Nusantaratv.com - Tinjauan Akademis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XX/2022 menjadi tema diskusi pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) 2022 yang berlangsung di Swiss Bel hotel Harbour Bay, Batam, Kepulauan Riau, 12-13 Desember 2022.
Sebelum masuk agenda diskusi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Peradi Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH.MM, dalam sambutannya mengatakan bahwa tantangan advokat semakin besar setelah munculnya banyak organisasi advokat (OA) dampak dari Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015. Hingga saat ini, diperkirakan sudah berdiri lebih dari 40 organisasi.
Karena itu putusan MK menjadi hal yang perlu dibahas dalam agenda rakernas hingga menghadirkan dua narasumber, yakni Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof. Dr. Gayus T. Lumbuun, S.H., M.H. dan Dosen Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H.
Tujuan diadakannya diskusi ini juga untuk memberi pemahaman sekaligus mengajak para anggota DPC bersama-sam mengkritisi dan menyikapi hadirnya Putusan tersebut.
Guru besar Unkris Gayus Lumbuun menyoroti soal pertimbangan putusan MK, disebutkan bahwa salah satu cara umum untuk memastikan organisasi profesi tetap profesional, berwibawa, dan terjaga soliditasnya melalui penerapan prinsip tata kelola organisasi yang baik.
Dalam pandangan Gayus, tata kelola ini, ditentukan oleh kesepakatan para anggota, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, adalah soal periodisasi pimpinan yang lahir dari kesepakatan para advokat sebagai bagian dari kebebasan berserikat.
"Partisipasi anggota dan kepastian hukum atas hak anggota sudah diatur dalam AD/ART organisasi yang dibuat oleh organisasi advokat sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam organisasi. Pertimbangan dan penilaian MK ini sudah jauh masuk ke ranah kebebasan berserikat dan kebebasan mengatur serikat atau perkumpulan yang menjadi kedaulatan anggota," ujar Gayus.
Selain itu, MK sendiri dianggap telah melakukan abuse of power berdasarkan tiga hal. Pertama, MK telah mencampuri kebebasan anggota organisasi dan atau kedaulatan organisasi dalam menentukan sikap organisasi, padahal sikap tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku.
Kedua, MK merujuk kepada penalaran dengan alasan pertimbangan hukumnya, bukan pada konstitusi yang nyata dan tegas sudah diatur Undang-undang Dasar dan Undang-undang sebagai dasar tujuan dan kewenangan dalam memutus perkara.
Ketiga, MK mengesampingkan fakta yuridis dan faktual bahwa organisasi advokat adalah organisasi yang mandiri dan menjadi milik dari anggotanya sebagai pihak yang berdaulat atas organisasinya.
Hal senada juga dikatakan oleh Akademisi, Dosen Hukum Tata Negara dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid mengtakan, bahwa dalam Konsiderans UU No. 18 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pengaruh dari luar memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan serta hak asasi manusia.
Sebagai profesi yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lain, advokat memerlukan organisasi yang merupakan ‘satu-satunya’ wadah—sebagaimana dimaksud dalam rumusan norma Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Secara konstitusional, Putusan MK dalam Perkara No.014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006 pada hakikatnya menegaskan organisasi Peradi merupakan satu-satunya wadah profesi advokat.
“Dengan kata lain, pada dasarnya, Peradi adalah organisasi negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara. Dengan demikian, secara teoretis berdasarkan ajaran hukum tata negara, lembaga atau organ negara merupakan institusi-institusi yang dibentuk berdasarkan hukum untuk menjalankan fungsi-fungsi negara, baik fungsi klasik maupun fungsi secara aktual,” kata Fahri.
Perihal masa jabatan (periodisasi) pempimpin organisasi advokat, Fahri memahami, kekuatan tetap dari putusan sebagaimana dianut dalam Pasal 60 Undang-Undang MK bertujuan untuk tercapainya suatu kepastian hukum. Namun, pemberlakuan tanpa pengecualian tertentu, dapat menyebabkan kemandekan dalam perkembangan hukum di masyarakat.
“Oleh karenanya meskipun putusan MK mengikat secara umum termasuk terhadap dirinya sendiri, akan tetapi MK tidak terikat secara mutlak pada kekuatan res judicata putusannya, jikalau terjadi perkembangan dan perubahan fakta-fakta yang relevan dengan penafsiran MK atas satu norma konstitusi pada putusan terdahulu. Keterikatan terhadap res judicata substantif hanya dipandang sah dan layak sepanjang fakta- fakta yang relevan dengan putusan tidak berubah dibandingkan ketika putusan dijatuhkan,” Fahri melanjutkan.
Akan tetapi, soal tindak lanjut terhadap putusan MK ini, baik Gayus Lumbuun maupun Fahri Bachmid menegaskan, mereka tetap menghormati putusan tersebut. Namun, ke depannya, DPN Peradi dapat saja mengajukan suatu permohonan pengujian ulang materi yang sama dengan tetap melakukan sejumlah pengkajian dan pertimbangan terlebih dahulu.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Peradi Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH.MM saat menyampaikan sambutannya mengatakan, putusan MK membawa kehadiran organisasi advokat (OA) yang diperkirakan hingga kini sudah lebih dari 40 organisasi.
Namun, Otto memiliki keyakinan kalau putusan MK justru menambah kehancuran OA. Sebab, kalau independensi advokat sudah dihancurkan, maka bisa dipastikan penegakan hukum akan kacau balau.
"Sudah tantangan semakin sulit, ditambah lagi dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang jelas-jelas telah mengkooptasi kebebasan berserikat dan berkumpul dari para advokat," kata Otto.
"Sudah ada Surat Ketua MA, ditambah lagi putusan MK, makin kacau balau lah OA ini. Padahal, kenapa kami tidak dibentuk dan dibiayai oleh negara? Karena pada dasarnya kami independen. Tapi sekarang, independensi advokat telah diobok-obok oleh MK dan MA. Ironis nasib advokat di Indonesia ini," tandasnya.
"Harus dikembalikan OA sebagai wadah independen dan tidak terkooptasi oleh negara," tegasnya.