Bukan Tarik Paksa di Jalanan, Ternyata Ini Tata-Cara Penyelesaian Masalah Kendaraan Nunggak Cicilan

Nusantaratv.com - 04 Februari 2024

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Penulis: Mochammad Rizki

Nusantaratv.com - Perusahaan pembiayaan atau leasing, tidak bisa sewenang-wenang melakukan penarikan kendaraan dari nasabah yang gagal bayar atau menunggak cicilan. Termasuk menggunakan jasa debt collector atau 'mata elang' untuk menarik kendaraan secara paksa. Sebab, sejumlah aturan melarang hal tersebut.

"Kementerian Keuangan RI telah mengeluarkan aturan yang melarang perusahaan pembiayaan/leasing untuk menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak kredit kendaraan, tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No.30/PMK 010/2012 tentang Pendaftaran Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan dikeluarkan 7 Oktober 2012," ujar praktisi hukum Argha Syifa Nugraha, kepada wartawan, Minggu (4/2/2024).

Melalui PMK tersebut, perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan setiap transaksi kredit di depan notaris atas perjanjian fidusia paling lambat 30 hari sejak perjanjian kredit ditanda tangani. Perusahaan pembiayaan/leasing yang tidak mendaftarkan jaminan tersebut, terancam sanksi peringatan/teguran sebanyak tiga kali, dibekukan, dan dicabut usahanya.

"Pendaftaran itu tujuannya untuk melindungi aset nasabah atau konsumen. Sehingga leasing tidak bisa sewenang-wenang menarik kendaraan yang gagal bayar/kredit macet dengan menggunakan jasa pihak ketiga dalam hal ini debt collector," jelas Argha.

Adapun mekanisme penarikan kendaraan yang sesuai ketentuan, lanjut dia, adalah pihak perusahaan pembiayaan melaporkan atau membuat permohonan kepada pengadilan negeri dengan membawa bukti perjanjian fidusia dan sertifikat pendaftaran yang sudah dibuat. Lalu, kasus disidangkan, ada putusan pengadilan, kendaraan dieksekusi atau disita pengadilan. Kemudian kendaraan dilelang oleh pengadilan, dan hasilnya digunakan untuk bayar utang ke perusahaan pembiayaan.

"Dan setelah digunakan untuk membayar utang, sisa uang hasil lelang dikembalikan ke konsumen," jelas Argha.

Hal tersebut, kata dia, juga dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021, yang dengan jelas menguraikan prosedur penyerahan objek fidusia. MK pun telah mempertimbangkan mengenai tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan “pihak yang berwenang” untuk membantu dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, yakni Pengadilan Negeri sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Demikian termaktub dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021, berkenaan dengan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai “pengadilan negeri” sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.

"Dengan demikian, pihak kreditur (perusahaan leasing) tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa," kata dia.

Jika pihak perusahaan pembiayaan menarik secara paksa kendaraan konsumen melalui debt collector, maka debt collector bisa dilaporkan ke polisi dan dikenakan tindak pidana pemerasan, pengancaman, serta pencurian. Ini sesuai Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan. Lalu Pasal 365 KUHP ayat 1 tentang pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau paling berat pidana mati, dengan ketentuan tertentu.

"Juga tidak menutup kemungkinan pihak perusahaan pembiayaan dikenakan pidana. Karena debt collector bekerja berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh perusahaan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat 1 dan 2 KUHP," jelas Argha.

Lebih lanjut, Argha yang seorang advokat sekaligus konsultan hukum mengatakan, bahwa ada undang-undang yang menjelaskan jika orang-orang yang berutang dan tak mampu melunasi utangnya tersebut, tak boleh dipidanakan. Hal itu diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

"Bunyinya 'tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang'. Artinya walau ada laporan, pengadilan tidak boleh memidanakan orang karena ketidakmampuan membayar utang," jelas dia.

Di samping itu, ia mengingatkan bahwa pihak nasabah atau konsumen juga dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, menyewakan kendaraan yang masih dalam kredit tanpa sepengetahuan/pemberitahuan ke perusahaan pembiayaan. Ini diatur dalam Pasal 23 ayat 2 jo Pasal 36 UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jika melalukan hal di atas, pelaku dapat diancam pidana 2 tahun penjara.

"Bahwa hal tersebut dapat juga dikategorikan dalam tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara dan orang yang menerima, memegang, menguasai, menyimpan kendaraan yang digadaikan tersebut dapat di kategorikan sebagai penadah sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara," tandasnya.

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close