Nusantaratv.com - Menjelang akhir tahun 2024, sejumlah insiden penerbangan mengguncang dunia, mulai dari pesawat tergelincir hingga kecelakaan tragis yang merenggut banyak korban jiwa.
Insiden-insiden ini kembali menyoroti tantangan yang terus ada dalam menjaga keselamatan penerbangan.
Kecelakaan pesawat Azerbaijan Airlines pada Rabu, 25 Desember 2024, yang jatuh dalam perjalanan dari Azerbaijan menuju Rusia. Pesawat tersebut mengangkut 62 penumpang dan lima awak, dengan 29 penumpang dilaporkan selamat, sementara 38 lainnya tewas.
Di Kanada, pada Sabtu malam, 28 Desember 2024, pesawat Air Canada terpaksa melakukan pendaratan darurat di Bandara Internasional Halifax Stanfield akibat kerusakan pada roda pendaratan.
Pada hari yang sama, penerbangan KLM 1204, sebuah pesawat Boeing 737-800 yang sedang dalam perjalanan dari Oslo ke Amsterdam, mengalami kegagalan sistem hidrolik tak lama setelah lepas landas.
Namun, kecelakaan yang paling menghebohkan terjadi pada Minggu, 29 Desember 2024, ketika pesawat Jeju Air jatuh di Bandara Internasional Muan, Korea Selatan, yang mengakibatkan 179 orang tewas, termasuk penumpang dan awak pesawat.
Alvin Lie, pengamat penerbangan, mempertanyakan beberapa aspek teknis dalam kecelakaan tersebut, seperti tidak keluarnya roda pesawat dan konfigurasi flap sayap yang tidak sesuai saat pendaratan.
"Saya sudah melihat video kecelakaan ini berulang kali, dan semakin saya tonton, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Pesawat mendarat tanpa roda, dan flapnya tidak dalam posisi untuk mendarat. Setelah mendarat, tidak terlihat ada asap dari mesin," ungkap Alvin dalam program NTV Prime di Nusantara TV pada Senin, 31 Desember 2024.
Alvin menilai penyebab kecelakaan ini lebih kompleks dan tidak semata-mata disebabkan oleh tabrakan burung. "Sulit untuk meyakini kebakaran mesin disebabkan oleh burung. Setelah pesawat mendarat, pesawat terus melaju hingga ujung landasan, kemudian menabrak dinding beton, pecah, dan terbakar," katanya.
Pengamat penerbangan Alvin Lie saat menjadi narasumber dalam program NTV Prime di Nusantara TV, Senin, 30 Desember 2024.
Dia juga menyoroti prosedur standar dalam situasi darurat, di mana jika roda pesawat tidak keluar dan flap tidak berfungsi, pesawat seharusnya melakukan "go-around" atau membatalkan pendaratan untuk menangani masalah tersebut sebelum mendarat. "Namun, ini tidak dilakukan," tambahnya.
Terkait fenomena bird strike atau tabrakan burung, Alvin menjelaskan meskipun jarang terjadi, hal itu bukanlah kejadian yang asing.
"Ada musim migrasi burung, dan di beberapa bandara menggunakan berbagai teknologi untuk mengusir burung. Burung yang besar biasanya menabrak kaca kokpit atau mesin, tetapi jika mengenai mesin, seharusnya mesin lainnya masih bisa berfungsi," jelasnya.
Dia menambahkan, meskipun satu mesin mati, pesawat masih bisa dikendalikan dan mendarat dengan selamat.
Sementara itu, pilot senior Edward F. Limbong mengungkapkan pengalamannya mengenai burung yang menabrak kaca pesawat, meski tidak menimbulkan masalah besar.
"Ada kalanya burung menabrak kaca pesawat, tetapi pesawat tetap dapat mendarat dengan aman. Namun, jika burung masuk ke dalam mesin dalam jumlah banyak, itu bisa menyebabkan kerusakan serius pada mesin," ujarnya.
Menurut keduanya, kecelakaan pesawat Jeju Air kemungkinan disebabkan oleh serangkaian masalah teknis yang lebih kompleks, dan bukan hanya akibat tabrakan dengan burung.