Nusantaratv.com - Masyarakat diminta lebih kritis dan waspada saat menyalurkan donasinya ke lembaga filantropi. Sebab selain belakangan terakhir mencuat adanya dugaan penyimpangan, donasi tersebut berpotensi disalurkan dan digunakan oleh kelompok teroris. Hal ini yang juga telah diungkap oleh kepolisian.
"Dengan zaman perkembangan internet ke sini dia (kelompok teroris) berkamuflase membuat yayasan anak yatim untuk melakukan pengumpulan dana, dari medsos segala macam," ujar Kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Sapto Priyanto dalam diskusi yang pihaknya gelar, Kamis (8/9/2022).
Diskusi publik secara daring dan luring ini, bertajuk "Diskusi Edukasi Pencegahan Pendanaan Terorisme Melalui Lembaga Filantropi Keagamaan di Indonesia".
"Mereka tahu bahwa orang Indonesia itu dermawan, sehingga mereka mudah membuat donasi-donasi," imbuh Sapto.
Sapto memperkirakan, perubahan metode pencarian dana melalui lembaga filantropi atau donasi masyarakat ini salah satunya diterapkan oleh kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI). Terutama semasa JI dipimpin Para Wijayanto, yang ditangkap polisi pada 2019 lalu.
"Dulunya pengumpulan dananya (JI) secara tradisional, hanya internal anggota dan jaringannya ketika Para Wijayanto itu sudah profesional," tuturnya.
"Jadi pembinaan Para ini sangat merubah JI, yang dulunya jadi pemimpin itu ustaz atau senior-senior, ketika Para tidak. Para sudah menerapkan sistem right man in the right place seperti di profesional. Inilah yang akhirnya membuat orang-orang yang dipimpin Para berkembang, terkait pendanaan," sambung Sapto.
Semasa Para, kata dia anggota JI dibebaskan berimprovisasi dan berinovasi, termasuk dalam untuk mencari dana. Hal ini, kata Sapto membuat Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf, yayasan amal yang disebut polisi sebagai pendana JI dan telah diungkap, bisa hadir.
"Pendanaan ini sangat penting. Karena yang namanya organisasi, termasuk organisasi teroris pun butuh pendanaan. Suka tidak suka kalau mereka tidak punya pendanaan kan akan ada hambatan ketika mereka melakukan aksi teror," jelas Sapto.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sendiri mengaku cukup kesulitan mengakses seluruh transaksi keuangan yang ada pada lembaga filantropi, khususnya sebelum terjadi masalah. Berbagai alasan dikemukakan pihak lembaga tersebut.
"Terus terang tantangan terbesarnya adalah dari lembaga filantropinya sendiri. Beberapa masih menganggap ini sosial, charity, untuk kepentingan nonprofit, dijunjung tinggi oleh undang-undang ya, hak asasi, berserikat, berkumpul," ujar Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fithriadi Muslim, di kesempatan sama.
"Jadi kalau ada permintaan-permintaan itu dianggap sebagai intervensi. Ketika pas jadi kasus baru menyadari," imbuhnya.
Atas itu, pihaknya akan bekerja sama dengan seluruh pihak termasuk Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri, guna melakukan pencegahan berupa sosialisasi dan edukasi. Sehingga ke depan masyarakat diharapkan tak terkecoh oleh lembaga filantropi yang menjadi sumber pendanaan kelompok teroris.
Sementara, Founder Cerdas Berdonasi Prihandoko meminta masyarakat lebih peka terhadap donasi yang mereka berikan kepada lembaga filantropi. Masyarakat diminta mengetahui lebih jauh profil lembaga, tak malu atau ragu untuk bertanya mengenai izin hingga kemana nantinya sumbangan disalurkan. Sebab hak bertanya ini telah diatur secara internasional.
"Ini untuk entah itu mencegah penyalahgunaan atau penyelewengan secara umum, atau untuk kepentingan kelompok terorisme," ujar Prihandoko.
Seiring dengan itu, lembaga donasi diharapkan memenuhi prinsip tertib, transparan dan akuntabel. Pemerintah atau regulator, juga diharapkan melakukan perbaikan terhadap aturan hukum yang ada, sehingga pengumpulan donasi menjadi lebih baik ke depannya.
"(Lembaga filantropi) Jangan risih ketika ditanya ini itu. Kalau transparan, mestinya nggak jadi masalah dong, laporan keuangan, laporan pengumpulan sumbangan itu bentuk pertanggungjawaban mereka terhadap publik," kata Prihandoko.