Nusantaratv.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) akan menggabungkan enam organisasi perangkat daerah (OPD) dalam waktu dekat.
Keenam OPD yang akan dilebur jadi satu tersebut, yakni Dinas Pertanian akan digabung dengan Dinas Peternakan, Dinas Bina Marga digabung dengan Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya dan Tata Ruang, serta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) digabung dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD).
Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mengatakan, penggabungan OPD tersebut dapat menghemat pengeluaran anggaran hingga Rp 800 miliar per tahun.
Anggaran tersebut, nantinya bisa dialihkan rencana pembangunan yang lain, misalnya untuk membangun setidaknya 16 jembatan.
"Jadi kalau kita ini sekarang, ibarat kapal yang harus diangkat sampai ke permukaan. Ayo sama-sama, kita bisa berbuat untuk Sumatera Utara. Termasuk soal KTP mahal, harusnya gratis, kalau kita semua jujur," ujar Edy Rahmayadi, Kamis (14/4/2022).
Selain bisa menghemat anggaran, sambung Edy Rahmayadi, penggabungan ini juga untuk meningkatkan efektivitas pelayanan publik.
Misalnya, untuk Disdukcapil, provinsi lebih berperan sebagai koordinator, bukan hal teknis sebagaimana di kabupaten/kota. Dan yang terpenting, kata Edy Rahmayadi, yang diperlukan adalah kualitas aparatur bukan jabatan.
"Kalau dia eselon II misalnya, bisa sampai Rp100 Juta. Tetapi kalau eselon III, maksimal Rp50 Juta (penghasilan), jadi hemat 50 %. saya berpikir karena dasarnya adalah pekerjaan," tambah Edy.
Edy Rahmayadi menekankan hal ini menyangkut merit sistem, di mana keberadaan pimpinan OPD yang beberapa di antaranya masih dijabat seorang Plt, adalah karena aturan Meritokrasi mengharuskan seseorang mempunyai kapasitas sesuai keilmuan yang dimiliki. Sehingga ukurannya, ditentukan melalui seleksi oleh para ahli di bidangnya.
"Bicara Meritokrasi, dia harus diawali dengan pendidikannya. Kalau saya mencoba menelusuri itu (riwayat pendidikan), ini kayaknya kita salah. Tetapi kita kan ini mencocok-cocokkan. Artinya, dokter itu bisa jadi politisi, tetapi politisi belum tentu bisa jadi dokter. Itu yang bertentangan sejak awal dengan Meritokrasi," jelas Edy Rahmayadi.
Edy Rahmayadi lebih lanjut mengatakan meritokrasi adalah pembatasan. Seorang yang terpilih, harusnya melewati seleksi (ujian) yang diberikan tim seleksi berdasarkan aturan dan standar nilai yang ada. Sehingga tidak semua orang bisa menduduki satu kursi pimpinan OPD, jika nilainya tidak mencapai hasil yang ditentukan.
"Contoh awal saat saya masuk (menjabat), ada open bidding (lelang jabatan). Saya kira seperti di masa saya tentara, ada namanya tes prajurit setiap 6 bulan. Di sipil, tak ada tes. Begitu mau pindah jabatan, pindah eselon, khususnya II, open biding dia, tak tahu pun jurusannya," tutur Edy.
Ketua Komisi A DPRD Sumut, Hendro Susanto menyatakan kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut terkait kebijakan menerapkan sistem merit (Meritokrasi).
Terlebih, Gubsu Edy Rahmayadi mendapatkan penghargaan Meritokrasi kategori baik dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 7 Desember 2021 silam di Surabaya.
Untuk itu, pihaknya pun mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk meniru atau melakukan replikasi yang sudah bagus di Pemprov Sumut, tentang pelaksanaan sistem merit tersebut. Komisi DPRD Sumut juga sudah menyampaikan hal itu setidaknya kepada Pemko Pematangsiantar dan Pemko Medan.
Hendro mengakui, pihaknya sempat menolak usulan penggabungan sejumlah OPD, khususnya Disdukcapil karena menurut mereka, instansi terebut strategis. Untuk itu, legislatif akan mengawal bagaimana kinerja dinas tersebut setelah digabungkan dengan bidang lain.
"Kami juga sudah mendorong agar bagaimana KTP ini tidak jadi barang mahal. Masih ada yang menganggap susah mengurus KTP. Padahal blanko dan alat cetak terus disampaikan Pemprov Sumut ke kabupaten/kota. Ini perlu disampaikan Pak ke daerah, karena kewenangannya (pelaksanaannya) ada di sana. Sementara penilaiannya ke Sumut," tukasnya. (dari berbagai sumber)