Nusantaratv.com - Gelombang panas telah menewaskan lebih dari 60.000 orang di Eropa pada musim panas lalu.
Melansir The Guardian, Selasa (11/7/2023), ahli statistik Uni Eropa (UE) membunyikan lonceng peringatan pada Agustus setelah mencatat kenaikan jumlah kematian selama musim panas terpanas di Eropa.
Pakar kesehatan masyarakat mengambil data itu dan menggunakan model epidemiologi untuk mengetahui berapa banyak kematian akibat kenaikan suhu. Mereka menemukan 61.672 orang meninggal karena penyebab panas di Eropa antara 30 Mei dan 4 September 2022. Tingkat kematian tertinggi di Italia, Yunani, Spanyol, dan Portugal.
"Kita berbicara tentang orang-orang yang meninggal akibat kenaikan suhu," kata Joan Ballester, profesor riset rekanan di bidang iklim dan kesehatan di Barcelona Institute for Global Health.
"Hanya sebagian kecil dari kematian terkait panas yang berasal dari sengatan panas. Dalam kebanyakan kasus, cuaca panas membunuh orang dengan menghentikan tubuh mengatasi masalah kesehatan yang ada seperti penyakit jantung dan paru-paru," lanjutnya.
Dalam setiap minggu di musim panas 2022, studi tersebut menemukan, suhu rata-rata di Eropa melebihi nilai dasar dari tiga dekade sebelumnya. Panas terhebat terjadi dari 18 hingga 24 Juli, yang menewaskan 11.637 orang.
Seorang dokter di rumah sakit universitas La Paz di Madrid, Ángel Abad mengatakan, di antara orang yang meninggal adalah seorang wanita berusia 86 tahun bernama Maria, yang tinggal sendirian tanpa AC.
Abad menambahkan, Maria minum obat diabetes dan jantung setiap hari tetapi datang ke rumah sakit pada 19 Juli dengan keluhan kelelahan. Maria meninggal lima hari kemudian karena edema paru akut.
"Sangat sering di musim panas di Spanyol di rumah sakit kami. Pasien tidak bisa bernapas. Mulai gagal jantung. Ini adalah masalah (yang mendasari) menjadi lebih kuat," sebut Abad.
Dia menyatakan pasien menjadi cemas saat mereka menyadari jika mereka sedang sekarat.
Para ilmuwan menilai kenaikan jumlah kematian pada 2022 disebabkan anomali suhu. Selama puncak musim panas, suhu di Eropa selatan lebih panas daripada Eropa utara. "Kami memiliki kedua faktor yang berkontribusi terhadap kematian. Pada akhirnya suhu mutlak yang membunuh," jelas Ballester.
Kepala Kelompok Penelitian Iklim dan Kesehatan di University of Berne, Ana Maria Vicedo-Cabrera mengungkapkan, jumlah kematian sebenarnya mungkin lebih tinggi. Menurutnya, para peneliti menggunakan data mingguan tentang suhu dan kematian yang melemahkan efek lonjakan jangka pendek.
Satu studi yang menggunakan data harian untuk Spanyol memperkirakan 10 persen lebih banyak kematian terkait panas daripada yang disarankan oleh data mingguan. Sebuah studi terpisah oleh Vicedo-Cabrera dan rekannya menunjukkan efek yang lebih besar di Swiss, dengan perkiraan data harian naik dua kali lipat dari perkiraan data mingguan.
Penelitian di Swiss maupun di seluruh Eropa menemukan jika wanita, terutama lansia wanita meninggal pada tingkat yang lebih tinggi daripada pria. Polusi dari pembakaran bahan bakar fosil dan perusakan alam menambah jumlah kematian.
"Kami menemukan 60 persen dari kematian yang diamati dapat dikaitkan dengan perubahan iklim," jelasa Vicedo-Cabrera.
Lebih dari 2.000 wanita lanjut usia di Swiss menggugat pemerintah federal ke pengadilan hak asasi manusia (HAM) Eropa karena gagal menghentikan pemanasan global, dengan alasan risiko terhadap kesehatan mereka akibat gelombang panas. Pemerintah Swiss berpendapat hubungan antara tindakannya dan penderitaan mereka terlalu renggang dan jauh.
Penjabat Direktur Pusat Iklim Palang Merah Bulan Sabit Merah, Julie Arrighi mengatakan, memperkuat sistem perawatan kesehatan dan melindungi kelompok rentan akan menyelamatkan nyawa. "Sangat penting bagi orang-orang untuk menjaga tetangga dan orang-orang terkasih, terutama mereka yang tinggal sendirian," tukas Arrighi.