Ini Kerumitan yang Dihadapi Pengusaha Kelapa Sawit

Nusantaratv.com - 18 Juli 2022

Petani sawit
Petani sawit

Penulis: Arfa Gandhi

Nusantaratv.com - Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan pihaknya baru saja menerbitkan Peraturan No. 115 Tahun 2022 yang mengatur perubahan tarif pungutan ekspor terhadap seluruh produk kelapa sawit dan turunanya.

Tak hanya itu saja, Sri Mulyani juga mengatakan pemerintah juga akan menggeratiskan pungutan ekspor hingga akhir agustus 2022.

“Sampai 31 Agustus 2022, tarif pungutan ekspor produk sawit dan turunanya seperti tadan buah segar, biji sawit, crude palm oil (CPO), used cooking oil dan sebagainya ditetapkan nol rupiah,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Sabtu (16/7).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, penghapusan sementara tarif pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunanya belum mampu menolong kerumitan sawit di Indonesia.

“Dengan menjadikan pungutan ekspor 0 pada PMK terbaru, tidak akan banyak menolong kerumitan situasi persawitan kita. Per 15 Juli stok sawit Indonesia di tangki tangki sudah mencapai ubun ubun, sementara pergerakan ekspor dengan konsep DMO masih banyak kendala,” kata Sahat dikutip dari Kontan, Minggu (17/7).

Sahat juga menjelaskan bahwa proses ekspor berjalan sangat lambat, mulai dari perhitungan untuk besaran volume ekspor, berikutnya mendapatkan perjanjian ekspor (PE), barulah ekportir dapat mencari kontainer dan kapal.


“Jadi kalaupun pungutan ekspor 0, la mau dikemanakan minyak yang akan diolah dari Tadan Buah Segar (TBS) Sawit itu, dan mau ditampung dimana?,” jelasnya.

Sementara itu, berdasarkan laporan stastistik sawit Indonesia yang dikeluarkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), posisi stok CPO nasional per awal juli 2022 sudah mencapai 7,1 juta ton.

“Angka ini mencapai ambang batas yang tidak bisa bergerak (Overstock), mencapai 7,1 juta ton, ini harus segera dikeluarkan,” tegas Sahat.

Sahat juga menyarankan beberapa langkah yang perlu menjadi evaluasi bersama pemerintah. Pertama, peningkatan alur minyak sawit di pasar dalam negeri.

Meski hal ini sudah mulai dilakukan dengan adanya program biodiesel 35 (B-35) yang akan mulai berlaku Agustus 2022 namun peningkatan ini masih perlu ditingkatkan.

Kedua, peninkatan alur ekspor setinggi mungkin agar stock 7,1 juta ton dapat segera dialirkan dengan pola re;aksasi kebijakan.

“Regulasi ekspor mulai Agustus s.d Oktober 2022 di bebaskan dulu , dan hindari pakai pola Domestic Market Obligation (DMO) – Domestic Price Obligation (DPO),” tambah Sahat.


Ketiga, penghapusan pungutan ekspor perlu dilanjut hingga oktober 2022, dan sebaiknya Bea Keluar (BK) yang berlaku sekarang juga mendapat potongan 25 % untuk menaikan harga TBS sawit sesegra mungkin.

“Kami dari GIMNI pola “crash-program" inilah yang baiknya dijalankan,” pungkas Sahat.

Selanjutnya, menurunkan harga eceran minyak curah di level Rp. 12.000 per liter dibawah HET. Diungkapnya bahwa harga CPO dipasar lokal saat ini sudah turun, namun pedagnag eceran migor curah masih mencoba mencari keuntungan yang besar. Oleh karenanya kata Sahat, hal ini perlu pengawasan yang ketat di lapangan.

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close