Nusantaratv.com - Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah (Jateng) menetapkan tiga tersangka terkait kasus kematian dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Tiga tersangka yakni TEN, SM dan ZYA. TEN merupakan Kepala Program Studi PPDS Anestesiologi Terapi Intensif FK Undip, sedangkan SM adalah staf administrasi, dan ZYA merupakan senior dokter Aulia Risma.
Diketahui, dokter Aulia Risma ditemukan meninggal dunia di kosnya di Lempongsari, Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Senin (12/8/2024) malam.
Kematian korban diduga berkaitan dengan perundungan yang dialami dari tempatnya menempuh pendidikan. Saat meninggal, korban sedang menjalani tugas belajar sebagai peserta PPDS Anastesi di Undip Semarang.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto mengungkapkan, penetapan ketiga tersangka itu dilakukan oleh Ditreskrimum Polda Jateng setelah serangkaian gelar perkara dan penyidikan mendalam terkait kasus kematian mahasiswi PPDS tersebut.
Baca Juga: Kuasa Hukum Minta Kemendikbud dan Undip Bertanggung Jawab atas Kematian Dokter Aulia Risma
"Setelah dilakukan gelar perkara, kami dari Polda Jateng kemudian menetapkan tiga tersangka atas kasus PPDS," kata Artanto, seperti diberitakan Nusantara TV dalam program NTV Tonight, Selasa, 24 Desember 2024.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, ada sebanyak 36 saksi yang diperiksa untuk menggali keterangan soal tiga orang yang ditetapkan tersangka tersebut.
Dalam proses penyidikan, pihaknya juga mengamankan barang bukti berupa uang sebesar puluhan juta rupiah. "Barang bukti uang total Rp97.007.500 dari akumulasi kasus ini," imbuhnya.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan pasal tindak pidana pemerasan, sebagaimana dimaksud pasal 368 ayat 1 KUHP. Kemudian tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud pasal 378 KUHP, atau secara melawan hukum memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
"Sebagaimana dimaksud pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP yang telah dirubah oleh putusan MK (Mahkamah Konstitusi) 2013, ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara," tukas Artanto.