Nusantaratv.com-Anggota Baleg DPR RI asal Aceh dari Fraksi Nasdem mengeluhkan sistem kepemiluan yang membuat caleg harus merogoh kocek yang sangat dalam agar dapat lolos. Muslim menilai akibat tingginya biaya politik dengan sistem kepemiluan saat ini perlu waktu 10 tahun untuk mengembalikan biaya yang harus ia keluarkan agar dirinya bisa duduk di kursi parlemen Senayan.
Keluhan itu disampaikan Muslim saat Baleg DPR menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Komnas HAM, Perludem dan AMAN, Rabu (30/10/2024).
"Menyangkut dengan sistem pemilu ini. Saya dari NasDem kalau sekadar saran ataupun masukan itu kan tidak ada persoalan. Tinggal lagi kita lagi mengaturnya bagaimana yang terbaik dengan sistem pemilu kita," ujarnya.
"Kalau berbicara Pemilu ini saya rasa apapun aturan yang kita lakukan ke depan. Apapun RUU yang kita sahkan nanti. Kapanpun tidak akan terhindar dari money politic. Itu sudah pasti," lanjutnya.
"Tadi semua pendapat sudah kita sampaikan. Malah yang sangat kritis sekali yang disampaikan oleh Pak Daruri bagaimana mengembalikan uang kita. Saya berharap apa salahnya barangkali Pemilu ini 10 tahun sekali. Karena untuk 5 tahun ini pimpinan. Kita ini 2025, 2026 itu dekat. 2027 kita sudah mulai Pemilu lagi. Jadi engga akan mungkin dana ini bisa kita kembalikan dengan sistem begini," sambungnya.
"Mohon maaf rata-rata kita bukan sedikit menghabiskan uang. Minimal Rp20 miliar ke atas. Enggak ada yang sampai Rp10 miliar. Ini Perludem harus tahu. Jangan nanti memberi telahan yang memang asal dari pikiran kita tapi tidak tahu dampaknya. Kami masing-masing meninggalkan hutang ini. Jujur saya sampaikan," imbuhnya.
Meski demikian Muslim menegaskan usulan ini adalah usulan pribadi bukan dari partainya.
"Ini usulan pribadi. Bukan Nasdem. Nanti saya kena freekick," tandasnya.
Permasalahan yang kedua menyangkut pelaksanaan Pemilu, kata Muslim adalah profesionalitas penyelenggara.
"Karena yang mengajari kita jahat ini adalah penyelenggara juga. Kami jujur kalau di Aceh itu luar biasa. Kalau katakan kejam malahan persatu suara itu dihitung sampai Rp200 ribu. Coba bayangkan. Mungkin daerah lain engga sampai begitu," ungkapnya.
Guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu, Muslim pun mengusulkan untuk menggunakan sistem e-voting atau pemungutan suara menggunakan sistem elektronik atau online.
"Kenapa sistem ini tidak kita buat ada beberapa negara sistem ev-oting yang barangkali kita tidak mengeluarkan biaya besar. Dibentuknya KPU dengan dana sampai triliunan dengan KPU-KPU yang ada di kabupaten/kota. Kalau sistem yang dilakukan e-voting yang ada beberapa negara lakukan Pemilu jam 9 pagi, jam 1 siang kita sudah tahu hasilnya. Sudah tahu kita jadi pemenang," bebernya.
Dengan demikian, kata Muslim, tidak ada di situ permainan-permainan kotor. Tidak seperti yang dilaksanakan di Indonesia saat ini.
"Bayangkan saja pimpinan saya di hari ketiga sudah tahu saya suara saya itu menjadi pemenang. Tapi kita masih bimbang memikirkan suara kita yang banyak dicurangi oleh penyelenggara. Pemyelenggara ikut campur untuk mencurangi suara kita. Jadi untuk penyelenggara saja kami mengeluarkan uang berapa," tuturnya.
"Ini jangan anggap ramah. Ini nyata dan terjadi," pungkasnya.