangsangan untuk beternak maggot dan cacing. Artinya makin banyak sampah organik yang terserap, termasuk bubur organik yang dihasilkan TPST.
 
Kedua, peternak akan mendapatkan pakan alternatif yang lebih ramah lingkungan, menekan biaya produksi dan mengurangi ketergantungan pakan pelet yang didominasi bahan baku impor seperti bungkil, jagung dan tepung ikan.
 
Ketiga, akan bermunculan usaha baru di sekitar TPST, sehingga masyarakat merasakan kehadiran TPST dan yang paling penting sampah organik akan makin diburu karena menjadi kata rantai produksi.
 
Ke depan perlu dibuka peluang usaha pengolahan sampah organik dengan memanfaatkan cacing dan maggot agar bisa terbuka peluang pemberdayaan masyarakat. Pemerintah tinggal memberikan stimulus berupa bibit cacing dan telur maggot, dan biaya operasional.

​​​​​Hasil maggot dan cacing bisa dibeli dengan patokan harga yang menguntungkan.
 
Jika dana Rp128 miliar dikucurkan untuk empat TPST di Denpasar yang mampu mengolah 1.200 ton sampah per hari. Artinya Pemerintah bisa mengucurkan dana Rp106 juta untuk bisa merangsang TPST skala kecil mengolah 1 ton sampah per hari atau sampah di tingkat RW.
 
Dana itu bisa digunakan untuk membeli bibit cacing atau telur maggot dan perlengkapan kandangnya. Semakin banyak TPST model pengolahan organik di tingkat RW, maka semakin banyak orang yang memperlakukan sampah sebagai bahan baku produksi.
 
Hasil sampingan ternak cacing dan maggot, berupa pupuk kascing dan kasgot merupakan pupuk kompos kasta tertinggi dan bisa mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
 
Konsep ini harus direalisasikan untuk semakin mengoptimalkan TPST sebagai pendorong munculnya beragam usaha kecil yang saling terkait. Bahkan ke depan penilaian Adipura juga bisa memasukkan seberapa besar lapangan kerja yang tercipta dari pengelolaan sampah itu.(Ant)

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close