Gus Yahya Sebut Hak Veto Dewan Kaneaman Lemahkan Legitimasi PBB dan UDHR

Nusantaratv.com - 15 Desember 2023

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf berfoto bersama para tokoh Amerika Serikat usai berbicara di Univeristas Princeton, Amerika Serikat, Rabu (13/12/2023)/Foto: Ghufron Siroj
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf berfoto bersama para tokoh Amerika Serikat usai berbicara di Univeristas Princeton, Amerika Serikat, Rabu (13/12/2023)/Foto: Ghufron Siroj

Penulis: Ramses Manurung

Nusantaratv.com-Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyoroti hak veto yang diberikan kepada lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau permanent five (P5) terhadap penegakan Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Pemberian hak istimewa tersebut dinilai melemahkan legitimasi PBB. 

“Setelah Perang Dunia II, Dewan Keamanan PBB dengan lima negara pemenang perang sebagai anggota tetapnya menawarkan mekanisme yang masuk akal dan berpotensi realistis untuk menegakkan Piagam PBB dan UDHR,” kata Gus Yahya saat berpidato dalam acara “The Future of the Universal Declaration of Human Rights: Toward a Global Consensus that the World Diverse Peoples, and Nations Should Strive to Fulfil,” di Universitas Princeton, New Jersey, Amerika Serikat (AS), Rabu (13/12/2023).

Gus Yahya menilai pemberian hak veto telah melemahkan legitimasi PBB. Keistimewaan itu juga berpotensi pada pelanggaran aturan oleh pihak-pihak yang mengejar tujuan tersendiri melalui berbagai upaya politik, ekonomi, dan militer. 

“Pemberian hak veto kepada kelompok yang disebut P5 terhadap resolusi-resolusi untuk menegakkan konsensus internasional yang telah disepakati sebelumnya telah melemahkan legitimasi PBB,” ujar dia, mengutip NU Online.

Gus Yahya mengatakan, keistimewaan tersebut memungkinkan anggota tetap DK PBB menggunakan hak veto untuk melindungi kepentingan negara atau sekutu mereka, bahkan jika bertentangan dengan konsensus internasional. 

“Dan juga memungkinkan terjadinya pelanggaran aturan oleh pihak-pihak yang terus mengejar tujuan mereka melalui upaya ekonomi, militer, dan kekuatan politik yang melanggar Piagam PBB dan UDHR,” kata Gus Yahya.

Dia mencatat peran besar negara-negara Barat, terutama AS, dalam membentuk tatanan internasional pascaperang. Menurutnya, kekuatan ekonomi, militer, dan politik negara-negara Barat menjadi pilar utama untuk mendukung tatanan tersebut. Dia menyebut dunia kini mengalami pergeseran ke arah multi-kutub. Kekuatan Barat mengalami kemunduran.

Baca juga: Dubes Iran Kunjungi PBNU, Bahas Solidaritas Islam dan Genosida di Palestina

“Namun, ketika negara-negara lain memanfaatkan peluang yang diberikan oleh keterbukaan, keamanan, dan stabilitas sistem internasional pascaperang, kekuatan Barat yang tadinya hegemonik kini mengalami kemunduran, dan dunia multi-kutub pun mulai muncul,” ujarnya. 

Hal ini, kata dia, merupakan momen berbahaya dalam sejarah dunia, terutama karena adanya potensi penyalahgunaan kekuatan politik dan militer.

“Di tengah dunia yang semakin multi-kutub, kekuatan Barat dan budaya Barat saja tidak cukup untuk mempertahankan, apalagi menguatkan dan meningkatkan, tatanan internasional berbasis aturan yang didedikasikan untuk menjaga kedaulatan nasional dan hak asasi manusia,” ujar dia. 

“Yang menjadikan situasi ini semakin berbahaya adalah penyalahgunaan kekuatan politik, militer, dan budaya Barat untuk menerapkan standar ganda, sambil mengklaim menegakkan konsensus internasional pascaperang, sehingga melemahkan kredibilitas Barat di mata negara-negara Global South,” tuturnya. 

Kendati demikian, Gus Yahya meyakini masih ada harapan untuk mengatasi tantangan tersebut. Dia memandang kerja sama antarumat manusia dari berbagai agama dan negara menjadi langkah penting dalam mengatasi tantangan global. Gus Yahya mendorong penyelarasan ajaran agama dengan konsensus internasional pasca-Perang Dunia II dan memobilisasi komunitas masing-masing untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil dan harmonis dengan menghormati persamaan hak dan martabat setiap individu. 

“Salah satu langkah penting adalah menyelaraskan ajaran agama kita dengan konsensus internasional yang muncul setelah Perang Dunia Kedua dan memobilisasi komunitas kita masing-masing untuk membangun tatanan dunia yang didasarkan pada penghormatan terhadap persamaan hak dan martabat,” ujarnya.

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close