Nusantaratv.com - Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bakal merangkul semua komponen bangsa setelah Pemilu 2024 usai.
Ketua Umum Prabowo Mania, Immanuel Ebenezer mengatakan, Prabowo ingin seluruh komponen bangsa dapat berkontribusi dalam pemerintahannya.
"Ini bukan soal efektif, atau tidak efektif. Tapi Prabowo ingin sekali mengajak seluruh komponen bangsa untuk berkontribusi pikiran, tenaga dan sebagainya," ujar Noel, sapaan akrabnya, saat menjadi narasumber pada program NTV Prime di Nusantara TV, Senin (13/5/2024).
Disebutkannya, Pemerintah saat ini sedang melakukan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk mencapai target Indonesia Emas pada 2045.
"Jadi ini soal generasi unggul, bangsa ini lagi punya target itu. Untuk menuju ke sana kita harus punya standar SDM, politik, dan ekonomi yang baik. Itu harus benar-benar tersistem. Di mana sistem ini lagi mau dibuat dengan jerih payah yang luar biasa."
"Makanya dibutuhkan kerja sama. Setelah sistem terbentuk, barulah kalian mau beroposisi atau apa terserah. Tapi pada prinsipnya musuh nyata bangsa ini adalah korupsi," tambah Noel.
Kendati demikian, dia mengakui, dengan merangkul semua komponen bangsa juga tidak menjamin pemerintahan akan efektif.
"Kalau dirangkul memang ada ada jaminan pemerintahan itu efektif, nggak juga. Kemudian kita memiliki referensi pemerintahnya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), kemudian pemerintahan Pak Jokowi. Mereka punya sejarah yang cukup baik dalam melakukan komunikasi politik, walaupun terganjal misalnya Pak SBY dengan kasus Bank Century, kemudian Pak Jokowi terganggu dengan beberapa undang-undang terkait Omnibus Law, dan sebagainya," sebut Noel.
Menurutnya, selama komunikasi politik dilakukan dengan baik, maka akan terjadi kompromi. "Siapa pun pemerintahannya yang kompromi, pasti enggak ada yang namanya penjegalan, kecuali di era Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang pemerintahannya tidak sampai setengah perjalanan sudah dilengserkan," urainya.
Noel menilai, Indonesia adalah negara demokrasi. Kritik mengkritik adalah sesuatu yang biasa, dan bukan malah dimusuhi.
"Kalau seandai para akademis itu mengkritik dianggap gangguan, ya kelewatan saja pemerintahannya. Ketika kelompok-kelompok civil society menyampaikan kritik dianggap gangguan, ya bodoh saja menurut saya. Jadi, menurut saya, siapapun akademisi, aktivis, kelompok pro demokrasi dan sebagainya, ketika mereka melakukan kritik, biarkan saja, itu merupakan bagian demokrasi yang sudah kita sepakati."
"Jadi saya bangga sekali ketika pemerintahan Prabowo nanti harus penuh dengan kritik, jangan tidak. Agar apa? Pemerintahannya efektif dan berkualitas," tegas Noel.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, menguji pemerintahan efektif dan berkualitas itu bukan soal koalisi, justru harus ada kelompok-kelompok civil society, kelompok aktivis, dan partai politik yang kuat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah.
"Kalau semua masuk justru korupsinya yang kuat, karena mereka saling menguatkan," terangnya.
Dia berharap semua pihak bisa bekerja dengan tulus untuk rakyat. "Jangan menipu rakyat, fokus pada kerja-kerja kerakyatan, fokus pada kerja-kerja kebangsaan," ucap Noel.
Sementara itu, analis politik, Ray Rangkuti mengatakan Prabowo harus percaya diri dalam menjalankan pemerintahan, dengan tidak perlu merangkul partai-partai lain di luar koalisinya.
"Pak Prabowo tidak perlu terlalu khawatir pemerintahannya ini diganggu sampai akhirnya berhenti di tengah jalan. Karena sejak 20 tahun terakhir, Indonesia tidak punya semacam tradisi menjatuhkan presiden di tengah jalan. Itu sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir," cetus Ray.
"Apalagi Pak Prabowo didukung 58,59 persen. Sejak awal saya mengatakan sebaiknya Pak Prabowo itu percaya diri saja. Tidak perlu lagi menambah-nambah partai untuk masuk ke dalam koalisinya yang pada akhirnya bikin ribet," sambungnya.
Dia menilai, dengan tingkat kemenangan yang mencapai 58,59 persen tersebut, bakal menjadi modal yang besar untuk Prabowo dalam memimpin pemerintahannya. Sebab, belum pernah ada presiden yang mendapatkan angka kemenangan sebesar itu.
"Pak Jokowi periode pertama juga tidak sampai 58 persen. Partai Gerindra, PKS, Demokrat, PAN berada di luar, tapi aman-aman saja. Di periode kedua baru memasukan partai tersebut untuk mendukung pemerintahannya, yang akhirnya powerful. Saking powerful-nya banyak aturan dan undang-undang yang diprotes masyarakat, tapi lolos begitu saja. Sampai kemudian tragedi pecah perahu. Pak Jokowi mendukung Pak Prabowo, sementara partainya (PDI Perjuangan) mendukung Pak Ganjar Pranowo."
"Pesan yang ingin saya sampaikan, Pak Prabowo kalau Anda menang 58,59 persen dan didukung oleh presiden yang sangat popular, bahkan ada dua presiden bersama Anda serta mayoritas kursi di DPR sebetulnya sudah boleh dibilang fifty-fifty, ya sudah Anda pakai itu saja. Nanti di periode kedua baru akan kelihatan keinginan banyak partai yang akan bergabung dengan Pak Prabowo," tukas Ray.