Nusantaratv.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari dipecat dari jabatannya imbas pelanggaran etik perbuatan asusila.
Kasus ini bermula dari aduan wanita berinisial CAT kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena Hasyim mengutamakan kepentingan pribadi dan memberikan perlakukan khusus kepada pengadu yang bekerja sebagai Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda.
Selain itu, Hasyim juga diduga telah menggunakan relasi kuasa untuk mendekati dan menjalin hubungan dengan CAT. Hingga akhirnya DKPP menyatakan Hasyim terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap CAT.
Sebelum mendapatkan sanksi pemecatan, Hasyim tercatat telah berkali-kali melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang membuatnya harus diberhentikan sebagai pucuk pimpinan KPU kali ini adalah kali kelimanya. Dalam empat kasus sebelumnya, Hasyim hanya diganjar sanksi peringatan keras.
Ketua DKPP periode 2020-2022, Muhammad Alhamid mengatakan, meskipun yang diberi sanksi etik adalah Hasyim Asy'ari, tetapi hal itu sekaligus bisa memberikan citra tidak baik, negatif dan buruk kepada KPU.
"Kita susah menahan orang memberikan penilaian kepada KPU kalau ketua atau pimpinan tertingginya saja perilaku etiknya seperti ini. Maka hal-hal lain yang dikhawatirkan adalah terkait moralitasnya. Moralitas ini mewarnai perilaku-perilaku yang menyangkut dengan profesionalisme, kemandirian, imparsialitas. Kalau persoalan moral ini tidak dijaga oleh penyelenggara Pemilu, efeknya bisa ke mana-mana, tuduhan publik bisa ke mana-mana," ujar Alhamid saat menjadi narasumber dalam dialog program NTV Prime di Nusantara TV, Kamis (4/7/2024).
Lebih lanjut, dia mengingatkan kepada penyelenggara Pemilu untuk menjaga kepercayaan publik, yakni dengan menjaga diri pribadi kapan dan dimanapun.
"Karena posisi Anda itu tidak bisa dilepaskan sebagai seorang Hasyim Asy'ari dan sebagai Ketua KPU, begitu juga dengan seluruh penyelenggara yang lain," lanjutnya.
Alhamid berharap kasus yang terjadi pada Hasyim Asy'ari menjadi yang terakhir di KPU, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) maupun DKPP.
"Saya tentu ingin menyampaikan kepada kita semua, mudah-mudahan ini adalah kasus terakhir yang terjadi di KPU, di Bawaslu, bahkan di DKPP. Karena DKPP juga itu adalah penyelenggara Pemilu. Jangan sampai perilaku-perilaku minta maaf yang tercela terkait dengan asusila ini, dan sangat terang benderang, detail dijelaskan dalam pembacaan putusan terjadi lagi," imbuhnya.
Alhamid menambahkan, sejumlah pihak meragukan apakah seorang yang sudah tercoreng melakukan pelanggaran etik berat dengan perilaku yang tercela bisa dipercaya terkait dengan kepemimpinannya.
"Orang menjadi ragu. Apakah yang dilakukan kemarin itu dia bisa mengelola KPU dengan baik dengan perilaku seperti ini. Tentu kita sangat menyesalkan peristiwa ini. Semoga menjadi contoh sekaligus pembelajaran penting bagi seluruh penyelenggara Pemilu di mana pun dia berada, di mana kita harus zero toleran terkait masalah etik."
"Jadikan nilai etik ini di atas hukum. Etik itu adalah sesuatu yang lebih besar dan substantif untuk dipegang, diyakini oleh penyelenggara Pemilu, selain pemahaman atau kompetensi, maupun profesionalisme tata kelola Pemilunya," tukas Alhamid.