Nusantaratv.com - Ganjar Pranowo-Mahfud MD menghadirkan ahli psikologi sosial, Risa Permana Deli, sebagai ahli dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kesempatan itu, Risa menyinggung soal perubahan Prabowo Subianto sebelum dan sesudah bergabung dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Risa awalnya membahas Prabowo yang dulu bersikap agresif saat menjadi capres pada Pilpres 2014 dan 2019.
"Kehadiran Prabowo dalam panggung politik dan kita semua tahu apa sejarah tersebut. Dalam dua kali pemilihan sebelumnya, Prabowo menunjukkan naluri berkuasa yang sangat agresif," ujar Risa
Menurut dia, sikap Prabowo berubah saat bergabung dengan pemerintahan Jokowi di tahun 2019. Prabowo, kata dia kehilangan sikap agresif usai bergabung dengan Jokowi.
"Naluri tersebut tiba-tiba hilang ketika beliau kalau di 2019 dan masuk ke tim pemerintahannya Presiden Jokowi. Selama 5 tahun agresivitas itu seperti dijinakkan dan apa yang kita lihat kemudian, Pak Prabowo kehilangan agresivitas kekuasaan yang kita kenal sebelumnya," jelas dia.
Risa menilai, Prabowo mencoba seperti Jokowi. Salah satu hal itu terlihat ketika dirinya ikut blusukan hingga berjoget saat kampanye.
"Tiba-tiba sejarah berevolusi, dan kemudian yang kalem ini diikuti juga dengan proses pemilu yang kita lihat Pak Prabowo berjoget-berjoget, bahkan ketika beliau diserang dalam debat presiden pun, beliau tidak merespons secara agresif," tuturnya.
"Sehingga masyarakat mengasosiasikan, bukan hanya dengan Pak Jokowi dan dengan bansos, tetapi juga dengan sesuatu yang nyaman, yang tidak akan mengganggu sebagaimana di periode Pemilu sebelumnya," sambungnya.
Menurut dia, sikap Prabowo yang terlihat tenang dan senang berjoget itu menggambarkan masyarakat tak perlu pemimpin yang cerdas dalam berpolitik. Dia juga mengungkit ucapan Prabowo kepada Anies di debat Pilpres 2024.
"Justru karena beliau menang dalam keadaan seperti ini dan cukup dengan berjoget dan mengatakan 'Mas Anies Mas Anies', kita melihat bahwa sebenarnya rakyat yang cerdas itu, kecerdasannya bukan diisi pengetahuan politik tapi pengetahuan cultural bahwa pemimpin nggak perlu pemimpin yang pintar. Pokoknya yang cool kira-kira," tandasnya.