Harga TBS Sawit Semakin Anjlok, Petani Sawit di Kalbar Rugi Besar dan Menderita

Nusantaratv.com - 01 Juli 2022

Petani kelapa sawit/ist
Petani kelapa sawit/ist

Penulis: Ramses Manurung

Nusantaratv.com - Pencabutan larangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 23 Mei lalu tidak serta merta bisa menyelamatkan anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sawitKarena faktanya, hingga kini harga jual TBS sawit di sejumlah daerah di Indonesia semakin anjlok.

Petani sawit menjadi pihak yang paling terdampak akibat terjun bebasnya harga TBS sawit. Kehidupan mereka kian terpuruk. Di Kalimantan Barat (Kalbar), harga TBS saat ini jatuh di angka Rp1.050 per kilogram dijual ke tingkat pengepul.

Mirisnya, di saat harga TBS sawit anjlok, harga pupuk malah meroket. Salah seorang petani sawit di Kabupaten Mempawah, Muhammad Abdullah mengaku situasi saat ini sangat mencekik bagi para petani yang bergerak dalam perkebunan kelapa sawit. Ini membuat dia dan sejumlah petani sawit resah karena harus menanggung kerugian besar.

"Kita selaku petani sempat terkejutlah cuma karena pertama itu pernyataan pemerintah turunnya harga pertama karena distop ekspor, nah jadi kita agak tenang karena dari awal ekspor ditutup itu pasti nanti akan dibuka kembali. Cuma kenyataannya sekarang setelah ekspor dibuka, rupanya harga bukan membaik malah makin anjlok gitu sampai hari ini saya terima Rp 1.050 per kilogram," kata Muhammad Abdullah, Jumat (1/7/2022).

Anjloknya harga TBS sawit dan meroketnya harga pupuk tak pelak membuat petani menjerit. Sebab dari sisi ekonomi, sudah sangat terasa berkurang. Apalagi, petani sangat menggantungkan hidupnya dari penghasilan kebun. Karena sehari-hari untuk menopang hidup dan biaya kebutuhan lain.

"Terkait harga anjlok itu ya otomatis kita selaku petani terkejut dan dibuat simalakama. Apalagi menyesuaikan dengan harga pupuk pun gak bisa. Untung gak dapat kalau sistemnya seperti ini," ujarnya.

Muhammad Abdullah mengaku bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Pasalnya, buah sawit yang dibiarkan dalam kurun waktu lama tidak dapat dijual. Jika disimpan menunggu harga kembali normal, maka buah tersebut akan membusuk.

"Kalau rugi tetap rugi. Kalau sawit enggak dijual bisa busuk, barang ini enggak bisa disimpan tunggu harga naik. Makanya simalakama jadinya. Dijual rugi, enggak dijual pun rugi busuk sawitnya," keluhnya.

"Masalah sawit itu kalau udah waktunya panen, harus panen gak bisa dibiarkan begitu. Istilahnya tingkat kematangannya udah sampai untuk dipanen itu kalau kita biarkan mana pengaruh sama perkembangan sawitnya malah rusak nanti," imbuhnya.

Dia mengaku, hanya bisa pasrah atas kondisi yang menimpa. Tetap menjual buah hasil kebun sawit miliknya meskipun dalam hitungan rugi. "Tetap kita jual meskipun hitungan rugi," ujarnya lirih.

Dia meminta, pemerintah dapat memberikan solusi serta memgeluarkan kebijakan secara responsif, pada situasi global saat ini. "Kalau biasanya saya sistem kerjanya ada upah orang untuk manen, sekarang harga turun kita panen sendiri, semua dikerjakan sendiri, kita harap agar pemerintah bisa nolong petani sawit ini agar harga bisa kembali normal," katanya.

Keluhan senada disampaikan petani lainnya, Angga. Dikatakan turunnya harga TBS tersebut berdampak besar bagi para petani. "Tentunya dari turunnya harga ini berdampak besar bagi kami, sebagai pekebun sawit," jelasnya.

Turunnya harga TBS, kata Angga, tak seimbang dengan harga pupuk yang kian mahal. Apalagi, saat ini harga buah sawit dari yang sebelumnya Rp2.200 per kilogram, turun drastis menjadi Rp 1.050 per kilogram. "Apalagi kenaikan harga pupuk tidak diimbangi dengan harga jual sawit. Menderita petani, jual salah, tak jual rugi," ujarnya.

Harga Pupuk Sawit Naik

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat Kalimantan Barat (Aspekpir Kalbar), Marjitan mengungkapkan harga pupuk mulai naik pada Mei 2022. Harga saat ini telah mencapai Rp1 Jutaan.

"Naiknya tiap bulan, Mei 2022 kemarin harga itu sudah Rp 1 jutaan, sebelumnya harga masih Rp 450 ribu," katanya.

Tak hanya pupuk, harga material seperti racun rumput saat ini juga mengalami kenaikan. Sebelumnya, herbisida itu dijual dengan harga rata-rata puluhan ribu. Namun saat ini harga racun rumput seperti roundup berkisar Rp 200 ribu per liter.

"Kita setiap 4 bulan sekali kita butuh pupuk dan herbisida, jelas ini sangat berat bagi petani," ungkapnya.

Menurut Marjitan, tingginya harga pupuk berbanding terbalik dengan harga tandan buah segar (TBS). "Ini harga masih kotor, belum nanti ditimbang dan akomodasi bahkan angkutan lagi," tandasnya.

Harga Tandan Buah Sawit di Kalimantan Barat Data Disbunak

Dari data dihimpun, Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunak) Kalbar, mengeluarkan informasi terkait harga TBS pada Kamis (30/6/2022) Periode II Juni 2022.

Dalam data itu Disbunak Kalbar mencatat harga tanaman umur sawit yang siap untuk dijual yakni berkisar tanaman dari umur 3 tahun harga yang ditetapkan Rp1.882,28; sawit berumur 4 tahun dengan harga Rp2.016,72; sawit 5 tahun Rp2.158,10; sawit 6 tahun Rp2.225,87; sawit berumur 7 tahun Rp 2.305,85; sawit berumur 8 tahun Rp2.380,63; hingga sawit yang berumur 25 tahun berada diangka Rp2.239, 32 per kilogram

Sedangkan untuk harga CPO berdasarkan hasil penetap Rp11.443,71/Kg dan PK Rp6.050,26/Kg. Tren penurunan harga sawit di Kalbar sebagaimana juga secara nasional pasca adanya pelarangan ekspor produk dari sawit tersebut.

Sebelum ada larangan ekspor produk sawit, harga sawit terutama TBS di Kalbar pernah tembus Rp4.000 per kilogram. Kemudian CPO tembus Rp 17 ribu/Kg dan PK Rp13.000/Kg. Harga tertinggi tersebut terjadi pada periode I Maret 2022.

Paradoks harga TBS dengan harga CPO di pasar internasional tersebut karena kebijakan kementerian pelaksana teknis, khususnya terkait penyediaan minyak goreng dan ketentuan ekspor minyak sawit yang tidak efektif.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Tanggapi Harga Sawit Anjlok

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menilai kebijakan Menteri Perdagangan terkait penyediaan minyak goreng inkonsisten dan tidak efektif. Alih-alih menyelesaikan persoalan minyak goreng, kebijakan yang dikeluarkan justru mematikan masa depan industri sawit nasional.

"Hingga hari ini, harga TBS masih anjlok. Menteri perdagangan harus bertanggung jawab," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/6/2022) lalu.

Beberapa kebijakan yang inkonsisten tersebut, kata Gulat, antara lain peraturan tentang DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor.

"Bongkar pasang kebijakan seperti ini pada akhirnya hanya membuat petani sawit sengsara," kata Gulat.

Beban lain bagi industri sawit, kata dia, adalah tingginya pajak ekspor dan pungutan ekspor (levy). Total pajak ekspor dan levy yang dibayarkan pelaku usaha sawit mencapai USD575 per ton CPO yang diekspor.

Beban yang besar ini pada akhirnya juga akan ditanggung oleh petani sawit karena harga TBS tidak akan pernah bisa pararel dengan harga CPO di pasar internasional.

"Dalam sejarah, mungkin sawit satu-satunya komoditas yang dipaksa untuk menanggung beban pungutan hingga setengah harga barangnya yang ujung-ujungnya dibebankan ke petani," katanya.

Dari pantauan Apkasindo, saat ini beberapa pabrik kelapa sawit mulai menolak pembelian TBS petani dengan alasan tanki penuh karena kesulitan menjual CPO-nya. Penuhnya tanki tersebut karena hingga dua pekan pencabutan larangan ekspor CPO, belum ada pengapalan ekspor sama sekali.

Pantauan Apkasindo di 146 kabupaten/kota dari 22 provinsi mulai dari Aceh hingga Papua, harga TBS di petani sudah semakin anjlok. "Rata-rata harga kini tinggal Rp1.900 per kilogram untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp2.240 perkilogram untuk petani bermitra," kata Gulat Manurung

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close