Nusantaratv.com - Sidang pembacaan dakwaan perkara korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) Kemhan 2012-2021, dengan terdakwa Mantan Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemhan, Laksma (Purn) Agus Purwoto, digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Menanggapi sidang pembacaan dakwaan tersebut, Forum Advokat Spesialis Tipikor (FAST) selaku tim penasihat hukum Laksma (Purn) Agus Purwoto menjelaskan bahwa perbuatan terdakwa adalah keputusan diskresi dan tidak dapat dipidana.
“Bahwa berdasarkan SK Menteri Pertahanan No : KEP/2069/M/XII/2017 Tentang Penetapan Penyedia Jasa Penyewaan Satelit Slot Orbit GSO 123 BT dan Pendukungnya, maka penyewaan Satelit Avanti adalah perbuatan diskresi,” kata Ketua FAST, RM. Tito Hananta Kusuma, S.H., M.M., usai sidang.
Dijelaskannya, diskresi berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang berbunyi Pasal 1 ayat (9) : Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, dan Pasal 9 ayat (4) : Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.
“Terdakwa hanyalah melaksanakan perintah atasan yang berdasarkan pasal 51 KUHP yang berbunyi ‘Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana’, maka dari itu perbuatan terdakwa hanyalah melaksanakan perintah atasan dari Kementerian Pertahanan sehingga tidak ada unsur melawan hukum dalam perkara ini sehingga tidak dapat dipidana,” tukas Tito.
Ditambahkannya, terdakwa tidak menerima dan tidak menikmati hasil dugaan korupsi yang diterima oleh pihak Avantii Comunications Limited bahwa sesuai dengan surat dakwaan seluruh uang yang diduga merugikan keuangan negara kurang lebih Rp. 450 miliar, sepenuhnya diterima oleh Avantii dan tidak ada sama sekali diterima oleh terdakwa,” ungkap Tito.
Di tempat yang sama, Anggota FAST, Hasan Basri, S.H., M.H., mengatakan, terdakwa AP menegaskan siap dirujuk ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan / PPATK dan dapat dirujuk pula ke Komisi Pemberantasan Korupsi / KPK pada Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara / LHKPN terakhir tahun 2019 yang telah dipublikasikan oleh KPK, karena beliau tidak pernah menerima apapun dalam perkara ini.
“Kami mempertanyakan tidak adanya kepastian hukum dari Kejaksaan Agung dalam menyikapi perkara ini, karena dalam proses persidangan Arbitrase Avanti ada Surat Kuasa Khusus dari Kementerian Pertahanan kepada Kejaksaan Agung. Hal itu membuktikan bahwa semua hal ini telah diketahui oleh Kejaksaan Agung, yang pada saat Jaksa Agung yang lama yaitu Bapak H.M Prasetyo dan sudah memberikan laporan ke Presiden terkait Pembayaran Kewajiban Arbitrase Avanti dan di dalam surat tersebut menyatakan perkara tersebut telah selesai. Sehingga menjadi aneh bagi kami, ketika Jaksa Agung di era berikutnya yaitu Jaksa Agung yang sekarang, malah menjadikan perkara ini, sebagai dakwaan, dalam hal ini kami menanyakan tanggapan kepastian hukum yang diterapkan dalam perkara ini karena adanya perbedaan kebijakan dari dua Jaksa Agung yang berbeda,” ujar Hasan.
Sedangkan menurut Anggota FAST lainnya, Dwi Atmoko, S.H., M.H., pihaknya juga menyayangkan adanya ketidakadilan dalam perkara ini karena Avantii Comunications Limited sebagai pihak yang menerima dan menikmati dana tersebut tidak pernah diperiksa oleh Kejaksaan Agung.
“Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam praktek tindak pidana korupsi yang selalu menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terpidana adalah Pejabat Pembuat Komitmen / PPK dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), sementara Bapak AP bukanlah Pejabat Pembuat Komitmen/PPK maupun KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Yang pada saat itu sama sekali tidak dijadikan tersangka dalam perkara ini. Kami selaku PH berkeyakinan bahwa tersangka AP merupakan korban dari seputar kasus Satkomhan, dan masyarakat nantinya dapat menilai saat persidangan yang kami mohon dapatnya untuk dilaksanakan secara “Terbuka”, agar kita sama-sama bisa menilai dan mengetahui siapa di balik munculnya permasalahan ini. Kami sampaikan bahwa pada saat permasalahan ini muncul, beliau AP masih aktif menjadi perwira tinggi TNI Angkatan Laut yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan / Dirjen Kuathan Kemhan periode 24 Agustus 2012 - 2 September 2016 di Kementerian Pertahanan, berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan / Permenhan, No.17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistim Persenjataan di Lingkungan Kemhan dan TNI,” ujar Hasan.
Anggota FAST lainnya, Ahmad Balya, S.H.,M.H., mengatakan, pada pasal 10 dinyatakan bahwa Dirjen Kuathan adalah Pengendali Fungsi Pemenuhan Kebutuhan Kekuatan Pertahanan dan bukan ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen / PPK untuk Unit Organisasi Kemhan.
“Sangat jelas pada Permenhan tersebut bahwa terdakwa AP bukan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen / PPK dan tentunya juga bukan menjabat sebagai PA (Pengguna Anggaran) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) saat menanda tangani dokumen dengan Avanti, sehingga dalam perkara ini tidak tepat menjadi terdakwa dan diadili dalam perkara ini,” ujar Balya.
Ditambahkannya, selain itu berdasarkan Pasal 47 Peraturan Menteri Pertahanan / Permenhan, No. 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistim Persenjataan di Lingkungan Kemhan dan TNI ditentukan bahwa pembelian langsung dilakukan terhadap calon penyedia yang paling mampu memenuhi sesuai efektif kebutuhan mendesak.
“Terkait adanya hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang menyatakan adanya kerugian negara dalam perkara ini, kami Tim Penasehat Hukum berkeyakinan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang menyatakan kerugian keuangan negara. Ini artinya bahwa SEMA No.4 Tahun 2016 menegaskan bahwa BPKP tidak berhak menyatakan kerugian negara,” ungkap Balya.
Sedangkan menurut Anggota FAST lainnya, Andi Faisal, S.H.,M.H., Agus Purwoto sebagai tersangka, juga telah mengambil hikmah dari perkara ini, bahwa agar tidak terjadi lagi dugaan korupsi seperti ini terjadi di masa depan, agar BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dilibatkan dalam proses pengadaan untuk memberikan Pre-Audit untuk mencegah dugaan kerugian negara. Selanjutnya dilibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memberikan review sebelum dilaksanakan transaksi pembayaran melalui keabsahan dan kelengkapan dokumen yang akan dijadikan sebagai dasar transaksi pembayaran oleh pihak yang telah ditetapkan sesuai Peraturan Menteri Pertahanan/Permenhan, nomor 17 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistim Persenjataan di lingkungan Kemhan dan TNI,” kata Andi.
FAST sendiri terdiri dari RM. Tito Hananta Kusuma, S.H., M.M., AP Silalahi, S.H., Hasan Basri, S.H., M.H., Humaidi Fikri, S.H., Dr. Anwar Sadat Tanjung, S.H.,M.H., Dr. Sabela Gayo. S.H.,M.H., Puguh Wirawan, S.H.,M.Hum., Dwi Atmoko, S.H., M.H., Ahmad Balya, S.H.,M.H., Andi Faisal, S.H.,M.H., Akmal Hidayat, S.H.,S.H.I.,M.H., Mila Ayu Dewata Sari, S.H.,S.E., Asgar Hasrat Sjafri, S.H., Rinto Dani Wicaksono,S.H., Roland Hutabarat, S.H.,M.H., Hesti Valentina, S.H., Suryo Wicaksono, S.H., Dimas Noor Ibrahim Kuncorodjati, S.H., Rezky Wirmandi, S.H., Feri Ferdinal, S.Kom.,S.H., Darul Akram, S.H., Abdullah Rizky, S.H., Rezha Setiawan, S.H., Renato Balstra Van Tou, S.H. dan Syahrika Wifra, S.H.