Nusantaratv.com - Peningkatan penggunaan plastik untuk keperluan industri dan rumah tangga berdampak pada peningkatan volume timbunan sampah plastik, sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan, termasuk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Pada 2015 Indonesia pernah dilaporkan sebagai negara kedua terbesar di dunia sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan dengan perkiraan sebesar 3,22 ton/tahun berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Jambeck.
Lebih jauh, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), permasalahan sampah plastik di Indonesia tidak terbatas di lautan, namun juga sudah mempengaruhi kualitas air hingga ke sungai-sungainya. Data dari jurnal Nature Communication yang dimuat oleh The ASEAN Post pada Juli 2017 mengungkapkan bahwa empat sungai besar di Indonesia yaitu Brantas, Solo, Serayu, dan Progo termasuk dalam 20 sungai terpolusi di dunia.
Elza Rizkiawalia dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Babel mengatakan bahwa potensi sampah plastik yang dapat diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM) di Babel cukup besar, karena meningkatnya volume sampah plastik di daerah ini.
Hasil penelitian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung oleh Riskiana pada 2020, pengambilan sampel air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Baturusa meliputi Sungai Mabet, Sungai Limbung, Sungai Baturusa, Muara Sungai Selindung, Sungai Pangkalbalam, Muara Sungai Rangkui, serta Sungai Selindung menunjukkan kepadatan sampah plastik rata-rata sebesar 0,022 g/m³.
Data terbaru dari situs KLHK, komposisi sampah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2021 menunjukkan bahwa sampah plastik menempati posisi ketiga sebesar 20,16 persen setelah sisa makanan 30,83 persen dan kayu/ranting 22,52 persen.
Data persampahan 2019 yang dirangkum dalam Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DIKPLHD), hanya sebesar 66,26 persen sampah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berhasil diolah baik di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) maupun di Tempat Pengelolaan Sampah-Reduce Reuse Recycle (TPS-3R), sehingga masih tersisa 33,74 persen sampah yang tidak terolah dan terbuang di sembarang tempat seperti di tanah, sungai, atau kolong.
Tingginya aktivitas wilayah perairan di Kepulauan Babel yang dikelilingi lautan serta terbatasnya sarana pengolahan sampah, dapat memicu buruknya kondisi persampahan di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Sampah plastik berdampak negatif terhadap lingkungan karena tidak dapat segera terurai dan dapat menurunkan kesuburan tanah. Sampah plastik yang tidak dibuang pada tempatnya dapat menyumbat selokan, saluran drainase, dan sungai sehingga menjadi salah satu penyebab banjir.
Hasil dari beberapa penelitian bahwa asap hasil pembakaran sampah plastik meningkatkan risiko penyakit jantung, memperburuk penyakit pernapasan seperti asma, menyebabkan ruam, sakit kepala, serta merusak sistem saraf. Uap yang dihasilkan juga dapat merusak mata dan membran mukosa.
Penyelesaiannya
Permasalahan sampah plastik harus segera dicari penyelesaiannya. Pengelolaan sampah plastik yang populer adalah melalui konsep 3R yaitu Reduce (mengurangi penggunaan dan pembelian barang-barang berbahan dasar plastik terutama yang sekali pakai), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang).
Untuk mengurangi penggunaan bahan plastik, harus tersedia barang pengganti yang lebih murah dan praktis, sedangkan jika digunakan berulang kali seperti misalnya kantong plastik, lama kelamaan akan menjadi tidak layak pakai, dan jenis plastik tertentu jika digunakan berulang akan berbahaya bagi kesehatan, serta bahan plastik hasil daur ulang diketahui sudah berkurang kualitasnya.
Saat ini telah banyak diteliti dan dikembangkan alternatif pengolahan sampah plastik dengan mengkonversi menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pengolahan sampah plastik dengan cara ini dapat mengatasi dua permasalahan penting yaitu penumpukan sampah plastik dan perolehan kembali BBM yang merupakan bahan baku pembuatan plastik.
Bahkan pada beberapa daerah di Indonesia sudah dilaksanakan oleh kelompok masyarakat dan menjadi salah satu penggerak ekonomi serta membuka lapangan kerja seperti di Desa Sidorekso, Kudus, dan Desa Kutasari, Purbalingga, serta di Bantul, Yogyakarta.
Pengolahan sampah plastik menjadi BBM dilakukan menggunakan metode pirolisis, yaitu proses degradasi suatu material dengan suplai panas yang berjalan tanpa melibatkan oksigen atau dengan oksigen namun dengan jumlah sangat sedikit menghasilkan produk dalam bentuk padat, cair, dan gas.
Peralatan yang digunakan cukup sederhana seperti pada gambar, yaitu bahan bakar menggunakan LPG, tungku pembakaran, reaktor yang dilengkapi dengan mulut tempat memasukkan bahan, tabung kondensasi (kondensor) dengan pendingin, serta tabung penampung yang dilengkapi dengan saluran pengeluaran gas.
Sedangkan bahan-bahan yaitu berbagai sampah atau limbah plastik dapat berupa botol atau gelas bekas minuman dalam kemasan, label atau merk botol plastik, serta plastik kresek yang telah dikecilkan ukurannya dengan cara dicacah. Bahan lain yaitu pasir zeolite sebagai katalisator. Selain menggunakan pasir zeolite, sebagai katalisator juga dapat menggunakan karbon aktif seperti norit.
Sampah plastik yang telah dicacah dimasukkan dalam reaktor, kemudian ditambahkan katalis dalam hal ini menggunakan pasir zeolite. Setelah ditutup rapat, reaktor kemudian dipanaskan dengan tungku pembakar menggunakan bahan bakar elpiji.
Dalam suhu tertentu, seiring berjalannya waktu terjadi reaksi dalam reaktor menghasilkan produk berupa padatan dan gas. Padatan tersisa akan tetap tinggal dalam reaktor berupa arang, sedangkan gas yang ringan mengalir melalui pipa menuju tabung kondensasi.
Dalam tabung kondensasi gas kemudian mengalami pendinginan menggunakan air yang mengalir, gas yang terbentuk menjadi cairan kemudian ditampung dalam tabung penampungan, sedangkan gas yang tidak terkondensasi menjadi cairan akan keluar melalui saluran pengeluaran gas. Gas yang terjadi jumlahnya sangat sedikit berupa gas methane yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar.
Sedangkan produk pirolisis yang berupa padatan dapat diolah menjadi karbon aktif. Cairan yang dihasilkan merupakan minyak yang mudah terbakar, dibuktikan dengan memantikkan api pada cairan yang dengan segera terjadi kobaran api.
Untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu fraksi bahan bakar seperti minyak tanah, bensin, dan sebagainya memerlukan proses lebih lanjut menggunakan destilasi fraksional bertingkat, untuk sementara hasil dari pirolisis sampah plastik sudah dapat digunakan sebagai pelarut.
Diperlukan pengembangan peralatan seperti penambahan pengatur suhu serta tekanan dan analisis secara ekonomi dalam sebuah pengoperasian pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar ini mengingat adanya konsumsi bahan bakar dalam jumlah yang cukup besar.
Dalam mengatasi permasalahan sampah plastik seiring dengan meningkatnya laju timbulan sampah, serta perlunya pengembangan energi baru terbarukan, pengolahan sampah plastik menjadi BBM dapat menjadi salah satu pilihan yang patut dipertimbangkan.(Ant)