Merinding! Kisah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Nusantaratv.com - 10 November 2021

Ilustrasi Perang 10 November (balaiedukasi.blogspot.co.id)
Ilustrasi Perang 10 November (balaiedukasi.blogspot.co.id)

Penulis: Supriyanto

Nusantaratv.com - Penduduk Indonesia tentu memahami mengapa tanggal 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan. Pertempuran yang sangat dahsyat sekaligus heroik yang terjadi si Surabaya membuat kota ini dijuluki sebagai Kota Pahlawan.

Penyebab dari pertempuran ini karena datangnya tentara Inggris ke Surabaya dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang yang sudah kalah pada perang dunia 2, tapi kedatangan tentara Inggris ini ternyata diikuti oleh tentara Belanda yang notabene pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad dan inilah yang membuat marah penduduk Surabaya.

Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Tapi dibalik hebatnya pertempuran ini, ternyata terselip cerita menarik dibalik pertempuran ini. Apakah cerita itu, mari kita lihat dibawah ini :

 Pak Lek ! Endhi Londone…?!

10 November 1945 dipagi hari. Inggris benar-benar melaksanakan ultimatum mereka. Seluruh kekuatan militer yang ada di Surabaya dan Selat Madura mereka kerahkan untuk membom habis-habisan Surabaya, dari darat, laut dan udara.

Kapal perang Inggris dari Selat Madura terus-menerus memuntahkan bom-bom maut kearah daerah pertahanan Arek-arek Suroboroyo. Di darat tank-tank Inggris mencoba merangsek garis pertahanan Arek-arek Suroboyo, yang ternyata tidak semudah dibayangkan Jenderal Mansregh karena mendapat perlawanan sengit. Sementara dari udara, pesawat tempur Inggris dengan leluasa menembaki dan membom pertahanan Arek-arek Suroboyo yang relatif terbuka tanpa ”payung” pertahanan udara yang berarti.

Berkat teknologi perang Inggris canggih saat itu, bom-bom Inggris yang dimuntahkan dari kapal perang berjatuhan menghajar hingga jauh ke bagian Selatan Surabaya seperti kawasan Darmo, yang terletak belasan kilometer jauhnya dari Selat Madura. Arek-arek Suroboyo yang berada di daerah tersebut cuma bisa misuh-misuh (memaki-maki) karena terus menerus dihujani bom Inggris tanpa bisa membalas sama sekali karena umumnya mereka hanya memiliki senjata untuk pertempuran jarak dekat seperti bedil rampasan, mortir, clurit, pedang….dll

Seorang Arek Suroboyo umur belasan tahun beringsut mendekat kepada senior mereka. Ditengah riuh rendah suara ledakan bom Inggris, dia bertanya: ”Pak Lek ! Pundhi Londone ?!” (Paman, mana orang Inggrisnya?.Saat itu lumrah jika menyebut Inggris dengan Londo, karena sama-sama kulit putih, dan sama-sama hendak merampas kemerdekaan)

”Opok’o ?” (kenapa?) balik si pejuang senior bertanya

”Wonge gak kethok, bome wis tekan mrene !” (Orangnya tidak kelihatan, bomnya sudah sampe sini !”). ”Wis gak sabar pingin gelut ambek Londo ! Mboh aku sing mati, opo Londo gendheng sing mati !” (sudah tidak sabar saya ingin berkelahi dengan orang Inggris, entah saya yang mati, atau Inggris gila yang mati !”)

Pidato Bung Tomo yang Menghipnotis Seisi Surabaya

Bung Tomo adalah ikon pertempuran heroik Surabaya. Kemampuan orasinya yang luar biasa mampu membakar semangat juang segenap rakyat Surabaya dalam menghadapi pasukan yang sangat terlatih dan diperlengkapi dengan perlengkapan perang yang sangat modern untuk masanya.

Bung Tomo adalah seorang ahli pidato yang religius. Berulangkali dalam orasinya yang mengelegar dia menyebut “pemuda-pemuda Indonesia di Surabaya” atau “bangsa Indonesia di Surabaya”. Selain itu, Bung Tomo juga seorang yang sangat sportif. Meski masyarakat Surabaya mendapat ultimatum dan provokasi dari Inggris, dia memperingatkan “djangan moelai menembak, baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu”.

Orasi Bung Tomo adalah salah satu faktor penting yang membuat mereka yang sehari-harinya adalah tukang soto, abang becak, kusir delman, wong kampong, dan lain-lain komponen sipil rakyat Indonesia di Surabaya, berani menghadapi ultimatum Jenderal Mansregh laksana banteng terluka.

Pidato Bung Tomo adalah saat yang sangat dinantikan oleh rakyat Surabaya. Sesaat sebelum Bung Tomo mulai orasinya di radio, Surabaya bagaikan kota mati, sepi. Rakyat berkumpul ditempat-tempat yang bisa menangkap siaran pidato Bung Tomo yang dipancarkan oleh radio.

Setiap orang Surabaya mengaku merinding dan gemetaran tiap kali mendengar orasi Bung Tomo. Tidak sedikit pula yang bercucuran air mata usai mendengar pidato Bung Tomo. Mereka merinding dan gemetar bukan karena takut terhadap ultimatum Jenderal Mansregh, atau gentar menghadapi pertempuran besar esok hari, tapi mereka merinding dan gemetar karena tekad yang bulat untuk menghadapi ultimatum pasukan Inggris. Merinding untuk segera berhadapan secara jantan, dengan dada tengadah mempertahankan kemerdekaan yang hendak dijarah dan kehormatan bangsa yang hendak dilecehkan.

Suara Bung Tomo yang menggelegar, pilihan kata-katanya yang cerdas dan lugas, serta teriakan takbir yang menggetarkan jiwa tiap muslim yang mendengarnya, adalah perpaduan sempurna dalam membakar semangat, bukan saja mereka yang asli arek Suroboyo, namun juga pemuda-pemuda Indonesia lainnya dari suku-suku bangsa lainnya yang tinggal di Surabaya: Ambon, Sulawesi, Batak, NTT, Bali, Kalimantan, dan lain-lain suku bangsa untuk bersama-sama dalam satu tekad melawan pasukan penjajah.

Tak heran, tiap kali usai pidato Bung Tomo dipancarkan, ungkapan seperti: ”Mboh aku sing mati, opo Inggris keparat sing mati ! Gak sudhi aku nyerah nang Inggris ! (entah saya yang mati, atau Inggris keparat yang mati. Tidak sudi aku menyerah kepada Inggris). Pasukan TRIP yang rata-rata berumur belasan tahun, dengan penuh percaya diri siap bertempur menghadapi pasukan Inggris yang pernah mengalahkan pasukan Rommel di mandala Afrika.

Berikut adalah trankrip pidato Bung Tomo berdasarkan rekaman pidatonya.

BAGIAN PERTAMA

Bismillahirrahmanirrahim…
Merdeka!!!
Saoedara-saoedara ra’jat djelata di seloeroeh Indonesia,
teroetama, saoedara-saoedara pendoedoek kota Soerabaja
Kita semoeanja telah mengetahoei bahwa hari ini tentara Inggris telah menjebarkan pamflet-pamflet jang memberikan soeatoe antjaman kepada kita semoea.
Kita diwadjibkan oentoek dalam waktoe jang mereka tentoekan, menjerahkan sendjata-sendjata jang kita reboet dari tentara djepang.
Mereka telah minta supaja kita datang pada mereka itoe dengan mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaja kita semoea datang kepada mereka itoe dengan membawa bendera poetih tanda menjerah kepada mereka.

Saoedara-saoedara,
didalam pertempoeran-pertempoeran jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan bahwa
ra’jat Indonesia di Soerabaja
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Soelawesi,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Kalimantan,
pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera,
pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini,
didalam pasoekan-pasoekan mereka masing-masing dengan pasoekan-pasoekan ra’jat jang dibentuk di kampoeng-kampoeng,
telah menoenjoekkan satoe pertahanan jang tidak bisa didjebol,
telah menoenjoekkan satoe kekoeatan sehingga mereka itoe terdjepit di mana-mana
Hanja karena taktik jang litjik daripada mereka itoe, saoedara-saoedara
Dengan mendatangkan presiden & pemimpin-pemimpin lainnja ke Soerabaja ini, maka kita toendoek oentoek menghentikan pertempoeran.
Tetapi pada masa itoe mereka telah memperkoeat diri, dan setelah koeat sekarang inilah keadaannja.
Saoedara-saoedara, kita semuanja, kita bangsa Indonesia jang ada di Soerabaja ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini.

Dan kalaoe pimpinan tentara Inggris jang ada di Soerabaja ingin mendengarkan djawaban ra’jat Indonesia,
ingin mendengarkan djawaban seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini,
Dengarkanlah ini hai tentara Inggris,
ini djawaban ra’jat Soerabaja
ini djawaban pemoeda Indonesia kepada kaoe sekalian

Hai tentara Inggris!,
kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera poetih takloek kepadamoe,
menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe,
kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari djepang oentoek diserahkan kepadamoe
Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian akan mengantjam kita oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang ada,
Tetapi inilah djawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,
maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!

Saoedara-saoedara ra’jat Soerabaja,
siaplah keadaan genting
tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak,
baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu.
Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.
Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.
Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.
Dan kita jakin, saoedara-saoedara,
pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita
sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar
pertjajalah saoedara-saoedara,
Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!
MERDEKA!!!

BAGIAN KEDUA

Bismillahirrahmanirrahim…
Merdeka!!!
Saoedara-saoedara !
Toekang-toekang betjak, saoedara-saoedara bakoel-bakoel soto, bakoel-bakoel tahoe. Saoedara-saoedara orang-orang Madoera, toekang rombengan, Saoedara-saoedara wong-wong kampoeng Suroboyo. Saoedara-saoedara arek-arek Suroboyo, pemoeda-pemoeda Suroboyo, dan saudara-saudara semua pemuda-pemuda Indonesia yang tergabung dalam pasukan-pasukannya masing-masing di Surabaya ini
Habiskanlah lawan kita ! Pertahankanlah kota kita.ini ! Toehan akan beserta kita. Insya Allah saoedara-saoedara, kemenangan akhir pasti kita yang akan mencampainya.
Allahhu Akbar ! … Allahhu Akbar ! Allahhu Akbar !
MERDEKA !

 

Evolusi Warna Celana Pasukan TRIP

Pada saat menjelang atau awal pertempuran 10 Nopember, sebagian pasukan TRIP memperoleh celana seragam berwarna khaki (kayak kopi susu muda gitu). Bagi para anggota TRIP yang masih muda-muda, celana itu merupakan kebanggaan, dan sekaligus merupakan celana andalan, karena jarang yang punya ganti. Maklum situasi ekonomi sulit. Kalau pun dicuci (ini sangat jarang dilakukan), terpaksa nunggu kering untuk dapat dipakai lagi…..

Karena gencarnya pertempuran, celana itu jarang di cuci. Bagaimana sempat nyuci celana, lha wong Sekutu tiada henti membomi Surabaya. Belum lagi celana itu sangat sering dipakai untuk tiarap atau merayap di tanah saat bertempur. Maka secara evolusi, warna celana itu pun berubah. Kalau semula berwarna khaki lambat laun warna celana itu menjadi kehitaman. Apalagi banyak diantaranya yang coba-coba melakukan trik “ajaib” dengan secara sengaja membenamkan di lumpur sungai, biar lebih awet katanya. Entahlah, dari mana ide konyol membenamkan celana di lumpur sungai berasal. Tapi tidak sedikit yang mengikutinya.

Itulah yang bisa disediakan oleh Republik saat itu bagi para pejuangnya….

Waspada Jika Terdengar “Wes…ewes…ewez…!”

Sebelum pecah pertempuran 10 Nopember 1945, sebagian besar pejuang dalam perang Surabaya adalah masyarakat sipil biasa, yang sebelumnya mungkin hanyalah tukang jual soto, pedagang dipasar, penarik becak atau dokar, atau pelajar seperti yang tergabung dalam TRIP. Pokoknya semua yang merasa kuat menenteng senjata, maju menantang pasukan Inggris yang baru saja menang Perang Dunia ke-2, termasuk pasukan Gurkha yang katanya hebat dalam bertempur. Satu-satunya unit bersenjata yang terlatih dan memiliki persenjataan yang cukup lengkap hanyalah Polisi Istimewa (PI).

Asal-usul mereka juga macem-macem, hampir segala suku di Indonesia terwakili: Jawa, Madura, Ambon, Batak, Manado, Bali, pokoknya macam-macam suku yang saat itu tinggal di Surabaya. Belum lagi laskar-laskar yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Timur sendiri yang mengalir masuk ke Surabaya untuk memberikan dukungan. Kesemuanya memiliki satu tekad yang sama: lawan Inggris..! sebagai perwujudan kongkrit apa yang disampaikan secara bergelora oleh Bung Tomo dalam pidatonya.: “…Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!” Hanya ibu-ibu, orang tua dan anak-anak yang diungsikan ke luar Surabaya. Sisanya ya..itu tadi, meleburkan diri dalam pelbagai kelompok perlawanan rakyat.

Keadaanlah yang memaksa mereka untuk segera menyesuaikan diri, belajar bertempur sebisa mereka, dengan senjata apa saja yang mereka miliki (termasuk mungkin pedang dan keris warisan kakek buyut mereka). Semuanya bondo nekad (bonek. Eh, jangan samakan mereka dengan bonek supporter Persebaya ya?) karena tidak sudi tanah tercinta diinjak-injak penjajah, seberapa pun kuat militer mereka. Akibat kemampuan teknis tempur mereka pas-pasan, sering terjadi insiden yang mengenaskan. Misalnya, saat mencoba menembakkan mortir ke arah Undaan Kulon (nama sebuah tempat di Surabaya), dimana posisi musuh berada, tembakan arek-arek Suroboyo malah melenceng ke arah Undaan Wetan dimana sebagian teman perjuangan bertahan! 


Pasukan Inggris asal India menembakan mortir ke posisi pejuang pada pertempuran 10 November 1945.

Namun seiring berjalannya waktu, arek-arek Suroboyo, para pejuang muda yang pemberani itu mulai ngerti cara berperang, termasuk mulai bisa memperkirakan jarak sebuah mortir atau bom yang akan meledak. Jika terdengar suara bersiutan : ”Siuuutttt……” arek-arek Suroboyo masih bersikap tenang karena itu berarti mortir atau bom masih jauh dari mereka. Tapi kalau sudah mendengar ”wesz…ewesz….!” rame-rame mereka segera tiarap atau mencari perlindungan karena itu berarti mortir atau bom sudah mendekat ke arah mereka.

Boleh juga pembelajaran yang mereka peroleh ! 

Mbok-mbok dan Mbak-Mbak yang Berjasa Besar Agar Para Pejuang tidak Loyo

Selain arek-arek Suroboyo yang terlibat langsung dalam pertempuran melawan Inggris, peran sejumlah Mbok-mbok (ibu-ibu) dan Mbak-mbak selama pertempuran 10 Nopember 1945 tidak dapat diabaikan. Selain sebagai tenaga medis yang merawat para pejuang yang terluka, yang tak kalah penting adalah peran mereka di dapur umum.

Seperti dikisahkan oleh seorang pemudi yang waktu itu ikut berjuang dengan pemuda-pemuda di Surabaya. Waktu itu ia adalah salah seorang yang pada pertempuran 10 Nopember turut terlibat dalam pertempuran sebagai tenaga di dapur umum.

Saat itu umur dia belumlah mencapai 20 tahun. Dia sengaja tidak ikut mengungsi keluar dari Surabaya meski dia tahu bom, mortir, atau tembakan senapan mesin Inggris tidak pandang bulu apakah pejuang bersenjata ataukah mbok-mbok renta. Dia sengaja tetap tinggal di Surabaya, dengan mengambil resiko yang sangat besar, karena ingin turut membela kehormatan dan kemerdekaan bangsa.

Waktu ditanya apakah dia tidak takut, dia mengatakan: ”Tentu saja ada rasa takut, lha wong bom Inggris jedhar-jedher nggak kenal waktu dan tempat.”. Alasan dia untuk tetap tinggal dengan mengesampingkan rasa takutnya adalah: ”Sak’no arek-arek sing melu perang iku. Arek-arek iku wis totoan nyowo ngadepi Inggris, gak tentu istirahat utowo turune, mosok dijarno luwe”. (Kasihan para pemuda itu. Para pemuda itu sudah bertaruh nyawa menghadapi Inggris dengan tak tentu istirahat atau tidurnya, masak dibiarkan kelaparan). Sederhana, namun berkat peran para Mbok-mbok dan mbak-mbak diseantero Surabaya diseluruh lini pertempuran, arek-arek Suroboyo sanggup memberikan pelajaran yang sangat pahit kepada pasukan Inggris yang sebagian diantaranya baru saja memenangkan pertempuran brutal di El Alamein.

Dari dapur umum, logistik kemudian merembes ke lini-lini pertahanan arek-arek Suroboyo agar mereka tidak loyo karena kelaparan saat bertempur melawan pasukan Inggris.

Mengenai bahan pangan, menurut beberapa sumber, kiriman beras atau bahan pangan lainnya untuk para pejuang berasal dari kota-kota sekitar Surabaya seperti Pasuruan, Probolinggo atau daerah lainnya di Jawa Timur. Bantuan-bantuan itu (termasuk bantuan personel tempur) kian memperkuat semangat mereka dalam menghadapi Inggris, karena mereka tahu bahwa saudara-saudara sebangsa mereka, tidak membiarkan mereka berjuang sendirian menghadapi makelar penjajah Belanda (Inggris) yang pingin menjarah kembali kemerdekaan Indonesia.. 

Pertempuran 10 Nopember memang seperti Selametan kampung, semua ikut serta, semua ikut mengambil peran, tidak mau ketinggalan!

Panser Bermanuver Seperti Orang Mabuk

Sebagian besar para pejuang yang turut dalam pertempuran 10 November adalah milisi-milisi, yang sebelum pecah perang belum pernah memegang dan mempergunakan senjata api, apalagi mortir dan panser. Anggota dari satuan-satuan yang dianggap militer professional pun belum tentu mahir semua dalam mengoperasikan senjata berat. Memang ada anggota PI atau TKR yang mampu mengoperasikan mortir atau panser dengan baik, tapi ada juga yang benar-benar masih perlu banyak belajar lagi. 

Sebagai misal saat terjadi perundingan pada tanggal 30 Oktober antara pemimpin Pusat dan Jawa Timur dengan pimpinan militer Inggris yang dipimpin oleh Mayjend Hawthorn. Entah terpancing oleh bunyi tembakan-tembakan meriam dari kapal perang Inggris, atau untuk balik menggertak pasukan Inggris, komandan TKR dan PI mengerahkan panser yang dimilikinya disekitar lokasi perundingan.

Namun berhubung ada yang belum terlalu mahir nyetir panser, jadilah panser itu berjalan seperti orang mabuk. Muter-muter gak karuan, maju mundur entah mau kemana. Pokoknya, panser itu bergerak dengan maneuver yang barangkali tidak ada dalam manual cara menyetir panser yang baik dan benar. Namun begitu, manuver panser bak orang mabuk itu boleh juga untuk unjuk kekuatan tepat didepan mata Panglima Inggris untuk wilayah Jawa-Bali.

Sweet Revenge untuk Kempetai

Bagi arek-arek Suroboyo, markas kempetai adalah simbol praktek kebiadaban Jepang terhadap rakyat Indonesia. Di markas itulah segala bentuk kekejaman Kempetai Jepang terhadap rakyat Indonesia berlangsung. Tak terhitung banyaknya arek-arek Surabaya yang tewas karena penyiksaan oleh anggota Kempetai.

Rasa permusuhan arek-arek Suroboyo makin menjadi-jadi karena anggota Kempetai ndablek tidak segera menyadari perubahan politik yang terjadi disekitarnya. Mereka secara eksplisit tidak mengakui kenyataan bahwa sebuah negara berdaulat telah lahir. Dengan dalih tunduk pada ketentuan dalam perjanjian kapitulasi tanpa syarat Jepang terhadap Sekutu, anggota kempetai tidak mau mengakui lambang-lambang kedaulatan Indonesia. Selain itu, kehadiran anggota Kempetai yang masih bersenjata lengkap, dapat menjadi ”petasan dalam saku celana” yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan luka bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Sikap Kempetai ini bermuara pada satu hal bagi para pemimpin arek-arek Suroboyo: cukuplah bagi Kempetai. Maka diputuskanlah untuk menyerang dan menghancurkan markas Kempetai. Agar serangan lebih memiliki daya rusak lebih hebat, ada pasukan yang membawa bom yang biasa dijatuhkan dari pesawat seberat sekitar dua ratus lima puluh kilogram. Bom itu secara perlahan digeser mendekati kearah markas Kempetai. Namun tidak mudah untuk mendekati markas Kempetai dan kemudian meledakkan bom itu.

Pasukan Kempetai yang memang terkenal personel pilihan, tidak gampang menyerah begitu saja meski markasnya telah dikepung arek-arek Suroboyo. Mereka pun berusaha keras untuk mempertahankan markas mereka. Mengetahui bahwa ada bom dengan potensi daya ledak yang hebat sedang dibawa ke markas mereka, anggota Kempetai matian-matian menghambat pergerakan bom itu dengan menembaki para pembawa bom. Kempetai nampaknya tidak berani menembaki bom yang dibawa oleh para pejuang, mungkin takut dengan efek ledakannya.

Satu demi satu pejuang yang bertugas membawa bom gugur atau terluka oleh tembakan anggota Kempetai. Namun, begitu ada yang gugur atau terluka, dengan segera akan selalu ada seseorang yang bergegas mengambil alih membawa bom. Begitu seterusnya korban terus berguguran, tapi pembawa bom silih berganti muncul. Arek-arek Suroboyo benar-benar bertarung seperti banteng ketaton (banteng terluka). Tak jarang pejuang berikutnya yang mengambil alih membawa bom merangkak di atas tumpukan jenasah rekan-rekan seperjuangannya yang sebelumnya membawa bom. Banjir darah segar para pemuda bangsa deras mengalir menggenangi jalan. Tapi arek-arek Suroboyo pantang surut, terus maju mendekati markas Kempetai. 

Hingga akhirnya….Bom itu pun berhasil mencapai tempat yang diinginkan. Selanjutnya…jedhueerrr….! Markas Kempetai, lambang kekejian paripurna pasukan Jepang, berhasil dijebol. Terbang pula semangat pasukan Kempetai. Gema takbir bergema dimana-mana diselingi teriakan-teriakan ”Maatekk ! Koen…C*k…!” (Mampuslah ! Kau…). Pasukan Kempetai yang dimasa lalu terdengar namanya saja disebut membuat bergidik banyak orang, akhirnya harus mengakui ketangguhan bertempur arek-arek Suroboyo.

Untuk mengenang peristiwa yang sangat heroik dan berdarah itu, pemerintah mendirikan Tugu Pahlawan tepat dilokasi bekas markas Kempetai. Jika melintas atau mengunjungi Tugu Pahlawan, ingatlah selalu pengorbanan besar para pemuda yang gugur saat menyerang markas Kempetai.

 
Maunya Gaya Malah Celaka

Anggota TRIP masihlah muda-muda. Maklumlah, dalam kehidupan normal, mereka semua adalah pelajar. Situasilah yang membuat mereka meninggalkan bangku sekolah untuk memenuhi panggilan ibu pertiwi, menjadi pagar pelindung kemerdekaan bangsa.

Bagi anggota TRIP, perang melawan Inggris bukanlah sesuatu yang menakutkan, malah sesuatu yang menyenangkan dan tentu saja membanggakan. Ditengah hujan mortir, bom, atau guyuran pelor pasukan Inggris, terkadang mereka masih sempat berkelakar khas Surabaya. Pasukan Gurkha yang jadi andalan pasukan Mallaby pun, seringkali malah jadi bahan becanda diantara mereka. Dalam bahasa remaja sekarang, “perang? Enjoy aja !”

Terkadang pula disebagian anggota TRIP muncul sifat sok gaya sebagaimana layaknya para remaja. Sifat ini terkadang membawa celaka seperti yang menimpa salah seorang anggota. Entah dia mau sekedar gaya, atau benar-benar tidak tahu bahaya main-main dengan alat perang. Saat menembakkan mortir, dengan konyol dia meletakkan landasan mortir kecil di pahanya. Mungkin karena dianggapnya bobot mortir tidak terlalu berat baginya. Namun dia tidak memperhitungkan daya hentak alat perang itu saat melontarkan peluru mortir. Akibatnya memang fatal. Hentakan landasan mortir saat menembakkan mortir menekan dengan keras paha anggota TRIP yang sok gaya itu sehingga terluka parah. Terpaksalah dia libur tidak ikut bertempur melawan Inggris karena lukanya itu.

Bonek yang Sesungguhnya

Supporter remaja Persebaya yang terkenal dengan sebutan bonek (bondo nekad = modal nekad), kehadirannya lebih sering bikin rusuh dan resah banyak orang. Oleh karena itu, kehadiran mereka seringkali menimbulkan antipati dari pelbagai pihak. Namun tidak demikian halnya dengan para bonek saat menjelang pertempuran 10 Nopember 1945. Kehadiran mereka justru memberikan andil bagi perjuangan menjaga kemerdekaan.

Saat itu diminggu terakhir Oktober, untuk meredakan pertikaian yang kian panas antara arek-arek Suroboyo dan pasukan Mallaby, diadakanlah pertemuan antara pimpinan militer Inggris di Surabaya dengan pimpinan arek-arek Suroboyo yang dengan itikad baik bersedia untuk berunding dengan pihak Inggris.

Namun bagi arek-arek Suroboyo, ada sedikit kekhawatiran. Tempat perundingan berada di daerah basis pertahanan Inggris. Bagaimana seandainya ada tentara Inggris yang menembak pimpinan arek-arek Suroboyo yang akan jadi juru runding? Sementara sudah disepakati juru runding Indonesia tidak boleh dikawal oleh pasukan bersenjata saat ke lokasi perundingan. Jika hal ini dibiarkan, para juru runding itu benar-benar akan menjadi lame duck, yang dengan mudah akan dihabisi jika ada diantara pasukan Inggris yang tidak disiplin.

Maka dicarinya akal. Ketemu cara yang unik, cerdik dan nekad betul. Segera disebar pemberitahuan untuk mencari ABG-ABG atau remaja yang bersedia menjadi sukarelawan untuk mengawal para juru runding, dari dan kelokasi perundingan. Mereka akan menjadi semacam perisai hidup bagi para juru runding. Perhitungan arek-arek Suroboyo, tentara Inggris masa iya sih akan menembak remaja-remaja tidak bersenjata? Mereka pasti takut kalau diperkarakan sebagai penjahat perang.

Para remaja TKR sedang berlatih perang.

Dalam suasana yang sangat panas antara pasukan Mallaby dan pejuang, resiko menjadi perisai hidup sangat besar. Namun ternyata tidak sulit untuk mendapatkannya belasan ABG untuk menjadi perisai hidup. Mereka semua dengan antusias bersedia menjadi perisai hidup bagi para pemimpinnya. Bagi mereka, keselamatan para pemimpin adalah lebih penting.

Maka ketika saatnya tiba, beberapa juru runding arek-arek Suroboyo menuju ke tempat perundingan dengan dikelilingi secara rapat oleh belasan ABG Surabaya. Jadilah delegasi tim perunding seperti rombongan aneh, yang mirip arak-arakan temu penganten. Entahlah, bagaimana perasaan pasukan Inggris melihat barisan ajaib itu.

Usai perundingan, rombongan remaja bondo nekad itu kembali mengiringi dan mengelilili dengan rapat tim perunding Indonesia. Saat kembali ke posisi arek-arek Suroboyo, para remaja belasan tahun itu dengan penuh semangat menyanyikan beberapa lagu perjuangan agar makin meriah.

Untung saja saat itu belum ada Undang-undang Perlindungan Anak, bisa-bisa yang punya ide mempergunakan perisai hidup bakal kena tuntut.

Mempermainkan Pesawat Tempur Sekutu

Memasuki minggu ke-4 pertempuran Surabaya, arek-arek Suroboyo terpaksa terus bergeser keluar kota Surabaya, termasuk ke arah Selatan (Sidoarjo) karena terdesak oleh pasukan Sekutu. Maklumlah, senjata yang dipergunakan Sekutu sama sekali tidak seimbang.

Salah satu alutsista yang nyaris tidak bisa dilawan sama sekali adalah pesawat tempur. Tanpa meriam penangkis serangan udara yang memadai, garis pertahanan arek-arek Suroboyo dengan mudah dihajar. Terutama jika posisi pertahanan arek-arek Suroboyo berada di tempat terbuka seperti saat arek-arek Suroboyo mundur ke arah Sidoarjo.

Namun arek-arek Suroboyo yang tergabung dalam TRIP tidak kurang akal saat mendapat serangan tembakan senapan mesin pesawat tempur sekutu. Ada cara sederhana. Saat itu disepanjang jalan menuju Sidoarjo dan Porong, banyak pohon asam jawa dikanan kiri jalan. Umumnya pohon asam itu sudah tua dengan batang yang cukup besar. Nah pohon asam inilah yang dijadikan tempat berlindung saat pesawat tempur datang menyerang. Para pejuang TRIP tahu bahwa sudut tembakan tidaklah tegak lurus, sehingga mereka dapat mempergunakan batang asam yang diameternya lebih semeter untuk berlindung.

Jika pesawat tempur musuh datang dari arah Barat, maka anggota TRIP berlindung disisi timur batang pohon asam. Sebaliknya jika pesawat musuh datang dari arah Barat, maka arek-arek Suroboyo berlindung disisi sebelah Timur batang asam. Cara ini cukup manjur mengurangi korban.

Dasar anak-anak muda, bukannya takut mendapat serangan udara semacam ini, malah mereka senang karena bisa mempermainkan pesawat temput Sekutu. Meski tidak bisa balas menembak pesawat musuh, paling tidak bisa sedikit mempermainkan pilot musuh…

Prajurit Madura yang Dikontrak Belanda Itupun “Dipalak” Para Pejuang

Setelah terdesak dari Surabaya, di front Selatan, Kali Porong sempat menjadi garis demarkasi antara pasukan arek-arek Suroboyo dengan pasukan Belanda (saat itu Inggris menyerahkan kendali kepada Belanda karena Inggris tidak mau lagi terlibat dalam pertempuran menyakitkan yang tidak ada gunanya bagi Inggris).

Arek-arek Suroboyo bertahan di sisi Selatan tanggul Kali Porong sementara pasukan Belanda ada disisi Utara tanggul Kali Porong. Di antara pasukan Belanda itu, terdapat beberapa elemen pasukan yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia termasuk dari Madura.

Mungkin karena kedekatan budaya, suku, dan agama antara arek-arek Suroboyo dengan pasukan Belanda dari suku Madura, terdapat hubungan yang unik antara arek-arek Suroboyo dengan prajurit Belanda dari suku Madura.

Pasukan Madura nampak merasa serba salah menghadapi arek-arek Suroboyo, yang diantaranya banyak juga dari keturunan Madura. Jika mereka nampak berjaga di seberang Kali Porong, arek-arek Suroboyo segera mengejek mereka sebagai pengkhianat plus bonus makian dengan menyebut segala macam nama-nama koleksi kebun binatang dan benda-benda yang biasa dibuang di WC. Kalau makian khas Surabaya, sudah jadi menu harian yang terpaksa harus ditelan oleh prajurit Madura. Pokoknya, segala sumpah serapah dan caci maki dengan rajin dihadiahkan kepada pasukan yang dikontrak Belanda itu. Lebar Kali Porong tidaklah begitu lebar, paling 50 – 75 meter sehingga teriakan dari seberang kali masih dapat didengar dengan jelas dari seberang lainnya. Mendapat caci-maki seperti itu umumnya prajurit Madura tidak membalas. Mereka diam saja.

Yang lebih menakjubkan, dikala air Kali Porong surut, tak jarang sebagian arek Suroboyo menyeberang Kali Porong ke arah sektor yang dijaga prajurit Madura tanpa merasa khawatir ditembaki oleh prajurit Madura. Arek-arek Suroboyo menyeberang kali biasanya untuk minta….roti, makanan, bahkan peluru kepada prajurit Madura, yang anehnya juga pasrah saja di “palak” arek-arek Suroboyo. Tidak ada insiden yang serius antara para pejuang dengan prajurit Madura.

Luar biasalah arek-arek Suroboyo itu, sudah memaki habis-habisan, masih pula minta makanan dan peluru ! Tak kalah luar biasa pula kesabaran prajurit Madura itu, sudah diejek dan dimaki-maki, makanan dan peluru mereka pun sebagian diberikan kepada arek-arek Suroboyo !

Sungguh, hubungan yang aneh, yang mungkin membuat pening kepala opsir-opsir Belanda…!

Sekarang! Besok Inggris Tidak Akan Memberi Kesempatan Kalian untuk Tidur

Mengetahui bahwa rakyat Indonesia di Surabaya mendapat ultimatum dari pasukan Inggris, pemerintah pusat nampaknya juga bingung mau bersikap bagaimana. Tidak mungkin bagi Bung Karno untuk meminta rakyat Surabaya menyerah dan mematuhi ultimatum Inggris. Sementara itu, pemerintah pusat juga tahu betapa tidak seimbang kekuatan senjata dan pengalaman tempur tentara reguler Inggris dengan arek-arek Suroboyo yang sebagian besar adalah warga kampung biasa. Akhirnya, setelah buntu semua jalan untuk mencegah Surabaya diserang habis-habisan oleh Inggris, pemerintah pusat menyerahkan pada para pemimpin di Jawa Timur untuk mengambil keputusan.

Maka Gubernur Surjo mengambil kepemimpinan dengan berbicara di radio: “…..Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad yang satu, yaitu berani mengahadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu…..Bismillahhirrohmanirrahim…..Selamat Berjuang !”

Pidato Gubernur Surjo yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Surabaya dan Jawa Timur itu merupakan perintah jelas dan penegasan bagi arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa, at any cost ! 

Menyusul pidato Gubernur Surjo itu, kota Surabaya seperti hendak menyambut pesta besar. Gema takbir terdengar dimana-mana berselang-seling dengan pekik kemerdekaan: dijalan-jalan, di mushola, di masjid, di warung-warung, dikampung-kampung, dipinggir Kali Mas, dan dimana saja tiap kali sesama elemen pejuang dan rakyat Surabaya bertemu. Semuanya merupakan tanda kesiapan lahir dan batin, kesatuan tekad, dan keiklasan yang dalam untuk menghadapi perang besar, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh rakyat Surabaya.

Semenjak pidato Gubernur Surjo itu, kota Surabaya kian hiruk pikuk oleh persiapan terakhir oleh arek-arek Suroboyo. Koordinasi dan komunikasi diantara elemen perjuangan ditingkatkan. Barikade-barikade untuk menghambat gerakan tank-tank Inggris diperkuat. Posisi-posisi strategis diperkuat. Pasukan-pasukan disebar di seluruh lini pertahanan. Bedil, mortir, panser (yang cuma beberapa biji), dan meriam (yang cuma beberapa pucuk) di periksa. Demikian juga dengan pedang, clurit, golok, keris juga diperiksa atau diasah lagi untuk memastikan bahwa senjata-senjata tajam itu cukup tajam saat disabetkan ke tubuh pasukan Inggris. Anak-anak, orang tua, dan warga perempuan diungsikan keluar dari kota untuk mengurangi korban sipil. 

Bagi sebagian besar anggota TRIP, saat-saat usai pidato Gubernur Surjo adalah saat-saat yang sungguh mendebarkan. Banyak diantara mereka yang tidak bisa tidur untuk menghadapi pertempuran besar esok hari. Para remaja pejuang itu, yang masih bujangan, seperti hendak mau jadi pengantin saja. Berdebar tak sabar untuk segera bertemu sang mempelai. Guyonan seperti ”Koyok arep nikah ae rek ! Gak iso turu. Pingin ndang ketemu calon bojo” (Seperti hendak menikah aja Rek ! Tidak bisa tidur ingin cepat bertemu dengan calon istri) terdengar diantara mereka. Calon penganten yang dimaksud anggota TRIP itu tentu saja bukanlah perempuan gemulai nan cantik. Namun pasukan Inggris yang sangar dengan mesin perangnya yang mengerikan.

Bahkan salah seorang pimpinan TRIP mencoba mengingatkan teman-temannya untuk tidur agar bisa istirahat. ”Rek! Turuo koen iku. Simpen tenogomu kanggo sesok. Inggris sesok gak bakalan ngekek’i kesempatan kanggo koen enak-enakan turu !” (Rek ! Tidurlah kalian. Simpan tenaga kalian buat besok. Inggris besok tidak bakalan memberi kesempatan kalian enak-enakan tidur). 

Esok harinya, yang ditemukan oleh pasukan Inggris bukanlah barisan rakyat Surabaya yang datang dengan bendera putih ditangan untuk takluk kepada Inggris dengan tanpa perlawanan, namun ribuan pejuang bersenjata yang sudah siap di seluruh kota dengan segala macam persenjataan yang dimiliki. Inggris benar-benar kecele !

Tentara Belanda “Gembeng” (Cengeng)

Setelah beberapa saat saling berhadap-hadapan di Kali Porong, arek-arek Suroboyo memutuskan untuk memperluas medan pertempuran dengan bergeser ke arah Selatan (arah ke Malang). Suatu ketika di daerah Pandaan, sebuah unit kecil pasukan Belanda berhasil disergap dengan cantik. Selain menewaskan beberapa serdadu Belanda totok, seorang Belanda totok juga bisa ditangkap hidup-hidup. Prajurit itu masihlah sangat muda. Lebih tua dikit dari anggota TRIP. Rupanya, serdadu Belanda itu gentar juga dikerubuti anggota TRIP yang nampak sangar, karena jarang mandi dan jarang ganti baju.

Seragam tempur serdadu Belanda, lengkap dengan sepatu botnya, ternyata membuat ngiler sebagian anggota TRIP. Karena seragam TRIP tidak sebanding dibanding dengan seragam serdadu Belanda. Maka dengan motivasi pingin memiliki seragam dan sepatu bot serdadu Belanda, dan memberi pelajaran kepada Belanda totok yang dengan lancang telah berani menginjakkan kakinya di Indonesia, maka serdadu itu dipaksa untuk mencopot seragam berikut sepatu botnya. Hanya celana kolor yang masih boleh dipakai.

Mendapat perlakuan seperti itu serdadu Belanda itu pun….menangis ketakutan. Kini giliran anggota TRIP yang kaget dan keheranan. Tentara bule kok gembeng (cengeng). Berani pula hendak menjarah kemerdekaan bangsa lain. Mungkin karena jengkel melihat tentara itu menangis, salah seorang anggota TRIP menjitak kepala tentara cengeng itu sembari mengatakan. ‘Nek gembeng yo ojok melu perang !!” (kalau cengeng ya jangan ikut perang !!”

Belakangan serdadu Belanda totok itu ditukar dengan tawaan pejuang Indonesia yang ditawan Belanda, karena sangat merepotkan menawan Belanda totok. Selain dia mengurangi persediaan pangan pasukan yang susah payah disumbangkan oleh penduduk juga…dia gak bisa makan menu para pejuang : nasi tiwul dan singkong rebus…!

Nasib Pasukan Gurkha

Pada saat mendarat pertama kali di Surabaya, ada kesepakatan antara Mallaby dengan para pemimpin arek-arek Suroboyo bahwa pasukan Inggris hanya diijinkan paling jauh 800 meter dari pelabuhan dalam upaya mereka ngurus tawanan perang Jepang.

Namun ternyata kesepakatan ini dilanggar oleh Mallaby. Mungkin Mallaby menganggap remeh pemerintahan Indonesia di Surabaya. Maka tidak dapat dihindari lagi, terjadi gesekan-gesekan dilapangan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Inggris. 

Pasukan Inggris, terutama Gurkha dan Pasukan India yang non-muslim (karena ada juga pasukan India Muslim yang kelak menjadi Pakistan dan sering membantu arek-arek Suroboyo dengan memberi senjata dan amunisi), seringkali bertindak kurang ajar dan kejam terhadap arek-arek Suroboyo. Sering sekali mereka melakukan sweeping dan kemudian merampas senjata-senjata yang dibawa oleh arek-arek Suroboyo saat bertemu dijalan. Bahkan jika ada arek Suroboyo yang menolak menyerahkan senjatanya, pasukan Inggris main tembak saja.

Akibatnya, kemarahan para pejuang kian tinggi sehingga diputuskan untuk menyerang pos-pos pasukan Inggris, terutama yang berada di area di luar jarak 800 meter sesuai kesepakatan (sungguh fair play arek-arek Suroboyo itu, meski dibuat marah, mereka masih menghormati kesepakatan yang dibuat oleh para pemimpinnya). Arek-arek Suroboyo yang marah menyerang seluruh pos pasukan Inggris, termasuk Gurkha. Arek-arek Suroboyo nampaknya punya perhitungan tersendiri terhadap pasukan Gurkha ini. Mereka inilah yang paling kurang ajar dan paling kejam diantara pasukan Inggris. Sebagian arek-arek Surabaya tahu reputasi dan pengalaman tempur Gurkha, tapi so what gitu lho? Tidak ada rasa takut atau segan sedikitpun untuk bertempur melawan pasukan Gurkha. Clurit orang Madura tidak kalah mematikan dengan pisau kukri Gurkha. 


Para pejuang Indonesia di pertempuran Surabaya.

Sejarah kemudian mencatat, pos-pos pasukan Inggris itu dibuat morat-marit. Pertahanan mereka jebol dimana-mana akibat gelombang serangan arek-arek Suroboyo yang bertempur dengan trengginas. Pasukan Inggris yang masih selamat lari terbirit-birit kembali ke induk pasukan untuk menyelamatkan diri. Bahkan dengan meninggalkan jenasah teman-teman mereka. Naas bagi jenasah pasukan Gurkha yang tidak sempat dievakuasi. Sebagian arek-arek Suroboyo, mungkin karena situasi yang panas dan dendam yang membara, membuang sebagian jenasah pasukan Gurkha itu ke Kali Mas. Belum cukup disitu, sebagian arek-arek Suroboyo itu kemudian menjadikan jenasah yang terapung di kali itu sebagai titis-titisan (sasaran untuk latihan menembak).

Apa boleh buat, itulah peperangan yang akan selalu ada sisi-sisi kekejaman. Pasukan Gurkha telah menuai buah pahit dari bibit kekejaman dan permusuhan yang mereka tebar di Surabaya. Gurkha boleh saja membanggakan reputasi tempur mereka saat melawan Jepang, tapi saat melawan arek-arek Suroboyo, yang mereka ejek dengan sebutan “mob” atau milisi kelas Tiga, hanya tinta kelam memalukan yang mereka torehkan.

note : Gurkha pada saat itu adalah pasukan elit yang sangat disegani dan ditakuti. Hingga saat inipun reputasi pasukan ini masih sangat mengerikan, ini terbukti karena pasukan Gurkha masuk kedalam 10 besar pasukan elit dunia dan Gurkha berada diurutan ke-9.

Sumber: bosmurah.com

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close