Nusantaratv.com - Pendapat berbeda atau dissenting opinion disampaikan tiga hakim konstitusi dalam putusan sengketa Pilpres 2024. Mereka menegaskan ada masalah serius dalam Pemilu 2024.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arif Hidayat menyebut, telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada Pilpres 2024.
Menurutnya, pelanggaran itu melibatkan intervensi kekuasaan presiden dengan infrastruktur politik yang berada di bawahnya guna memenangkan pasangan calon tertentu.
Pakar politik, Prof. Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, presiden di masa menjelang dan setelah Pemilu tidak boleh memiliki kekuasaan yang masih kuat. Apalagi, kata dia, belum ada aturan apakah seorang presiden boleh mencalonkan istrinya, anaknya, adiknya, atau keluarga yang lainnya.
"Karena sebetulnya dulu undang-undang Pilkada ada, tapi kalau tidak salah pada 2015 itu dianulir sama Mahkamah Konstitusi dengan alasan melanggar HAM (hak asasi manusia). Padahal menurut saya, itu tidak ada yang melanggar HAM. Buat saya ini persoalan apakah seorang kepala daerah apalagi presiden akan menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan keluarganya. Jadi kenapa begitu? Karena Indonesia ini memang suatu negara yang belum tuntas aturan hukumnya," ujar Ikrar saat menjadi narasumber program NTV Prime di Nusantara TV, Jumat (3/5/2024).
Meski para pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyebutkan tidak ada bukti presiden menyalahgunakan kekuasaan, namun kata Ikrar, hal tersebut nyata dirasakan.
"Misalnya persoalan Bansos. Itu kalau dilihat seakan-akan lima hakim konstitusi tidak bisa membuktikan ada pelanggaran. Padahal bukan persoalan tidak ada pelanggaran, karena masalahnya aturan-aturan itu belum masuk di dalam, baik itu undang-undang Pemilu, ataupun belum ada untuk yang membuktikan secara legal formal, karena tidak ada aturan, sehingga kemudian mereka bilang enggak bisa itu dibuktikan dan sebagainya. Walaupun kita tahu secara kasat mata itu ada."
"Misalnya Menteri Keuangan mengatakan, anggara yang digunakan presiden itu bukan dari dana bansos, tapi anggaran operasional presiden. Pertanyaannya? Anggaran operasional presiden itu dari kantong mana, kalau sumbernya juga dari APBN, itu berarti uang rakyat, uang pembayar pajak, jadi sama sumbernya. Ini kenapa lame duck government itu penting? Karena kita tahu yang namanya presiden itu bukan cuma kepala negara, dia juga kepala pemerintahan, dan dia juga kepala keluarga," sambung Ikrar.
Sehingga, kata dia, bisa saja digunakan dengan executive power dan mengeluarkan executive order. Dengan demikian bisa menekan menteri dengan asumsi itu kabinet Jokowi atau kabinet presiden, bukan kabinet menteri.
"Itu yang menjadi problem besar bagi menteri-menteri untuk tidak bisa mengatakan tidak terhadap apa yang diinginkan oleh Presiden," imbuhnya.
Ikrar menilai, saat ini Indonesia seolah berada dalam demokrasi terpimpin, seakan-akan membutuhkan seorang pemimpin yang kuat, pemimpin yang memiliki leadership baik, pemimpin yang seakan-akan populis.
"Tapi apa yang dilakukan Jokowi dengan Pemilu kemarin itu memberikan jangka pendek kenyamanan bagi rakyat melalui bansos, tapi melakukan kepanikan atau kepusingan pada rakyat dalam jangka panjang. Kenapa? Karena begitu habis diberikan bansos, yang terjadi setelah itu, uang anggaran negara terlalu banyak dikeluarkan, kemudian hutang negara bertambah, kita juga mengalami kesulitan pasca Pemilu, dimana harga barang-barang meningkat."
"Sekarang juga kita nggak mampu menghadapi situasi global ekonomi yang begitu parah. Dolar juga meningkat tajam. Jadi hal-hal itu yang kita lihat jangka pendek, dia memberikan kenyamanan. Tapi jangka panjang, dia justru memberikan kepeningan, bukan cuma kepada rakyat kecil, tapi juga kepada rakyat yang boleh dikatakan the have, dan juga pengusaha," tambahnya.
Dengan demikian, kekuasaan presiden memang harus dibatasi. Tetapi masalahnya, kata Ikrar, yang namanya presiden siapapun, pasti tidak mau kekuasanya dibatasi.
"Karena itu kita harus berkolaborasi dengan teman-teman seperti Bung Feri (Amsari), Uceng (Zainal Arifin Mochtar), ahli hukum tata negara, ilmuwan-ilmuwan sosial serta aktivis civil society. Saya berharap bung Feri dan kawan-kawan akan membuatkan misalnya naskah akademiknya dulu, dan kemudian rancangan undang-undangnya, yang kemudian bisa dibahas di parlemen," terang Ikrar.
Sementara itu, pakar hukum Tata Negara, Feri Amsari menegaskan, membatasi kekuasaan presiden memang fitrah konstitusional sistem presidensial.
"Ada pakar yang mengatakan presiden itu adalah raja, tapi yang dibatasi konstitusi. Dia itu punya batasan maka dia disebut presiden, kalau tanpa batasan sudah jadi raja dia. Oleh karena itu, wajib dalam fitrah konstitusionalnya presiden dibatasi," cetus Feri.
Dia mengungkapkan, gagasan pembatasan kekuasaan presiden sebenarnya sudah ada di konstitusi, tetapi secara praktik dalam ruang-ruang administratif seringkali presiden bertindak di luar batas konstitusionalnya.
"Misalnya dia punya kekuasaan ikut membentuk undang-undang. Setelah undang-undang dikoreksi oleh lembaga peradilan, oleh Mahkamah Konstitusi, presiden dapat sesuka hati membuat Perpu, karena alasan kegentingan memaksa, padahal tidak genting. Di titik itulah presiden melampaui batasan konstitusionalnya. Harusnya presiden tidak bisa sesuka hati mengeluarkan Perpu untuk membatalkan putusan MK," lanjut Feri.
"Jadi akan timbul tanda tanya, kalau untuk Cipta Kerja presiden mengeluarkan Perpu untuk membatasi wewenang Mahkamah Konstitusi. Kenapa presiden tidak mengeluarkan Perpu untuk putusan nomor 90 Tahun 2023 yang memperbolehkan anaknya maju menjadi calon wakil presiden, seharusnya dia keluarkan Perpu. Tidak baik kiranya di tengah tahapan Pemilu yang berlangsung, anak saya sendiri memanfaatkan dominasi kekuasaan saya untuk ikut pemilu, itu namanya konflik kepentingan, tapi faktanya presiden tidak mengeluarkan Perpu, tapi di tempat lain dia keluarkan," bebernya.
Menurutnya, seringkiali godaan kekuasaan menimpa presiden. Presiden semestinya dengan kekuasaan yang luar biasa dalam dirinya perlu dibatasi. Tanpa ada pembatasan membuat presiden bisa lupa diri.
"Saya setuju presiden harus dibatasi dengan dibentuknya undang-undang lembaga kepresidenan. Prof Ikrar tahu betul usul soal undang-undang lembaga kepresidenan ini dari dulu, sudah dari lampau. Nah mencuat lagi ketika disadari cawe-cawe presiden itu kelewatan di berbagai lini ketika menjelang Pemilu kemarin. Seperti teori yang disampaikan 'power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely', jadi kekuasaan yang berlebihan sudah pasti korup."
"Pada titik ini sebenarnya fitrah manusia bukan tidak mungkin akan selalu muncul di dalam diri presiden untuk terus berkuasa dan lupa diri. Oleh karena itu, konstitusi membatasinya, yang ditindaklanjuti biasanya dengan undang-undang. Tetapi saya tidak melihat ada upaya itu. Memang kita agak beruntung beberapa presiden pasca reformasi masih mampu menahan diri untuk tidak berbuat menyimpang lebih jauh. Apalagi kalau isunya dikaitkan majunya sang anak setelah rencana tiga periode dan memperpanjang masa jabatan presiden gagal," tukas Feri.