Nusantaratv.com - Banyak orang ketika datang ke Jakarta tujuan utamanya ingin melihat Taman Mini Indonesia Indah atau Monumen Nasional (Monas). Banyak yang tidak tahu ada salah satu ikon kota Jakarta yang banyak menyimpan sejarah perkembangan peradaban yang pernah berjaya di masa kolonial dulu yaitu Kota Tua Jakarta.
Kota Tua Jakarta dan arsitektur bangunan di sekitarnya dijadikan cagar budaya dengan arsitektur bangunan yang tetap dipertahankan seperti bentuk semula. Konon katanya untuk mengenang awal permulaan terbentuknya Jakarta, kita bisa melihatnya melalui Kota Tua Jakarta.
Pada masa lalu gedung Kota Tua yaitu simbol kekuasaan & kejayaan yang pernah diperebutkan oleh banyak pemimpin besar. Konon siapapun yang berhasil menguasai wilayah ini mendapat sebutan sebagai pemimpin sejati. Jadi wajarlah kalau pemerintah DKI Jakarta mempertahankan keaslian bangunan di sekitar Kota Tua dan menjadikannya sebagai cagar budaya.
Dominasi bangunan-bangunan bergaya kolonial berwarna putih dengan jendela-jendela besarnya adalah ciri khas yang melekat pada kawasan Kota Tua.
Dilansir dari bobobox.com, saat akhir pekan tiba, kawasan ini akan dipenuhi pengunjung yang ingin melihat sekilas tentang masa lalu Jakarta, menyaksikan kemegahan bangunan-bangunan dan misteri di baliknya, dan mengabadikan keindahannya dalam lensa kamera mereka.
Puluhan orang berjalan berdesakan menuju bangunan tua yang akan mereka datangi, beberapa ada yang lalu lalang dengan sepeda ontel tua di lapangan Museum Fatahillah.
Sementara itu pedagang makanan hingga lukisan bertengger di beberapa titik untuk mengais rezeki. Kamu pun akan menjumpai pertunjukkan jalanan yang siap menghibur kamu saat berwisata di sini.
Seperti itulah sedikit gambaran tentang Kota Tua sekarang. Namun, Kota Tua yang kini berdiri sebagai bagian dari kawasan wisata sejarah adalah sebuah kota modern pada masanya.
Pembangunan Kota Tua Jakarta
Sekitar tahun 1526, Kesultanan Demak mengirim Fatahillah untuk menyerang pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di kerajaan Hindu Pajajaran. Setelah itu, pada tahun 1527, kawasan tersebut berganti nama menjadi Jayakarta.
Saat itu, luasanya hanya sekitar 15 hektare dan sudah memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa.
Selanjutnya, pada tahun 1619, di bawah pimpina Jan Pieterszoon Coen, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kota Jayakarta diserang dan dirutuhkan.
Satu tahun berselang, VOC membangun sebuah kota baru yang diberi nama Batavia sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur bangsa Belanda, Batavieren.
Karena itulah warga Jakarta asli disebut sebagai suku Betawi yang berasal dari kata “Batavianen”, yakni penduduk Batavia. Saat itu, penduduk Batavia terdiri dari keturunan yang berasal dari berbagai etnis.
Kota ini berpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, yang sekarang menjadi Lapangan Fatahillah.
Pada tahun 1635, Batavia diperluas hingga mencapai tepi barat Sungai Ciliwung, yang merupakan reruntuhan bekas kota Jayakarta.
Kota ini dirancang dengan gaya khas Belanda Eropa dan dilengkapi dengan benteng, dinding kota, serta kanal. Tata ruang kotanya dibagi ke dalam blok-blok yang kemudian dipisahkan oleh kanal.
Pembangunan kota Batavia akhirnya rampung pada tahun 1650 dan kota menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur.
Di akhir abada ke 17 menuju akhir abad ke 18, wabah tropis menyerang kota tua ini akibat buruknya sanitasi yang mengakibatkan kerusakan pada kanal dan udara yang buruk.
Akibat wabah ini, banyak bangsa Belanda yang jatuh sakit dan bahkan meninggal dan Batavia pun mendapat julukan kota paling tidak sehat di bumi belahan timur.
Kemudian, setelah epidemi pada tahun 1835 dan 1870, kota Batavia akhirnya diperluas sampai ke bagian selatan dengan anggapan wilayah tersebut lebih sehat.
Banyak orang yang kemudian pindah keluar benteng, terutama ke wilayah Weltevreden (sekarang merupakan daerah di sekitar Lapangan Merdeka).
Kota Tua Sebagai Situs Sejarah
Kota Tua yang juga dikenal dengan nama Batavia Lama mendapat julukan Permata Asia dan Ratu dari Timur karena lokasinya yang strategis sebagai pusat perdagangan di Asia dengan sumber dayanya yang melimpah.
Pada masa pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta, tepatnya pada tahun 1942.
Kemudian, pada tahun 1972, Ali Sadikin, Gubernur Jakarta pada saat itu, mengeluarkan dektret untuk secara resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs sejarah.
Keputusan ini dikeluarkan untuk melinungi dan melestarikan arsitektur kota, setidaknya sisa-sisa bangunan yang masih berdiri di kawasan tersebut.
Warisan Kolonial Belanda di Kota Tua
Kota Tua yang kamu lihat sekarang sudah mengalami beberapa kali perbaikan dan tidak semua bangunannya dipertahankan. Dulunya, Kota Tua merupakan pusat pemerintah sekaligus perdagangan VOC karena lokasinya yang sangat strategis.
Maka dari itu, didirikanlah Perusahaan India Timur Belanda (Dutch East India Company) sebagai upaya Belanda untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah antar benua.
Perusahaan ini diperkuat dengan dukungan keuangan yang besar dan kekuatan hukum. Akibatnya, Kota Tua secara tidak langsung menjadi pusat ibu kota juga menjadi saksi bisu pendudukan Perushaan India Timur Belanda di Indonesia.
Maka tidak heran banyak bangunan khas kolonial menghiasi kota tua ini, misal yang sekarang menjadi Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, dan masih banyak lagi.
Museum Fatahillah sendiri dulu berfungsi sebagai balai kota Batavia di zaman VOC dan telah mengalami pembongkaran dan perubahan sampai menjadi seperti yang sekarang ini.
Sementara itu, Museum Bank Indonesia dulunya berfungsi sebagai rumash sakit bernama Binnen Hospital. Kemudian, pada tahun 1828, bangunan ini dialihfungsikan menjadi sebuah bank bernama De Javasche Bank.
Lalu, pasca kemerdekaan RI, bank ini difugsikan sebagai Bank Sentral Indonesia atau yang lebih dikenal dengan nama Bank Indonesia.
Setelah operasional BI dipindahkan ke gedung baru pada tahun 1962, bangunan ini pun dilestarikan dan akhirnya menjadi Musem Bank Indonesia.
Sama halnya seperti Museum Fatahillah, Museum Wayang juga sudah mengalami beberapa kali perombakan.
Awalnya, bangunan ini berfungsi sebagai sebuah gereja bernama De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Lama Belanda) dan dibangun pada tahun 1640.
Kemudian pada tahun 1732, bangunan tersebut diperbaiki dan menjadi Gereja Baru Belanda. Namun sayang, gereja ini hancur akibat gempa bumi pada tahun 1808.
Di atas reruntuhan inilah dibangun Mesuem Wayang yang sekarang berdiri dan menyimpan banyak koleksi wayang nusantara.