Nusantaratv.com-Konsumsi gula di Indonesia semakin meningkat. Bahkan gula seolah tak bisa lepas dari kebiasaan anak muda masa kini.
Ketua Umum PP Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengatakan kondisi ini cukup memprihatinkan. Menurutnya fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi bahkan di dunia.
"Hanya saja negara kita adalah negara dengan laju peningkatan gula darah yang cukup tinggi dengan menyebabkan diabetes yang terbesar di Asia Tenggara bahkan di dunia kita urutan kelima," ungkap Hermawan Saputra saat hadir secara daring dalam Dialog NTV Today bertajuk 'Gula, Candu Pengantar Maut' di NusantaraTV, Rabu (10/7/2024).
Berdasarkan hasil survei IAKMI, papar Hermawan, pada tahun 2018 ditemukan sekitar 10% lebih penduduk Indonesia terkena diabetes.
"Sekarang bahkan 11,7%, artinya sudah lebih dari 21 juta penduduk Indonesia teridentifikasi memiliki risiko diabetes," bebernya.
Hermawan mengatakan risiko diabetes berkaitan dengan pola hidup dan bahkan ini juga didorong dengan keterbukaan industri pola konsumsi dan juga kendali yang terbatas dalam kandungan gula.
Selain gula, kata Hermawan, ada juga zat gizi lain seperti lemak dan juga garam yang mempengaruhi kesehatan masyarakat Indonesia," tuturnya.
"Tetapi gula memiliki porsi terbesar. Tentu ini kaitan dengan kebiasaan kita mengonsumsi makanan yang manis. Dan itu berkaitan dengan gurihnya masakan dan juga lifestyle kita," ujarnya.
Kondisi ini semakin diperparah dengan fenomena yang disebut sedentary lifestyle atau gaya yang terbatas untuk beraktivitas.
"Kalau anak muda menyebut gaya kaum rebahan. Kita terbiasa untuk semua serba instan. Jarang bersosialisasi, berolahraga, berinteraksi di luar rumah," kata Hermawan.
"Ini menambah risiko. Kurang gerak, kurang aktivitas, intake gula berlebihan dan pada akhirnya daya serap metabolisme tubuh lemah untuk kalori yang menumpuk," imbuhnya.
Menurut Hermawan kondisi tersebut menyebabkan masyarakat sulit untuk keluar kalau tidak segera berubah.
Di sisi lain, masyarakat cukup kesulitan untuk mengetahui kandungan gula yang tinggi atau berbahaya di makanan atau minuman kemasan. Apalagi minuman yang tidak berkemasan pun juga tidak mempunyai indikator tertentu.
Hermawan menyampaikan sebenarnya di Indonesia sudah ada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 tahun 2013 tentang adanya kewajiban untuk labeling di dalam makanan-makanan terutama makanan kemasan hasil olahan.
Juga diperkuat di dalam revisi Peraturan Menteri Kesehatan nomor 63 tahun 2015.
"Hanya saja kita ini memiliki banyak sekali industri rumahan. Jajanan yang kita dapat ini tidak selalu diproduksi oleh perusahaan atau industri yang teregister melalui Departemen atau Kementerian Perindustrian. Tetapi justru dengan adanya produk rumahan yang dijual di pinggir dan seterusnya tanpa ada takaran yang jelas ingrediens atau isi dari kandungan makanan minuman. Itu yang menyebabkan kita sulit sekali mengontrol dan mengawasi," kata Hermawan.
Terkait pengawasan, sambung Hermawan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah mengeluarkan peraturan tentang pengawasan makanan produk olahan ini di tahun 2019.
"Tetapi memang di dalam praktiknya di lapangan ini sulit dan kuncinya kita perlu kolaborasi. Langkah bersama di situ ada pelibatan dari stakeholders pemerintah terutama Kemenkes sebagai regulator dan badan pengawas obat dan makanan sebagai pengawas tapi juga perilaku masyarakat yang harus dimulai dari kesadaran diri mulai dari pola konsumsi hingga kepada aktivitas fisik dan perilaku hidup bersih dan sehat," ucapnya.
"Perlu juga melibatkan stakeholders seperti media untuk kampanye hidup sehat agar kita tidak menjadi negara yang terjebak dengan kadar gula yang tinggi di dalam darah," pungkasnya.