Nusantaratv.com - Kontestasi Pilkada 2024 makin seru dengan peta politik yang berubah drastis usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024.
Guncangan besar dialami partai politik (parpol) dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. DPR memastikan pengesahan revisi Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) resmi dibatalkan.
Jurnalis senior Tempo Bambang Harymurti menyebut, KIM Plus tidak solid mulai terlihat sejak aksi demo menolak RUU Pilkada yang akhirnya dibatalkan DPR.
"Yang menarik buat saya mungkin pertanda pertama dari adanya keretakan ini sudah dimulai dimana polisi membiarkan mahasiswa meruntuhkan pagar DPR RI. Menurut saya tidak mungkin polisi membiarkan itu kalau tidak ada keretakan di atas, sehingga menimbulkan kebingungan, ini harus keras atau tidak," ujar Bambang Harymurti saat menjadi narasumber program Dialog NTV Prime di Nusantara TV, Rabu (29/8/2024).
Dia menilai, suasana demo mirip dengan tahun 1998, ketika para mahasiswa berhasil menjebol pintu pagar dan masuk ke dalam Gedung DPR RI.
"Jadi agak mirip dengan tahun 1998 ketika mahasiswa bisa masuk. Mahasiswanya justru kaget, karena tidak menyangka pada hari pertama demo gerbangnya sudah terbuka, tapi mereka tidak sampai masuk ke dalam. Aksi ini juga terjadi di berbagai daerah," sambung pria yang akrab disapa BHM itu.
Baca Juga: DonCast: Bambang Harymurti Blak-blakan Soal Gonjang-ganjing di Golkar: Airlangga Terpleset Karena Inisial S di Pilkada Jakarta, Harusnya K
Jurnalis senior Tempo Bambang Harymurti saat menjadi narasumber program dialog NTV Prime di Nusantara TV, Rabu (29/8/2024).
Dia menambahkan, kondisi tersebut menunjukkan tidak solidnya kekuasaan. Ini menjadi sesuatu yang wajar karena tidak lama lagi akan terjadi perpindahan kekuasaan.
"Ibaratnya kita dilereng, semua orang mencari keseimbangan, bagaimana tetap ikut di penguasa yang berikutnya, tapi karena yang penguasa sekarang masih punya taring, maka tidak terlalu membuat penguasa yang sekarang terlalu marah," imbuhnya.
Menurutnya, terjadi perbedaan pandangan dan kepentingan antara Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.
"Walaupun mungkin tujuannya sama membuat satu koalisi yang kuat, tapi ada perbedaan dalam caranya. Ibarat pepatah, Roma-nya sama, tapi jalan menuju Roma-nya itu berbeda," jelasnya.
"Bahkan dalam beberapa hal sangat berbeda seperti saat Pak Prabowo pidato di PAN. Itu jelas dia mengatakan jangan sampai ada yang haus kekuasaannya, sehingga menggunakan intel, aparat hukum untuk memenangkan pertandingan, itu tidak fair. Jadi saya kira caranya berbeda," tukas BHM.