Nusantaratv.com - Pembayaran uang tebusan untuk serangan ransomware yang diduga berjumlah US$590 juta atau setara Rp8,2 triliun terjadi dalam enam bulan pertama tahun ini.
Jumlah tersebut lebih besar dari US$416 juta (Rp5,8 triliun) uang tebusan yang dibayarkan sepanjang 2020, kata Departemen Keuangan Amerika pada Jumat (15/10/2021).
Departemen Keuangan AS mengatakan jumlah rata-rata transaksi ransomware yang dilaporkan per bulan pada 2021 adalah US$102,3 juta (Rp1,4 triliun).
Dilaporkan, jenis ransomware yang umum digunakan adalah REvil/Sodinokibi, Conti, DarkSide, Avaddon, dan Phobosn, seperti dikutip dari VOA News, Sabtu (16/10/2021).
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah menjadikan respons pemerintah terhadap keamanan siber sebagai prioritas utama bagi tingkat paling senior dalam pemerintahannya menyusul terjadinya serangkaian serangan tahun ini yang mengancam stabilitas pasokan energi dan pangan.
Panduan baru dari Departemen Keuangan menyebutkan industri kripto memainkan peran penting dalam mencegah mereka yang masuk daftar hitam mengeksploitasi mata uang kripto untuk menghindari sanksi.
Panduan itu juga menyarankan pertukaran mata uang kripto menggunakan alat geolokasi untuk memblokir akses dari negara-negara di bawah sanksi Amerika.
Peretas menggunakan ransomware untuk menghapus sistem yang mengontrol semuanya, mulai dari penagihan rumah sakit hingga manufaktur. Di mana sistem akan kembali difungsikan jika pelaku sudah menerima pembayaran yang besar, biasanya dalam mata uang kripto.