Nusantaratv.com - Seperti diketahui, Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya. Tak hanya soal kepercayaan maupun karya seni, mahar pernikahan juga menjadi hal yang diatur dalam adat istiadat suku tertentu. Mahar atau yang populer dengan sebutan mas kawin adalah suatu harta yang diberikan oleh calon mempelai pria saat akan meminang seorang wanita.
Barang yang dijadikan sebagai mahar pun beraneka ragam, bergantung pada ketentuan masing-masing etnis. Beberapa masyarakat dalam sebuah suku bahkan menganggap jenis mahar tertentu dapat membawa keberkahan bagi rumah tangga kedua mempelai di masa depan. Nah, adat mana sajakah yang masih menerapkan mahar pernikahan unik bagi masyarakat keturunannya? Dikutip dari bridestory.com, simak ulasannya berikut ini.
Adat Aceh
Daerah istimewa yang begitu lekat dengan kebudayaan Islam ini memilih untuk menggunakan emas sebagai patokan mahar pernikahan. Untuk daerah Aceh mahar pernikahan biasa disebut dengan Mayam.
Sesuai anjuran yang berlaku, mayam diberikan mempelai pria kepada sang mempelai wanita. Penentuan jumlah mahar bergantung pada strata sosial yang dimiliki oleh sang wanita, yaitu berkisar antara 5 sampai 50 mayam emas. Misalnya, perempuan dengan lulusan SMA berhak mendapatkan 5-10 mayam, sementara wanita yang sudah PNS bisa mendapatkan 30-50 mayam. Nilai satu mayam setara dengan 3,3 gram emas yang jika dirupiahkan menjadi Rp2,9 juta. Jumlah tersebut masih dapat berubah, tergantung dari perkembangan harga emas per gramnya.
Adat Sasak
Suku Sasak berasal dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Salah satu etnis yang kental akan kearifan lokalnya ini memiliki perhitungan yang cukup unik dalam hal mahar pernikahan. Jumlah mahar mereka ditentukan berdasarkan bidang pekerjaan, tingkat pendidikan, dan domisili dari mempelai perempuan. Ini berarti, wanita yang dinilai mapan dalam segala aspek bisa mendapatkan mahar yang jauh lebih tinggi.
Jika pihak perempuan terhitung tinggal satu kampung dengan calon suaminya, maka mahar yang diberikan dapat lebih terjangkau, yakni sekitar Rp500 ribu. Lain halnya dengan mempelai wanita yang tinggal jauh dari kediaman laki-laki, mahar yang diberikan bisa mencapai hingga 50 juta rupiah.
Adat Bugis
Siapa yang tak tahu dengan keunikan uang panai dari pernikahan adat Bugis, Sulawesi Selatan? Meski tidak termasuk ke dalam golongan mahar akad nikah, namun uang panai wajib diberikan oleh pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan saat akan memulai rencana pernikahan. Uang panai sejatinya adalah ‘uang belanja’ yang nantinya digunakan untuk memenuhi keperluan acara pernikahan. Dengan kata lain, uang panai harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan prosesi yang ada hingga hari-H.
Tidak ada ketentuan khusus terkait jumlah uang panai yang harus disiapkan, tetapi beberapa masyarakat Bugis akan mempertimbangkan status pendidikan dan pekerjaan dari sang wanita untuk menentukan besaran panai mereka. Contohnya, wanita lulusan S1 dengan pekerjaan yang mapan umumnya bisa mendapat uang panai hingga Rp100 juta. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang Bugis cenderung lebih menyukai perhelatan yang mewah dan semarak. Itulah mengapa orang dengan strata sosial yang tinggi dapat dipastikan berpeluang besar menerima uang panai yang tak kalah tinggi.
Adat Nusa Tenggara Timur
Provinsi kepulauan Nusa Tenggara Timur juga memiliki mahar yang tak kalah menarik. Mahar pernikahan oleh penduduk NTT disebut dengan belis. Berbeda dari daerah lainnya, belis hampir selalu diberikan dalam jumlah yang besar dan tidak dapat ditawar. Hal ini senada dengan kepercayaan masyarakat NTT yang beranggapan bahwa pengantin perempuan baru dapat resmi bergabung ke dalam suku suami apabila telah menuntaskan jumlah belis.
Belis dapat diberikan dalam bentuk yang beraneka ragam, mulai dari sejumlah uang, hewan ternak, hingga benda berharga berupa kain adat, emas, gading, dan lain-lain. Setiap suku umumnya memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan bentuk belis. Sebagai contoh, masyarakat Dawan memberikan belis berupa sirih pinang, Lamaholot berupa gading gajah, sementara Sumba memberikan tombak atau marapa sebagai bentuk penyatuan antar kedua keluarga. Belis pada dasarnya menyimbolkan penghargaan terbaik kepada pengantin perempuan.
Adat Padang Pariaman
Ada yang berbeda dari mahar pernikahan daerah yang satu ini. Japuik dikenal sebagai istilah dari tradisi pernikahan khas Kabupaten Padang Pariaman. Yang artinya, pihak calon mempelai wanita lah yang harus memberikan sejumlah uang japuik atau barang berharga untuk calon suaminya sebelum akad nikah dilangsungkan.
Banyak yang berpendapat bahwa japuik atau uang jemputan merupakan tanda untuk ‘membeli’ seorang laki-laki. Padahal, sebenarnya uang japuik adalah salah satu cara untuk memuliakan calon suami. Jumlah uang japuik tergantung pada kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga serta status sosial sang pria. Nah, bila uang japuik berhasil diberikan, maka pihak laki-laki harus mengembalikan uang jemputan tersebut dalam bentuk sejumlah harta kepada istrinya. Tradisi ini umumnya akan dilakukan pada saat prosesi manjalang mintuo atau kunjungan mertua. Nilai uang pengembalian bisa lebih tinggi dari uang japuik yang telah diterima sebelumnya, dan akan menjadi kebanggaan tersendiri bila sang suami mampu melebihkan jumlahnya.
Adat Nias
Suku Nias mengenal sebutan mahar bowo yang menjadi kewajiban saat ingin melangsungkan pernikahan. Mahar tersebut termasuk ke dalam syarat sah perkawinan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanitanya. Bila tidak terdapat mahar, maka pernikahan tidak bisa dilakukan. Uniknya, mahar bowo ala pernikahan suku Nias didominasi dalam bentuk uang, babi, ataupun beras. Untuk menentukan nilai mahar, biasanya terdapat musyawarah yang digelar oleh kedua belah pihak keluarga lebih dulu. Namun, faktor yang paling menentukan jumlah bowo adalah tingkat pendidikan dan kekayaan sang perempuan. Pria keturunan Nias umumnya harus menyiapkan 25 ekor babi untuk mempersunting wanita pujaannya.
Adat Banjar
Masyarakat suku Banjar, Kalimantan Selatan sangat menjunjung tinggi tradisi jujuran dalam sebuah prosesi pernikahan. Konsep jujuran sebenarnya hampir mirip dengan uang panai milik suku Bugis, yaitu pemberian sejumlah harta dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk mempersiapkan keperluan pesta pernikahan. Uang jujuran juga dapat digunakan sebagai tabungan bersama saat mengarungi bahtera rumah tangga kelak. Latar belakang dari pihak wanita menjadi faktor yang paling menentukan besaran nilai jujuran. Semakin tinggi jumlah jujuran yang diberikan, maka dapat disimpulkan bahwa derajat dari wanita tersebut akan semakin tinggi. Selain itu, jujuran juga menjadi simbol keseriusan pihak laki-laki dalam meminang seorang perempuan.