Nusantaratv.com - Inggris butuh waktu beberapa tahun untuk mengisi kembali stok persenjataan miliknya.
Hal itu dikatakan Kepala Staf Pertahanan Laksamana Tony Radakin, seperti dilaporkan RT, Rabu (23/6/2022). "Butuh waktu bertahun-tahun bagi Inggris untuk mengganti senjata yang telah disalurkan ke Ukraina di tengah konflik yang sedang berlangsung dengan Rusia," kata Radakin saat berbicara di depan komite parlemen.
Mengganti senjata yang bahkan lebih kurang canggih yang dikirim ke Ukraina bisa memakan waktu 'beberapa tahun' karena kendala pada kapasitas industri Inggris. "Tingkat pengeluaran senjata oleh militer Ukraina dan kemampuan Inggris untuk mengisi ulang telah menjadi masalah yang signifikan," lanjutnya.
Sejak invasi Rusia beberapa bulan lalu, Inggris telah menjadi salah satu pemasok perang utama otoritas Ukraina, menyalurkan sejumlah besar berbagai senjata ke negara itu sebelum dan selama konflik yang sedang berlangsung dengan Negara Beruang Merah yang pecah pada akhir Februari 2022.
Selain senjata anti-tank NLAW, London juga telah memasok Kiev dengan sistem anti-pesawat dan anti-kapal, serta berbagai kendaraan lapis baja. Radakin mencatat pemerintah Inggris tetap berhubungan erat dengan perusahaan pertahanan, dan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson akan segera bertemu dengan perwakilan dari 12 perusahaan pertahanan terkemuka di Downing Street.
Dia mencatat pihak berwenang Inggris berencana menginvestasikan lebih banyak uang dalam pengembangan senjata baru dan kendaraan tempur.
Rusia menyerang negara tetangganya menyusul kegagalan Ukraina untuk menerapkan persyaratan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang ditengahi oleh Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina. Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS).
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim jika pihaknya berencana merebut kembali kedua republik secara paksa.