NTV Prime: Berkaca dari Cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024, Pakar: Sehebat Apapun Kekuasaan Presiden Harus Dibatasi

Nusantaratv.com - 04 Mei 2024

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari bersama Prof Ikrar Nusa Bakti dalam program NTV Prime Dialog bertema 'Mengatur Kekuasaan Presiden' di NusantaraTV, Jumat (3/5/2024).
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari bersama Prof Ikrar Nusa Bakti dalam program NTV Prime Dialog bertema 'Mengatur Kekuasaan Presiden' di NusantaraTV, Jumat (3/5/2024).

Penulis: Ramses Manurung

Nusantaratv.com-Kekuasaan Presiden harus dibatasi secara tegas dan jelas melalui Undang Undang. Perlu dilakukan pembatasan-pembatasan dengan memastikan kehendak konstitusi dijalankan. 

Pasalnya, potensi penyimpangan kerap terjadi dalam tradisi politik Indonesia. Termasuk di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dituding banyak pihak melakukan cawe-cawe dalam proses Pemilu 2024 khususnya untuk Pemilihan Presiden. 

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyatakan Undang Undang Dasar 1945 telah secara terang benderang membatasi kekuasaan Presiden dalam berbagai bidang. 

Hal itu ditegaskan Feri Amsari saat menjadi narasumber bersama Prof Ikrar Nusa Bakti dalam program NTV Prime Dialog bertema 'Mengatur Kekuasaan Presiden' di NusantaraTV yang dipandu host Donny de Keizer, Jumat (3/5/2024). 

Feri mengatakan Indonesia menerapkan konsep presidensial murni yang merujuk pada 'ibunya sistem presidensial' yaitu Amerika Serikat (AS). 

"Konstitusi kita sendiri banyak naskah di dalam perubahan itu yang menjelaskan kenapa pilihan kita adalah membangun konsep presidensial murni ala Indonesia," kata Feri yang juga dikenal sebagai aktor dalam film Dirty Vote.

"Jadi pembatasan ini kan harapannya karena potensi penyimpangan dalam tradisi politik kita perlu dilakukan pembatasan-pembatasan dengan memastikan kehendak konstitusi dijalankan. Saya merasa aneh kalau kemudian pilihan-pilihan politisi di kita terutama di era presiden Jokowi. Itu mengingkari maksud asli dari pembentukan pasal-pasal yang berkaitan dengan kekuasaan presiden," tambahnya.

Lebih lanjut Feri menjelaskan meskipun menurut pasal 4 bahwa kekuasaan pemerintahan itu adalah di tangan presiden, tidak berarti presiden bisa ikut campur dan cawe-cawe untuk urusan lembaga lain.

"Bahkan misalnya eksplisit disebut kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dari siapa, dari semua, termasuk dari presiden. Karena itu, pilihan diksinya merdeka, faktanya presiden ikut campur terlalu jauh, termasuk di Mahkamah Konstitusi," tuturnya. 

"Di dalam praktik, ya, kekuasaan presiden itu berupaya menyeleksi memilih hakim konstitusi, orang dari presiden. Padahal kalau dibaca bunyinya ketentuan dasar UUD pasal 24C sebenarnya hakim konstitusi itu hanya diajukan oleh presiden harus lembaga independen lain yang kemudian menyeleksi dan memilihnya," lanjutnya.

"Tapi praktiknya jadi buruk karena presiden berupaya memilih dan menyeleksinya lalu melantiknya sendiri. Jadi semuanya melalui keterlibatan presiden," tambahnya. 

Presiden, kata Feri, mestinya bertugas memastikan kekuasaan kehakiman merdeka. Tidak ikut campur mempengaruhi lembaga peradilan apalagi MK. Karena mereka dirancang sebagai the guardian of constitution (pengawal konstitusi) dan disaring oleh lembaga independen lainnya.

"Malah kemudian guardiannya yang kemudian ditumbangkan oleh presiden. Sehingga presiden mengabaikan prinsip-prinsip berkonstitusi," ujarnya.

Feri menegaskan konstitusi dan naskah maksud asli (original intens) dari pembentukan komstitusi menjadi panduan.

"Jangan kemudian ujung-ujungnya  yang dijadikan panduan adalah kepentingan politik dan hasrat presiden untuk terus berkuasa," tandasnya. 

Belajar dari Roosevelt dan Obama

Feri meyebutkan soal pembatasan masa jabatan Presiden RI hanya dua periode masing-masing 5 tahun juga tertera pada Pasal 7 UUD 1945. Bahkan merujuk pada naskah BPUPK seluruh pendiri bangsa Indonesia sepakat hanya dua periode. 

Hal itu mencontoh perkembangan yang terjadi ketika Franklin D Roosevelt tergoda menabrak tradisi dua periode dengan menjadi 4 periode (1933-1945).

Preseden yang sama pernah terjadi di era Presiden pertama RI Soekarno yang menjabat selama 21 tahun dan Presiden kedua Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. 

"Jadi semua orang bisa membuat konstitusi rusak dengan hasratnya," ucap Feri.

Walaupun konstitusi telah mengatur secara tegas hanya dua periode, kata Feri, godaan untuk bisa menjabat lebih dari dua periode hingga memperpanjang masa jabatan tetap ada. 

"Siapa saja akan tergoda. Siapa yang tidak senang dengan kekuasaan? Semua orang senang. Karena itu siapapun presiden, mau hebat setinggi langit harus dibatasi," tukasnya. 

Feri menekankan memang dibutuhkan presiden yang bertindak layaknya negarawan dan itu pernah dicontohkan oleh Presiden AS,  Barack Obama yang secara tegas menolak ketika digoda dengan tawaran memperpanjang jabatannya menjadi tiga periode.

"Kalau sudah dua periode ya sudah. Selesai," tegas Feri. 
 
Pemilu 2024 jadi Pelajaran

Hal senada disampaikan Prof Ikrar Nusa Bakti. Menurutnya apa yang dibuat oleh MPR pada 1998 sampai 2022 sudah benar. 

"Kenapa? Kita tahu Pak Harto dipilih berkali-kali. Saya berani mengatakannya ga usah milter, ga suah sipil, mengutip kaimat anda (presenter) yang tadinya malaikat bisa jadi setan juga," kata Prof Ikrar. 

Godaan akan kekuasaan, sambung Prof Ikrar, bisa membuat seseorang yang tadinya dianggap bersahaja, sangat populis lalu menggunakan kepopulisan dia untuk meipu rakyat. 

"Dengan pengaruh yang katanya dia hebat, dia membangun, dia pro rakyat. Padahal kita tahu bukan itu yang dia kerjakan. Dia juga membutuhkan itu untuk keuntungan pribadi dan keluarganya misalnya untuk anaknya," ujarnya. 

Prof Ikrar menyatakan Pemilu 2024 ini adalah pelajaran sejarah yang sangat baik. 

"Banyak sekali undang-undang yang harus direvisi atau dibuat. Bukan cuma soal pembatasan untuk Presiden tapi juga pembatasan-pembatasan lain dalam kaitan dengan UU Pemilu," pungkasya.

 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close