Nusantaratv.com-Polisi akhirnya berhasil menangkap Pegi Setiawan alias Pegi Perong, DPO kasus pembunuhan terhadap Vina yang sempat buron selama delapan tahun.
Pegi diringkus penyidik Polda Jabar pada Selasa (21/5) malam di wilayah Bandung.
Namun pada saat bersamaan santer dugaan salah tangkap terhadap terpidana lainnya. Tak pelak, dugaan salah tangkap tersebut membuat publik menyangsikan kinerja polri.
Lantas apakah benar polisi kembali melakukan salah tangkap dalam kasus pembunuhan terhadap Vina yang terjadi 2016 silam?
Dalam dialog NTV Prime di NusantaraTV, Rabu (22/5/2024) Kriminolog, Erlangga Masdiana mengulas kemungkinan polisi melakukan salah tangkap dalam kasus pembunuhan terhadap Vina.
Menurut Masdiana soal salah tangkap barangkali bukan sekali polisi melakukan salah tangkap. Hal ini menjadi ujian bagi kepolisian tentang akurasi.
"Akurasi bagaimana melihat atau mendeteksi siapa pelaku atau siapa yang bukan pelaku," paparnya.
Masdiana kemudian menyinggung kasus salah tangkap yang dialami Sengkon dan Karta pada 1974 silam.
"Ingat kita kasus Sengkon-Karta. Mereka sempat dijebloskan ke dalam lembaga pemasyarakatan. Tetapi kemudian diketahui ada pelaku yang benar-benar pelaku melakukan tindakan kejahatan yang lainnya. Akhirnya terungkaplah kasusnya bahwa sesungguhnya pelakunya bukan Sengkon dan Karta," ungkap Erlangga.
Sengkon dan Karta yang disinggung Erlangga adalah dua petani miskin di Desa Bojongsari, Bekasi yang divonis bersalah atas tindak pidana perampokan dan pembunuhan pada 1974. Kedua petani ini dituduh menjadi pelaku pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti Haya pada November 1974.
Tiga tahun kemudian, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bekas tahun 1977, Sengkon dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun, sedangkan Karta dijatuhi pidana penjara selama 7 tahun. Namun, di tengah sedang menjalani hukumannya, tiba-tiba pembunuh asli Sulaiman-Siti Haya mengakui perbuatannya.
Peristiwa salah tangkap yang dialami Sengkon dan Karta, kata Erlangga, menjadi catatan tersendiri buat masyarakat karena masyarakat itu membutuhkan pelayanan dari pihak kepolisian secara baik.
Apalagi moto kepolisian memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Karena itu, catatan bagaimana salah tangkap pihak kepolisian ini betul-betul menjadi evaluasi buat pihak kepolisian bagaimana cara kerja kepolisian itu betul-betul harus dievaluasi.
Baca juga: NTV Prime: Unsur Ini yang Bikin Anggy Umbara Tertarik Sutradarai Film 'Vina: Sebelum 7 Hari'
Terkait cara kerja kepolisian, sambung Erlangga, ada dua hal yang menjadi catatan penting.
"Pertama yang terkait bagaimana pihak kepolisian itu harus melakukan kerja seperti ban berjalan. Artinya setiap kasus harus bisa cepat untuk ditangani lalu kemudian dapat diproses kemudian bisa ditentukan siapa pelakunya kemudian masuk ke proses kejaksaan ataupun pihak pengadilan," terangnya.
"Namun catatan mengenai ban berjalan ini itu kan bukan sebagai sebuah sistim yang tidak ada rasa kemanusiaan. Tetapi juga harus memperhatikan aspek.kemanusiaan dan aspek akurasi
Siapa pelaku yang sesungguhnya," lanjutnya.
"Catatan-catatan semacam ini tidak boleh terjadi lagi di dalam cara kerja pihak kepolisian kita," imbuhnya.
Erlangga mengatakan kepolisian dari waktu ke waktu harus melakukan perbaikan. Caranya dengan melakukan pendidikan dan pelatihan secara intensif dari waktu ke waktu kemudian harus terjadi rolling.
"Jangan sampai kemudian pihak kepolisian terjadi stres akibat cara kerja yang overload mengakibatkan harus ada target siapa yang menjadi tersangka. Padahal membawa efek kepada kesalahan dalam penangkapan," ucapnya.
"Malah ada moto lain kepolisian lebih baik melepaskan dari pada menangkap orang yang salah," tambahnya.
Mengingat sorotan publik saat ini perihal dugaan salah tangkap dan rekayasa, menurut Erlangga kepolisian sebaiknya memberikan keterangan secara terbuka dan pasti bahwa kalau misalnya ada beberapa kesalahan yang terjadi di masa yang lalu.
"Itu bisa dilakukan perbaikan. Menyatakan kepada publik bahwa ada pelaku yang salah tangkap karena informasi yang masuk kepada pihak aparat itu yang salah," kata Erlangga.
"Tapi kesalahan ini jangan sampai kemudian dijadikan alat untuk melakukan justifikasi akibat dari sistim kerja pihak kepolisian yang memang dituntut untuk bisa melakukan percepatan penanganan terhadap kasus," tambahnya.
Erlangga menyampaikan dari berbagai laporan-laporan yang dilaporkan kepada pihak kepolisian, kurang lebih clearance rate-nya sekitar 60 persen. Sisanya yaitu 30 persen itu tidak tepat tertangani.
Pasalnya, jumlah dan jenis kasus yang ditangani pihak kepolisian sangat banyak mulai dari kasus KDRT sampai terorisme sampai kekerasan-kekerasan yang luar biasa. Itu semuanya harus ditangani, dilayani dan harus diselesaikan oleh pihak kepolisian.
"Sementara jumlah anggota kepolisian di Polsek-polsek atau Polres sangat terbatas," pungkasnya.