Juni, Soekarno dan Proyek 'Gila' Gelora Bung Karno

Nusantaratv.com - 02 Juni 2024

Ir. Soekarno (Bung Karno). (Foto: Instagram @thebigbung)
Ir. Soekarno (Bung Karno). (Foto: Instagram @thebigbung)

Penulis: Adiantoro

Nusantaratv.com - "...Jas Merah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah...". Demikian ucapan Putra Sang Fajar.

Bung Karno. Begitu sapaan akrab Soekarno. Dia dilahirkan di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur (Jatim), 6 Juni 1901. Perjuangan dan jasa pahlawan nasional yang merupakan presiden pertama Republik Indonesia tidak terhitung jumlah.

Kehebatan anak pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo (1873-1945) dan Ida Ayu Nyoman Rai (1881-1958) itu tidak hanya terkenal di dalam negeri namun sampai internasional. Sosok Soekarno memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat Indonesia dan memberikan banyak teladan bagi bangsa. 

Hampir seluruh tenaga, pemikiran, bahkan jiwa dipertaruhkan Soekarno untuk bangsa ini. Mulai dari melawan penjajahan hingga membangun bangsa Indonesia menjadi seperti saat ini. Bung Karno menjadi tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang akan terus terkenang jasa-jasanya.

Bicara Bung Karno, tidak bisa dipisahkan dari olahraga. Dia mengusung "Games of the New Emerging Forces (Ganefo)". Dia meyakini olahraga tak bisa dipisahkan dari politik. Di tangan Bung Besar, olahraga menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat yang melambungkan bangsa.

Diboikot Komite Olimpiade Internasional (KOI) di pesta olahraga multievent dunia, Olimpiade, tak membuat Bung Karno gentar. Apalagi kelimpungan dan menjadi tak percaya diri. Ganefo akhirnya digelar di Jakarta pada 10-22 Nopember 1963 sebagai tandingan.

Tak diundangnya Indonesia pada Olimpiade Tokyo 1964 adalah sanksi yang harus diterima menyusul tidak diundangnya Israel dan Taiwan saat menggelar Asian Games 1962 di Jakarta. Pesta olahraga multievent antar-bangsa Asia tersebut digelar pada 24 Agustus hingga 4 September 1962.

Mengusung semboyan "Onward! No Retreat (Maju Terus! Pantang Mundur)" dengan melibatkan 2.200 atlet dari 51 negara kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa (Timur), Ganefo layak disebut Olimpiade tandingan. Dunia pun terperangah. Sama terperangahnya dunia saat Indonesia menggelar Asian Games IV 1962.

"Ini adalah awal bangsa kita menjadi bintang pedoman bangsa-bangsa di dunia. Semua olahraga dari negara-negara di dunia ini, berlomba di sini. Kita tunjukkan pada dunia, Indonesia bangsa yang besar, yang mampu maju ke muka memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya," kata Bung Karno di depan maket Komplek Gelora Bung Karno, sebelum kedua pesta olahraga multievent itu tergelar.

Terkait dunia baru impiannya, pada 1961, Bung Karno meluncurkan gagasan dalam memandang dunia, yakni Nefo dan Oldefo. Nefo (The new emerging forces) mewakili kekuatan kelompok negara yang ingin bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme. 

Negara-negara kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin ini berusaha membangun tatanan dunia baru yang bebas dari exploitation de l'homme par l'homme. Sebaliknya, Oldefo (The old esthablished forces) merujuk kepada negeri-negeri imperialis.

Ir. Soekarno (Bung Karno). (Foto: Instagram @thebigbung)

Setelah era perjuangan fisik meraih kemerdekaan usai, Bung Karno menegaskan perlunya revolusi mental untuk membangun bangsa dan karakternya (nation and character building). Olahraga, selain menjadi alat pembentuk jasmani, diyakini Bung Karno juga sangat efektif sebagai alat pembangun mental bangsa.

Terbukti, Bung Karno benar-benar melambungkan Indonesia ke atap dunia melalui kedua pesta olahraga tersebut. Dunia terbelalak. Ada negara besar bernama Indonesia. Prestasi olahraga Indonesia menyentak dunia. Tak perlu strategi rancang merancang cabang olahraga aneh-aneh seperti saat ini, atlet Indonesia kala itu benar-benar berprestasi spektakuler pada cabang-cabang prestisius.

Muhammad Sarengat tampil sebagai manusia tercepat Asia pada Asian Games 1962. Kwartet pembalap sepeda, Hendrik Brocks, Aming Priatna, Wahju Wahdini, dan Hasjim Roesli, merebut emas nomor 100 kilometer Team Time Trial. Keempat pembalap ini ditambah Frans Tupang dan Henry Hargini, juga menjadi yang terbaik di nomor 180 km Open Road Race.

Hendrik, belakangan dikenal sebagai Hendra Gunawan, mengulang prestasi emas saat berlaga di Ganefo di nomor 180 km Open Road Race Individu. Hendrik, menjadi atlet pertama Indonesia yang sukses merebut tiga medali emas di Asian Games. Prestasi yang sangat membanggakan kala itu.

Tim bulutangkis juga mencatatkan diri sebagai yang pertama merebut emas di pentas Asian Games. Nomor beregu putri yang diperkuat Minarni, Retno Kustijah, Corry Kawilarang, Happy Herowaty, dan Goei Kiok Nio menyumbang emas. Begitu juga beregu putra yang diperkuat Ferry Sonneville dan Tan Joe Hok.

Minarni mengulang emas di nomor tunggal putri dan ganda putri berpasangan dengan Retno Kustijah. Tan Joe Hok melengkapinya di nomor tunggal putra. Supremasi bulu tangkis Indonesia ditunjukkan dengan raihan lima emas.

Peloncat indah Lany Gumulya tampil mengejutkan dengan menyisihkan favorit juara, Sakuko Kadakura dan Sakoko Tomoe, dari Jepang. Total, Indonesia mengemas 21 medali emas, 26 perak, dan 30 perunggu dan berada di peringkat kedua di belakang Jepang dengan 73 emas, 65 perak, dan 23 perunggu.

Di pentas Ganefo, Indonesia sukses menempati urutan ketiga dengan 17 medali emas, 24 perak, dan 71 perunggu. Soviet menjadi pemuncak klasemen dengan 65 emas, 56 perak, dan 47 perunggu, diikuti Republik Rakyat Tiongkok di urutan kedua dengan 39 emas, 20 perak, dan delapan perunggu.

"Buat apa toh sebetulnya kita ikut-ikutan Asian Games? Kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan," tegas Bung Karno tentang ambisinya menggelar pesta olahraga multievent antar bangsa tersebut.

Proyek mercusuar yang terbukti sukses. Indonesia makin diperhitungkan dunia. Belakangan, beberapa pemimpin dunia pun mengadopsi gagasan besar Bung Karno. Nelson Mandela sukses mempersatukan bangsa melalui gawe besar olahraga, Piala Dunia rugby dan sepak bola.

Mahathir Muhamad dikenal sebagai Bung Karno Kecil melalui proyek olahraga. Kejuaraan balap sepeda nomor tiga dunia, Le Tour de Langkawi, serta Balap F1 dan MotoGP di Sirkuit Sepang, membuat Malaysia makin dikenal dunia.

Ir. Soekarno (Bung Karno). (Foto: Instagram @thebigbung)

Negara-negara berlomba, bahkan saling mengalahkan, untuk bisa terpilih menjadi tuan rumah pesta olahraga single event atau multievent bergengsi seperti Olimpiade dan Piala Dunia. Mereka sadar, lewat olahraga harga diri dan kebesaran bangsa terlambungkan.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Olahraga tak lagi dianggap penting. Indonesia makin terseok-seok di berbagai event olahraga. Para pemimpin bangsa ini lebih sibuk memikirkan yang lain.

Jika saja Bung Karno masih ada, barangkali Indonesia sudah beberapa kali menjadi tuan rumah Asian Games, Olimpiade, bahkan Piala Dunia. Ingat, Ramang cs pernah mengejutkan dunia saat tampil di Olimpiade Melbourne 1956.

Ironis, saat negara pengekor gagasan Bung Karno berderap, Indonesia justru jalan di tempat, kalau tak bisa dikatakan mundur ke belakang.

Bicara Soekarno juga mengingatkan akan kehadiran Kompleks Gelora Bung Karno (GBK). Pembangunan kompleks GBK dinilai proyek "gila". 

Di tangan Bung Karno, yang "gila" itu menjadi nyata. Sayang, de-Soekarnoisasi era Orde Baru (Orba) tak hanya membungkam, namun memporandakan mimpi besar Bung Karno untuk Indonesia.

Begitu tim bidding Indonesia untuk Asian Games IV/1962 memastikan Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga multievent antar-bangsa Asia, mengalahkan Pakistan sebagai pesaing, Bung Karno langsung beraksi. Dia perintahkan arsitek-arsitek Uni Soviet mewujudkan gagasan besarnya tentang kompleks olahraga yang dahsyat, yang lain dari yang lain.

"Saya memerintahkan kepada arsitek-arsitek Uni Soviet, bikinkan atap temu gelang daripada main stadium yang tidak ada di lain tempat di seluruh dunia. Bikin seperti itu," begitu perintah Bung Karno kala itu.

Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta. (Foto: panasonic.net)

Atap temu gelang dianggap tak lazim, tidak galib, pada saat itu. Tapi, bukan Bung Karno jika tak bisa meyakinkan segala yang "gila" itu mungkin adanya.

"Kok ada stadion atapnya temu gelang, di mana-mana atapnya ya sebagian saja. Tidak, saya katakan sekali lagi, tidak. Atap stadion kita harus temu gelang. Tidak lain dan tidak bukan oleh karena saya ingin Indonesia kita ini bisa tampil secara luar biasa," begitu sang Proklamator ngotot.

Benar saja, dalam kurun waktu empat tahun (1958-1962), proyek "gila" itu menjadi nyata. Lachita, wartawan harian Philipina Herald, menurunkan tulisan berjudul: "Penilaian Para Ahli: Kompleks Asian Games di Jakarta Salah Satu yang Terbaik di Dunia". 

Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) bahkan disebut lebih baik dibanding stadion di Melbourne (Australia), Tokyo (Jepang), Roma (Italia), Berlin (Jerman), dan Wembley (Inggris). Bahkan belakangan, tim arsitek Moskow sengaja turun, meninjau stadion fenomenal peninggalan Bung Besar itu.

Mereka sengaja mempelajari SUGBK untuk meningkatkan karakteristik Stadion Luzhniki di Moskow, yang disebut-sebut sebagai kembaran SUGBK. Bung Karno tak hanya sukses membangun SUGBK dengan kapasitas 100.000 penonton (kemudian diciutkan menjadi 80.000 pada 2007) dengan atap temu gelangnya.

Bung Karno juga berhasil menyulap komples GBK dengan membangun Istana Olahraga (Istora), Stadion Renang, Stadion Madya, Stadion Tenis dan Gedung Basket. Digenjot habis-habisan siang dan malam, pembangunan kompleks GBK melibatkan 14 insinyur Indonesia dan 12.000 pekerja sipil dan militer bergantian dalam tiga shift.

Pembangunan proyek mercusuar yang menjadi mimpi Bung Karno untuk kebanggaan Indonesia itu terealisasikan. Dunia dibikin terkesima.

"Ini bangsa 'gila', bisa menyiapkan seluruh soal dalam hitungan bulan, dengan membangun stadion raksasa sekaligus pemindahan penduduk tanpa ribut-ribut. Kepemimpinannya luar biasa," decak kagum utusan Jepang yang meninjau persiapan Asian Games 1962.

Untuk menyiapkan sarana penunjang bagi proyek besar Bung Karno, setidaknya 8.652 rumah penduduk tergusur. Sebanyak 46.829 penduduk harus direlokasi ke wilayah Tebet, Pejompongan, Slipi, Cikokol, dan Ciledug.

Hebatnya, semua dilakukan dalam sebuah kerjasama dan saling pengertian yang sangat indah. Luar biasa, dahsyat dan jauh melampaui zamannya, itulah gagasan Bung Karno tentang Indonesia yang besar dan berbudaya. 

Presiden RI pertama ini juga melengkapi gagasannya tentang kompleks GBK dengan pusat-pusat kebudayaan yang akan menjadikan Jakarta sebagai kota dunia. Bung Karno sengaja mengundang pematung Sunarso, Bandrio, Jenderal Suprayogi, dan Sutami untuk merealisasikan ide besar penuh kepribadian dan peradaban tinggi untuk Indonesia yang besar.

"Sunarso, dari arah lurus ini coba kamu buat Patung Selamat Datang. Patung ini akan jadi gerbang bangsa kita, awal dari mula sejarah berpikir kita. Djakarta akan jadi kota dunia, ini impianku." 

"Stadion Senayan ini akan dilingkari pusat-pusat kebudayaan. Kita akan melahirkan bukan saja atlet-atlet handal tapi pelukis-pelukis jempolan, penari-penari kelas dunia, dan penyanyi-penyanyi yang lagunya bisa membangkitkan suara surga dari tanah Nusantara." 

"Cobalah Sunarso, aku ingin lihat karyamu. Patung-patungmu akan memberi jiwa bagi bangkitnya bangsa kita ke muka dunia Internasional. Monumenmu yang kau bangun adalah kehormatan," ujar Bung Karno sangat inspiratif di depan maket Kompleks GBK.

Gagasan Bung Karno untuk melengkapi Kompleks GBK lainnya adalah Jembatan Semanggi yang elok. Semanggi ini perlambang bunga yang imbang, dari susunan daun dan batangnya. Ini seperti bangsa kita yang menyukai keindahan.

"Tahukah kamu, Bandrio, Jenderal Suprayogi, Sutami, keindahan itu adalah keseimbangan," lanjut pria penuh kharisma dengan mata berbinar, menerawang jauh melampaui zaman.

Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta. (Foto: setneg.go.id)

Sayang, perubahan arus politik yang kejam tak hanya menggilas Bung Karno, namun juga mimpinya yang indah tentang Indonesia yang besar dan penuh keseimbangan. Bukan sekadar nama Kompleks GBK yang berganti menjadi Gelora Senayan untuk menghilangkan jejak besar Bung Karno.

Yang utama, mimpi besar Bung Karno tentang Indonesia yang besar dan berbudaya ikut terabaikan. Kendati setelah era reformasi 1998 nama Kompleks GBK dikembalikan pada nama semula melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2001, mimpi indah itu telanjur porak poranda.

Dengan kecerdikannya yang luar biasa, Bung Karno membangun Kompeks GBK dengan dana pampasan perang Jepang. Hasilnya pun murni diperuntukkan bagi proyek mercusuar yang menjadi impiannya tanpa bau manipulasi. 

Sengaja dia memboyong kabinetnya ke Tokyo selama 18 hari untuk melobi para pejabat Jepang, dan gol. Momentum Asian Games 1962 yang diikuti Ganefo, hanya berselang tiga bulan kemudian, adalah peristiwa olahraga dengan dimensi politik yang tinggi. 

Semangat Bung Karno tak hanya melambungkan Indonesia ke pentas dunia, namun juga menggalang persatuan bangsa-bangsa dunia lewat olahraga. Sayang, semuanya porak poranda seiring de-Soekarnoisasi. Tak sekadar hilangnya jejak kasat mata akan kebesaran Bung Karno, semangat dan mimpi indahnya tentang Indonesia yang gilang gemilang penuh sportivitas lambat laun tergerus.

Jangan heran jika kemudian Indonesia tumbuh sebagai negara tidak percaya diri di pentas dunia. Demam budaya tandingan dalam menyelesaikan berbagai soal adalah bukti makin jauhnya semangat sportivitas, warisan semangat olahraga yang diagungkan Bung Besar.

Seperti dikatakan Bung Karno, politik dan olahraga tidak bisa dipisahkan. Politik dan olahraga, harusnya bisa saling mengisi. Dan Bung Besar pernah merealisasikannya di negeri ini. 

Ya, betapa rindunya kami pada kebesaran yang kau suluhkan, Bung. Betapa rindunya kami padamu Bung Karno.

 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

(['model' => $post])

x|close