Nusantaratv.com - Harga minyak mentah dunia naik signifikan lebih dari 2 persen ke level tertinggi dalam lebih dari tujuh tahun, pada akhir perdagangan Senin (14/2/2022) sore waktu AS atau Selasa (15/2/2022) pagi WIB. Penguatan ini setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan telah mendengar Rusia dapat menyerang negara itu pada Rabu (16/2/2022).
Dikutip dari Antara, Selasa (15/2/2022) harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April menguat US$2,04 atau 2,2 persen ke US$96,48 per barel setelah menyentuh level tertinggi sejak September 2014 di US$96,78 per barel.
Sedangkan minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Maret, harganya naik US$2,36 atau 2,5 persen ke US$95,46 per barel setelah mencapai US$95,82 yang merupakan level tertinggi sejak September 2014.
Analis menyebut informasi invasi Rusia terhadap Ukraina pada Rabu mendatang tersebut meningkatkan kekhawatiran pasar atas kemungkinan gangguan pasokan energi sehingga mendongkrak harga minyak mendekati level US$100 per barel. Maklum, Rusia adalah salah satu produsen minyak dan gas terbesar di dunia.
Analis senior dari Rystad Energy menyebut kapasitas produksi minyak Rusia mencapai 11,2 juta barel per hari. Karena itulah, informasi apapun yang berkaitan dengan gangguan pasokan dari negara itu sangat sensitif terhadap harga minyak.
"Pasar tetap sangat sensitif terhadap perkembangan situasi Rusia-Ukraina. Minyak sekarang meningkat ke tingkat yang luar biasa. Saat ini, beli sekarang, tanyakan nanti," kata analis Again Capital di New York John Kilduff.
Kenaikan minyak memang mendapatkan ganjalan dari perhatian pasar terhadap pembicaraan nuklir antara Amerika Serikat dan Iran. Hasil positif pembicaraan itu diharapkan bisa meningkatkan pasokan minyak sampai 1,3 juta barel.
Namun sikap Iran yang tidak terburu-buru untuk mencapai kesepakatan cepat dalam pembicaraan nuklir di Wina sebelum kepentingan nasionalnya dilindungi membuat sentimen itu tak cukup kuat mengganjal kenaikan harga minyak.
"Kesepakatan nuklir antara Amerika Serikat dan Iran dapat melepaskan 1,3 juta barel pasokan, tetapi ini tidak akan cukup untuk meringankan kendala pasokan," kata Pratibha Thaker, direktur editorial Unit Economist Intelligence untuk Timur Tengah dan Afrika.