Nusantaratv.com - Jumat, 24 Februari 2023, tepat setahun berkecamuk perang Rusia-Ukraina. Sepanjang 365 hari sejak Kremlin menginvasi negara jirannya itu pada 24 Februari 2022, telah banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Menurut The Wall Street Journal (2023) mengutip estimasi para pejabat Amerika Serikat, sudah lebih dari 200 ribu serdadu Rusia gugur dan terluka di medan laga Ukraina.
Jumlah korban tewas dan luka-luka di pihak militer Rusia itu diperkirakan terus meningkat seiring dengan peningkatan operasi ofensif mereka di timur Ukraina dalam upaya meraih momentum dalam perang ini (WSJ, 2023).
Bagaimana dengan Ukraina? Otoritas negara itu tidak mengeluarkan angka resmi namun kalangan Barat memperkirakan jumlah tentara Ukraina yang gugur dan luka-luka di medan pertempuran mencapai sekitar 100 ribu orang.
Perang besar yang pecah di Benua Eropa di saat dunia masih terseok-seok dalam upayanya bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat dampak perubahan iklim dan pandemi COVID-19 telah membawa nestapa bagi rakyat Ukraina.
Kotak Pandora
Namun di balik duka nestapa rakyat Ukraina itu, perang ini bak membuka kotak pandora ketidakadilan sistem global. Betapa tidak, konflik bersenjata ini telah membuka beragam persoalan global menyangkut ketidakadilan akut dalam tatanan dunia yang diatur, didikte, dan didominasi AS dan sekutunya.
Konflik bersenjata yang bermula dari keputusan Presiden Vladimir Putin menggelar apa yang disebutnya "operasi militer khusus" pada 24 Februari 2022 itu pun menguak standar ganda dan hipokrisi AS dan Uni Eropa.
Dari perang terbuka Rusia melawan Ukraina yang didukung AS dan Uni Eropa ini, publik dunia juga semakin bisa melihat bahaya dominasi dolar AS sebagai mata uang dunia; isolasi dan sanksi ekonomi, keuangan, energi, dan perdagangan AS dan sekutunya terhadap Rusia tanpa peduli dengan dampak serius yang ditimbulkannya terhadap perekonomian banyak negara yang tak kebal akan dampak perubahan iklim dan pandemi COVID-19; diskriminasi dan bias supremasi kulit putih dalam penanganan pengungsi korban perang; serta kerentanan ketahanan energi dan pangan banyak negara yang selama ini cenderung mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan energi dan pangan dalam negerinya.
Tidak hanya itu. Perang yang pecah di negara terbesar kedua di Benua Eropa setelah Rusia ini juga menunjukkan keengganan AS dan sekutu Eropa Baratnya untuk secara langsung bertempur melawan Rusia -- negara pemilik senjata nuklir dan salah satu dari lima pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Bak permainan catur, AS, UE, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berupaya menyelamatkan muka mereka di mata rakyat Ukraina dan komunitas internasional dengan membantu Ukraina yang babak belur dan terseok-seok menghadapi kekuatan militer Rusia itu melalui sanksi ekonomi, bantuan persenjataan dan keuangan, penanganan pengungsi, pemboikotan dan isolasi terhadap kanal media berpengaruh Rusia dan keikutsertaan skuad negara itu di Piala Dunia FIFA 2022, serta kampanye narasi bahwa Putin adalah "penjahat perang" – narasi yang sudah barang tentu ditolak tegas Rusia.
Menanggapi narasi penjahat perang yang pertama kali disuarakan Presiden Joe Biden pada 16 Maret 2022 itu, Moskow membalasnya dengan menyindir Gedung Putih yang tangannya berlumuran darah ratusan ribu jiwa warga sipil yang tewas oleh bom-bom AS di berbagai belahan dunia.
Kementerian Luar Negeri Rusia pun memanggil Duta Besar AS di Moskow John Sullivan untuk menyerahkan nota protes seraya mengingatkan konsekuensi dari tuduhan Biden itu terhadap masa depan hubungan kedua negara.
Hipokrisi Amerika: Impor dan Azov
Di balik berbagai aksi dan manuver Gedung Putih ini, ternyata AS diam-diam tetap mengimpor minyak mentah dari Rusia. Bahkan, menurut laporan Energy Information Administration (EIA) AS yang dikutip RT, volume impor minyak AS dari Rusia itu meningkat 43 persen pada 19-25 Maret 2022 dengan pasokan per hari mencapai 100 ribu barel (CNBC Indonesia, 2022).
Hipokrisi lain Amerika yang ikut terkuak dari perang yang disulut operasi militer khusus Rusia ini adalah adanya indikasi kuat dukungan Pemerintah AS melalui badan inteligen CIA kepada Detasemen Operasi Khusus Azov di Ukraina selama bertahun-tahun.
Laporan investigatif Global Times tentang keberadaan batalion yang dibentuk tahun 2014 ini, misalnya, mengungkap sejumlah bukti adanya indikasi kuat dukungan AS kepada paramiliter neo-Nazi yang terkenal karena kekejaman, aksi terorisme, dan kejahatan kemanusiaan mereka di Ukraina maupun provokasi separatisme mereka di sejumlah wilayah di luar Ukraina, termasuk kerusuhan Hong Kong tahun 2019.
Menurut surat kabar berpengaruh Tiongkok ini, Batalion Azov merupakan unit NGU yang didukung Kementerian Dalam Negeri Ukraina. Batalion ini diduga keras telah bekerja sama dengan politisi, perwira militer, dan intelijen AS untuk memperkuat kantong-kantong ekstremis di Eropa Timur guna melawan Rusia.
Mengutip laporan media-media AS sendiri, Global Times menyebutkan Central Intelligence Agency (CIA), misalnya, diam-diam telah melatih para personel operasi khusus elit dan intelijen Ukraina sejak 2015. Selain memberi pelatihan kemiliteran, seperti soal persenjataan, teknik kamuflase, taktik tempur dan intelijen, pada 2015 itu, sejumlah personel CIA juga telah melakukan perjalanan ke wilayah garis depan Ukraina timur untuk menemui mitra-mitra operasi mereka di sana.
Indikasi kuat dukungan Amerika melalui CIA kepada paramiliter neo-Nazi ini terlihat kontradiktif jika dibenturkan dengan rekam jejak kejahatan Azov selama ini. Mengutip laporan kantor Komisariat Tinggi Hak Azasi Manusia PBB, Global Times antara lain mencatat dugaan keterlibatan Batalion Azov dalam aksi-aksi penjarahan properti dan penggusuran warga sipil di wilayah timur Ukraina antara November 2015 dan Februari 2016.
Laporan badan PBB itu lebih lanjut menuduh para personel Batalion Azov memperkosa dan menyiksa para tahanan di wilayah Donbass selama periode itu. Kejahatan kemanusiaan Batalion Azov ini jelas melanggar hukum internasional dan Perjanjian Minsk (Global Times, 2022).
Rekam jejak kejahatan batalion paramiliter neo-Nazi yang menjadi bagian dari kekuatan militer Ukraina melawan Rusia ini tak disia-siakan Presiden Putin.
Dalam pidato kenegaraannya menjelang peringatan satu tahun operasi militer khususnya ke Ukraina itu, Presiden Putin terang-terangan menjustifikasi keputusannya tersebut dengan dalih hendak "medenazifikasi" Ukraina.
Terlepas dari salah-benar dalih Kremlin itu, Perang Rusia-Ukraina yang entah kapan berakhir ini telah membuka kotak pandora ketidakadilan sistem global dan hipokrisi Amerika.(Ant)