Nusantaratv.com - Air kuning kecoklatan masih mengalir tenang pada Sungai Batanghari di Nagari Sungai Dareh Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, pada pertengahan Desember 2022, seakan tidak lekang oleh waktu.
Aliran sungai itu, pada 31 Desember 1948 menjadi saksi sejarah kedatangan rombongan Mr Syafruddin Prawira Negara dari kawasan yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Riau.
Kedatangan rombongan itu awalnya tidak diketahui banyak orang. Maklum, saat itu agresi Belanda II tengah menjadi-jadi. Mata-mata berserak di mana-mana. Siapa saja bisa jadi mata-mata.
Belanda yang tidak rela melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan berupaya menghapus Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), denyut nadi terakhir dari sebuah bangsa yang pernah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, namun kembali diamuk agresi Belanda pada 19 Desember 1948.
Negara Indonesia nyaris musnah dari peredaran dunia saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditangkap di Yogyakarta dalam agresi itu. Beruntung Presiden Soekarno masih sempat memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang saat itu tengah berada di Sumatera untuk membuat pemerintahan darurat.
Konon, mandat itu tidak pernah diterima oleh Syafruddin. Namun ia bersama pejuang di Sumatera Tengah saat itu berinisiatif untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kebetulan, hal itu sejalan dengan keinginan Presiden Soekarno.
Pada 22 Desember 1948, PDRI dengan Ketua Syafruddin Prawiranegara berhasil didirikan di Bukittinggi dan diumumkan melalui siaran radio milik AURI. Sejak itu rombongan Syafruddin Prawiranegara menjadi pihak yang paling dicari Belanda untuk memastikan Indonesia tidak lagi ada. Hal itu memaksa Syafruddin bersama para pejuang untuk selalu berpindah-pindah tempat secara rahasia.
Menurut Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Padang, Wanofri Samri, rombongan Syafruddin Prawiranegara tiba di Sungai Dareh malam menjelang tahun baru 1 Januari 1949 setelah bergerilya mulai dari Bukitinggi ke Halaban, kemudian ke Bangkinang dan ke Taratak Buluh, Lipat Kain terus ke Kiliran Jao dan kemudian sampai ke Sungai Dareh.
Ikut bersama rombongan Tengku Moh Hasan yang saat itu didapuk menjadi Wakil Ketua PDRI. Ikut juga Mr Lukman Hakim yang dalam kabinet PDRI dipercaya menjabat Menteri Keuangan sekaligus Menteri Kehakiman PDRI.
Rombongan sempat berhenti selama empat hari di Sungai Dareh. Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan menyebut selama empat hari itu para tokoh PDRI tinggal di Pesangrahan yang saat ini masih berdiri kokoh dan dimanfaatkan sebagai salah satu Kantor Dinas Sosial Dharmasraya.
Para pejuang dari AURI di bawah pimpinan Tamimi juga sempat mengudara menyampaikan ucapan selamat tahun baru. Siaran yang konon membuat Belanda murka. Tokoh pejuang juga sempat mengumpulkan masyarakat untuk mengumumkan bahwa Indonesia masih ada dengan adanya PDRI.
Namun sayang, jejak rombongan Syafruddin Prawiranegara tercium Belanda hingga pada 3 Januari 1949 harus kembali berpindah tempat. Bidar Alam, Solok Selatan, dinilai menjadi tempat yang paling memungkinkan untuk melanjutkan perjuangan.
Perjalanan ke Bidar Alam dilanjutkan dengan membagi tiga rombongan. Syafruddin memimpin pelarian lewat aliran Sungai Batanghari yang hingga saat ini masih setia mengalirkan airnya.
Tengku Moh. Hasan memilih lewat jalur darat. Ia khawatir terjadi kecelakaan di sungai hingga satu-satunya radio yang mereka miliki rusak atau hilang. Sementara Lukman Hakim disebut memutar jalan lewat Muaro Bungo. Tiga rombongan itu sama-sama berhasil sampai di Bidar Alam.
Cerita mistis pelarian PDRI
Pelarian rombongan PDRI melalui rimba belantara yang menyimpan banyak bahaya itu tidak lepas dari cerita mistis yang masih terekam dalam ingatan masyarakat.
Salah seorang tokoh masyarakat Sungai Dareh, Yulius menceritakan rombongan Syafruddin yang lewat Sungai Batanghari harus berhenti beberapa kali di pondok milik masyarakat di pinggir sungai. Dalam beberapa kali singgah itu rombongan selalu melihat ada harimau yang berada di sekitar rombongan. Selain harimau rombongan juga melihat gajah. Penampakan itu membuat rombongan cemas, namun hingga sampai ke Bidar Alam harimau dan gajah itu tidak pernah mengganggu. Seakan-akan, harimau dan gajah itu hanya mengawal rombongan.
Rombongan Tengku Moh. Hasan juga mengalami kisah mistis. Malah lebih mengerikan. Mereka juga melihat harimau sepanjang jalan. Harimau itu hanya berjarak 20 meter dari rombongan. Saat mereka berjalan, harimau itu ikut berjalan. Saat mereka berhenti, harimau itu juga berhenti.
Cerita yang kemudian tertinggal dalam ingatan masyarakat setempat, harimau itu ternyata memang sengaja diutus oleh orang Sungai Dareh untuk melindungi rombongan hingga ke Bidar Alam. Hal itu bukan hal aneh menurut tokoh masyarakat Sungai Dareh, Yulius karena memang ada Anak Nagari Sungai Dareh yang memiliki kepandaian Silek Pangian Ranah Rantau Batanghari yang bisa berkomunikasi dengan harimau. Silek itu hingga saat ini masih berkembang di aliran Sungai Batanghari.
Peninggalan yang masih tersisa
Saat ini jejak sejarah perjuangan PDRI di Sungai Dareh itu masih bisa ditemukan. Jejak pertama adalah pasangrahan yang saat ini masih berdiri kokoh hanya beberapa meter dari Kantor Camat Pulau Punjung.
Bangunan bercat merah dengan atap genteng itu digunakan sebagai Sekretariat Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) di bawah Dinas Sosial Dharmasraya.
Tidak jauh dari pasangrahan itu, berdiri tugu peringatan PDRI yang juga masih berdiri kokoh, gagah mencuat ke langit.
Dua peninggalan itu menjadi bukti bahwa Sungai Dareh pernah menorehkan sejarah dalam perjuangan bangsa dalam peristiwa PDRI.(Ant)